Kebijakan Soal Jam Sekolah Berpotensi Berbenturan dengan Madrasah
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan 8 jam belajar perhari dalam lima hari sekolah, Senin hingga Jumat pada tahun ajaran baru Juli 2017 terus dikritik.
Pasalnya, kebijakan itu dinilai potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlinawati mengatakan bahwa fraksinya secara tegas menolak rencana kebijakan tersebut. Karena, belum dilakukan kajian yang mendalam atas dampak penerapan tersebut baik pada siswa, guru, dan sekolah.
"Kebijakan tersebut juga potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah (madin) yang telah eksis bersama kehidupan masyarakat Islam Indonesia," ujarnya kepada SINDOnews, Senin (12/6/2017).
Kata dia, waktu belajar Madin yang dilakukan usai salat ashar setiap harinya dipastikan secara pelan tapi pasti akan hilang di tengah masyarakat.
Dia menambahkan, waktu anak-anak usia sekolah akan habis waktunya di bangku sekolah. Pendidikan keagamaan melalui jalur madrasah diniyah akan semakin minim diterima anak didik
"Padahal di sisi lain kebijakan full day school sama sekali tidak memberikan alokasi penambahan materi pendidikan keagamaan kepada anak didik," ungkapnya.
Menurut dia, kebijakan itu pada hakikatnya adalah program full day school yang akhir tahun lalu telah menimbulkan polemik di publik.
Maka itu, Fraksi PPP meminta Kemendikbud untuk mekakukan klarifikasi secara komprehensif tentang rencana tersebut dan melakukan kajian secara komprehensif terhadap dampak penerapan kebijakan tersebut. "Jangan sampai masalah ini menambah kebingungan masyarakat," tutur anggota komisi X DPR ini.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat khususnya wali murid tengah berkonsentrasi menyiapkan tahun ajaran baru, daftar ulang anak sekolah, dan persoalan lainnya.
"Rencana penambahan jam belajar tersebut jelas akan menambah persoalan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat," ungkap legislator asal daerah pemilihan Jawa Barat IV ini.
Pasalnya, kebijakan itu dinilai potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reni Marlinawati mengatakan bahwa fraksinya secara tegas menolak rencana kebijakan tersebut. Karena, belum dilakukan kajian yang mendalam atas dampak penerapan tersebut baik pada siswa, guru, dan sekolah.
"Kebijakan tersebut juga potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah (madin) yang telah eksis bersama kehidupan masyarakat Islam Indonesia," ujarnya kepada SINDOnews, Senin (12/6/2017).
Kata dia, waktu belajar Madin yang dilakukan usai salat ashar setiap harinya dipastikan secara pelan tapi pasti akan hilang di tengah masyarakat.
Dia menambahkan, waktu anak-anak usia sekolah akan habis waktunya di bangku sekolah. Pendidikan keagamaan melalui jalur madrasah diniyah akan semakin minim diterima anak didik
"Padahal di sisi lain kebijakan full day school sama sekali tidak memberikan alokasi penambahan materi pendidikan keagamaan kepada anak didik," ungkapnya.
Menurut dia, kebijakan itu pada hakikatnya adalah program full day school yang akhir tahun lalu telah menimbulkan polemik di publik.
Maka itu, Fraksi PPP meminta Kemendikbud untuk mekakukan klarifikasi secara komprehensif tentang rencana tersebut dan melakukan kajian secara komprehensif terhadap dampak penerapan kebijakan tersebut. "Jangan sampai masalah ini menambah kebingungan masyarakat," tutur anggota komisi X DPR ini.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat khususnya wali murid tengah berkonsentrasi menyiapkan tahun ajaran baru, daftar ulang anak sekolah, dan persoalan lainnya.
"Rencana penambahan jam belajar tersebut jelas akan menambah persoalan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat," ungkap legislator asal daerah pemilihan Jawa Barat IV ini.
(maf)