Pendidikan Indonesia Jauh Tertinggal dari Malaysia
A
A
A
JAKARTA - Kualifikasi angkatan kerja yang didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD) dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan struktur angkatan kerja Indonesia lebih rendah daripada Malaysia.
Rektor Institute Teknologi dan Sains Bandung (ITSB) Ari Darmawan Pasek mengatakan, struktur angkatan kerja Indonesia terdiri dari 7,20 persen lulusan Perguruan Tinggi (PT), 22,40 persen lulusan sekolah menengah dan 70,40 persen adalah lulusan SD.
Menurut Ari, tantangan utama dalam sustainable development di Indonesia adalah pendidikan. Namun dengan struktur angkatan kerja yang seperti saat ini, maka sangat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
“Kalau struktur angkatan kerja seperti ini kita hanya akan jadi buruh saja. Sedang semua peluang akan diambil oleh pekerja asing,” kata Ari dalam diskusi pendidikan di Kantor Sinar Mas Land, Jakarta, Kamis 18 Juni 2015.
Ari menjelaskan, buruknya angkatan kerja ini telah dia sampaikan dan dibahas di International Student Energy Summit (ISES) yang diadakan di Bali 10-13 Juni lalu.
Dia menyampaikan, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang mempunyai struktur angkatan kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak 20,30 persen, menengah 56,3 persen dan sekolah dasar 24,30 persen.
Bahkan jika dibandingkan dengan negara Organization for Economic and Co-operation Development (OECD), Indonesia lebih parah lagi. Lulusan perguruan tinggi di OECD sebanyak 40,30 persen, menengah 39,30 persen dan SD 20,40 persen.
Ari menuturkan, untuk mengatasi struktur angkatan kerja yang rendah ini pemerintah perlu mendirikan perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
"Perguruan tinggi itu diisi dengan program studi yang lulusannya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri nasional maupun internasional," ungkapnya.
Solusi lain yakni, dengan memperbanyak akademi komunitas sebab akademi komunitas bisa memperbanyak lulusan diploma 1 dan 2 yang siap bekerja karena sudah mempunyai keahlian dibidangnya.
“Perguruan tinggi yang sudah ada harus disinergikan dengan akademi komunitas. Sehingga lulusan sekolah menengah meningkat kompetensinya. Akademi komunitas pun bisa menjadi pengganti lulusan sarjana sebagai pemasok tenaga kerja berskill,” terangnya.
Pilihan:
Konflik Belum Tuntas, Menkumham Minta Golkar Segera Islah
Rektor Institute Teknologi dan Sains Bandung (ITSB) Ari Darmawan Pasek mengatakan, struktur angkatan kerja Indonesia terdiri dari 7,20 persen lulusan Perguruan Tinggi (PT), 22,40 persen lulusan sekolah menengah dan 70,40 persen adalah lulusan SD.
Menurut Ari, tantangan utama dalam sustainable development di Indonesia adalah pendidikan. Namun dengan struktur angkatan kerja yang seperti saat ini, maka sangat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
“Kalau struktur angkatan kerja seperti ini kita hanya akan jadi buruh saja. Sedang semua peluang akan diambil oleh pekerja asing,” kata Ari dalam diskusi pendidikan di Kantor Sinar Mas Land, Jakarta, Kamis 18 Juni 2015.
Ari menjelaskan, buruknya angkatan kerja ini telah dia sampaikan dan dibahas di International Student Energy Summit (ISES) yang diadakan di Bali 10-13 Juni lalu.
Dia menyampaikan, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang mempunyai struktur angkatan kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak 20,30 persen, menengah 56,3 persen dan sekolah dasar 24,30 persen.
Bahkan jika dibandingkan dengan negara Organization for Economic and Co-operation Development (OECD), Indonesia lebih parah lagi. Lulusan perguruan tinggi di OECD sebanyak 40,30 persen, menengah 39,30 persen dan SD 20,40 persen.
Ari menuturkan, untuk mengatasi struktur angkatan kerja yang rendah ini pemerintah perlu mendirikan perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
"Perguruan tinggi itu diisi dengan program studi yang lulusannya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri nasional maupun internasional," ungkapnya.
Solusi lain yakni, dengan memperbanyak akademi komunitas sebab akademi komunitas bisa memperbanyak lulusan diploma 1 dan 2 yang siap bekerja karena sudah mempunyai keahlian dibidangnya.
“Perguruan tinggi yang sudah ada harus disinergikan dengan akademi komunitas. Sehingga lulusan sekolah menengah meningkat kompetensinya. Akademi komunitas pun bisa menjadi pengganti lulusan sarjana sebagai pemasok tenaga kerja berskill,” terangnya.
Pilihan:
Konflik Belum Tuntas, Menkumham Minta Golkar Segera Islah
(maf)