Sekolah Berkualitas Tak Harus Mahal
A
A
A
Bermutu tidaknya institusi pendidikan tidak bisa diukur dari mahal tidaknya institusi tersebut menetapkan biaya pendidikan.
Namun, pandangan bahwa semakin mahal biaya sekolah semakin bagus mutunya sudah memengaruhi psikologis masyarakat khususnya di kota besar. Setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Sebab pendidikan dinilai sebagai investasi jangka panjang untuk kesuksesan anak di masa depan. Karenanya, banyak orang tua selektif dalam memilih sekolah untuk anaknya. Bahkan, banyak yang harus rela mengeluarkan biaya besar. Padahal Biaya mahal belum tentu menentukan kualitas sekolah.
Sekolah berkualitas tidak hanya sekadar fasilitas yang modern saja. Justru kuncinya, sekolah yang tepat akan memberikan dampak besar bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY masih yakin dengan keberadaan sekolah negeri.
Jaminan lulusan siswa dengan prestasi nilai masih mendominasi setiap tahun. Kepala Disdikpora DIY Kadarmanto Baskara Aji mengungkapkan, untuk DIY, sekolah masih didominasi sekolah dengan standar nasional. Meskipun ada sekolah yang menambahkan penguatan kurikulum bahasa internasional, tapi pada prinsipnya, masih tetap menggunakan kurikulum nasional.
“Untuk persaingan tetap menang sekolah negeri, seperti SMAN 1 Yogyakarta , SMAN 3 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 1 Bantul dan lainnya, begitu juga SMP,” katanya kepada KORAN SINDO, kemarin. Dijelaskannya, dari catatannya di Yogyakarta hanya ada satu sekolah internasional, yaitu Jogja Independent School.
Sekolah tersebut sejak SD tidak menggunakan kurikulum nasional. Dengan demikian, tidak bisa dibandingkan antara sekolah internasional dan sekolah umum. Kurikulum juga beda, mereka bisa mengacu pada Cambridge atau lainnya. “Kalau sekolah nasional dan tambahan kurikulum beda lagi, tapi masih sama-sama.
Artinya beberapa sekolah negeri masih bagus dan di atas sekolah-sekolah tersebut,” ucapnya. Kepala SMP IT Lukman Alhakim Internasional Yogyakarta Fourzia Yunisa Dewi mengungkapkan, lembaganya memang menjadi salah satu sekolah menggunakan kurikulum nasional dan tambahan wawasan internasional bagi peserta didiknya.
Konsep pendidikan yang ditawarkan juga lebih dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Sekolah tersebut berusaha melakukan pendekatan menyeluruh atau holistik meliputi aspek kognitif, motorik, dan afeksi dengan proses pembelajaran integral. “Jadi, siswa tidak merasa terbebani dengan terlalu banyak materi berbeda-beda,” katanya.
Untuk itu, upaya mendidik siswa juga dilakukan lebih intensif. Selain itu, sekolah tersebut juga berusaha memberikan pendidikan karakter keislaman dengan berusaha mengenai perkembangan dunia. Karena itu, sekolah dengan pola full day school menggunakan pola boarding sehingga lebih intensif menggarap peserta didik.
“Sekolah kami baru ada empat angkatan. Tahun lalu sekolah kami juara story telling se-Bantul. Mewakili DIY dalam olimpiade IPS se- Jawa Bali di Jakarta,” katanya. Secara umum untuk sekolah negeri di DIY sama dengan daerah lain sudah tidak ada lagi embel-embel sekolah internasional, semua sekolah negeri berstatus reguler.
Meski begitu, untuk sekolah swasta memang masih ada yang mencantumkan sekolah internasional. Dengan adanya label tersebut, menyebabkan biaya tidak sedikit untuk dapat menempuh pendidikan di tempat tersebut.
Meskipun untuk kualitas dan lulusan dari sekolah tersebut apakah lebih baik dengan sekolah reguler belum dapat dipastikan. Sebab untuk mengetahuinya perlu riset dan kajian yang memerlukan waktu dan proses lama.
Namun yang jelas, untuk sekolah berlabel internasional harus tetap dimaknai substansinya, khususnya kurikulum dan menginduk ke mana. Bukan hanya sekadar sekolah tersebut untuk pengantarnya memakai bahasa Inggris atau bahasa asing lain. Sedangkan arah pendidikannya belum diketahui ke mana.
“Jadi ini yang harus diperhatikan. Untuk sekolah internasional tidak sekadar menggunakan bahasa asing untuk pengatarnya, sedangkan substansinya belum jelas,” kata Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sutrisno Wibowo.
Sutrisno Wibowo menjelaskan, lebih penting lagi untuk sekolah internasional, yakni ke mana arah kurikulum pendidikan dan standar yang dipakai mengacu pendidikan mana, apakah Cambrige atau lainnya.
Termasuk akreditasinya harus jelas sehingga tidak asal sekolah dengan label internasional namun arah dan standarnya tidak diketahui. “Yang jelas untuk sekolah, terutama swasta maupun program studi di perguruan tinggi yang mengarah ke internasional harus jelas standar, organisasi, dan arahnya serta tidak sembarang mengatakan internasional,” ujarnya.
Hal sama diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sleman Sri Wantini. Ia mengatakan, sekarang pemerintah sudah tidak mengelola sekolah berstandar internasional. Semua sekolah adalah sekolah reguler.
Hanya saja untuk sekolah swasta memang masih ada yang menerapkan kurikulum nasional plus, seperti kurikulum Cambridge. Namun, untuk kualitas dan prestasinya sejauh mana dibandingkan dengan sekolah negeri, termasuk biaya mahal di sekolah itu belum mengetahui pasti.
“Dari sisi penguasaan terhadap bahasa mungkin sekolah yang menerapkan kurikulum plus itu lebih kaya,” ujarnya. Mengenai kelebihan lainnya tergantung dengan potensi yang dimiliki sekolah itu, termasuk bagaimana pengembangan dan penumbuhan potensi yang dilakukan sekolah tersebut.
Untuk di Sleman, tercatat ada beberapa sekolah swasta berlabel internasional dan menerapkan kurikulum nasional plus di antaranya Olifant, Al Azhar, dan Budi Mulya Dua. (Priyo Setyawan/Suharjono)
Namun, pandangan bahwa semakin mahal biaya sekolah semakin bagus mutunya sudah memengaruhi psikologis masyarakat khususnya di kota besar. Setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Sebab pendidikan dinilai sebagai investasi jangka panjang untuk kesuksesan anak di masa depan. Karenanya, banyak orang tua selektif dalam memilih sekolah untuk anaknya. Bahkan, banyak yang harus rela mengeluarkan biaya besar. Padahal Biaya mahal belum tentu menentukan kualitas sekolah.
Sekolah berkualitas tidak hanya sekadar fasilitas yang modern saja. Justru kuncinya, sekolah yang tepat akan memberikan dampak besar bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY masih yakin dengan keberadaan sekolah negeri.
Jaminan lulusan siswa dengan prestasi nilai masih mendominasi setiap tahun. Kepala Disdikpora DIY Kadarmanto Baskara Aji mengungkapkan, untuk DIY, sekolah masih didominasi sekolah dengan standar nasional. Meskipun ada sekolah yang menambahkan penguatan kurikulum bahasa internasional, tapi pada prinsipnya, masih tetap menggunakan kurikulum nasional.
“Untuk persaingan tetap menang sekolah negeri, seperti SMAN 1 Yogyakarta , SMAN 3 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMAN 1 Bantul dan lainnya, begitu juga SMP,” katanya kepada KORAN SINDO, kemarin. Dijelaskannya, dari catatannya di Yogyakarta hanya ada satu sekolah internasional, yaitu Jogja Independent School.
Sekolah tersebut sejak SD tidak menggunakan kurikulum nasional. Dengan demikian, tidak bisa dibandingkan antara sekolah internasional dan sekolah umum. Kurikulum juga beda, mereka bisa mengacu pada Cambridge atau lainnya. “Kalau sekolah nasional dan tambahan kurikulum beda lagi, tapi masih sama-sama.
Artinya beberapa sekolah negeri masih bagus dan di atas sekolah-sekolah tersebut,” ucapnya. Kepala SMP IT Lukman Alhakim Internasional Yogyakarta Fourzia Yunisa Dewi mengungkapkan, lembaganya memang menjadi salah satu sekolah menggunakan kurikulum nasional dan tambahan wawasan internasional bagi peserta didiknya.
Konsep pendidikan yang ditawarkan juga lebih dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Sekolah tersebut berusaha melakukan pendekatan menyeluruh atau holistik meliputi aspek kognitif, motorik, dan afeksi dengan proses pembelajaran integral. “Jadi, siswa tidak merasa terbebani dengan terlalu banyak materi berbeda-beda,” katanya.
Untuk itu, upaya mendidik siswa juga dilakukan lebih intensif. Selain itu, sekolah tersebut juga berusaha memberikan pendidikan karakter keislaman dengan berusaha mengenai perkembangan dunia. Karena itu, sekolah dengan pola full day school menggunakan pola boarding sehingga lebih intensif menggarap peserta didik.
“Sekolah kami baru ada empat angkatan. Tahun lalu sekolah kami juara story telling se-Bantul. Mewakili DIY dalam olimpiade IPS se- Jawa Bali di Jakarta,” katanya. Secara umum untuk sekolah negeri di DIY sama dengan daerah lain sudah tidak ada lagi embel-embel sekolah internasional, semua sekolah negeri berstatus reguler.
Meski begitu, untuk sekolah swasta memang masih ada yang mencantumkan sekolah internasional. Dengan adanya label tersebut, menyebabkan biaya tidak sedikit untuk dapat menempuh pendidikan di tempat tersebut.
Meskipun untuk kualitas dan lulusan dari sekolah tersebut apakah lebih baik dengan sekolah reguler belum dapat dipastikan. Sebab untuk mengetahuinya perlu riset dan kajian yang memerlukan waktu dan proses lama.
Namun yang jelas, untuk sekolah berlabel internasional harus tetap dimaknai substansinya, khususnya kurikulum dan menginduk ke mana. Bukan hanya sekadar sekolah tersebut untuk pengantarnya memakai bahasa Inggris atau bahasa asing lain. Sedangkan arah pendidikannya belum diketahui ke mana.
“Jadi ini yang harus diperhatikan. Untuk sekolah internasional tidak sekadar menggunakan bahasa asing untuk pengatarnya, sedangkan substansinya belum jelas,” kata Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sutrisno Wibowo.
Sutrisno Wibowo menjelaskan, lebih penting lagi untuk sekolah internasional, yakni ke mana arah kurikulum pendidikan dan standar yang dipakai mengacu pendidikan mana, apakah Cambrige atau lainnya.
Termasuk akreditasinya harus jelas sehingga tidak asal sekolah dengan label internasional namun arah dan standarnya tidak diketahui. “Yang jelas untuk sekolah, terutama swasta maupun program studi di perguruan tinggi yang mengarah ke internasional harus jelas standar, organisasi, dan arahnya serta tidak sembarang mengatakan internasional,” ujarnya.
Hal sama diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sleman Sri Wantini. Ia mengatakan, sekarang pemerintah sudah tidak mengelola sekolah berstandar internasional. Semua sekolah adalah sekolah reguler.
Hanya saja untuk sekolah swasta memang masih ada yang menerapkan kurikulum nasional plus, seperti kurikulum Cambridge. Namun, untuk kualitas dan prestasinya sejauh mana dibandingkan dengan sekolah negeri, termasuk biaya mahal di sekolah itu belum mengetahui pasti.
“Dari sisi penguasaan terhadap bahasa mungkin sekolah yang menerapkan kurikulum plus itu lebih kaya,” ujarnya. Mengenai kelebihan lainnya tergantung dengan potensi yang dimiliki sekolah itu, termasuk bagaimana pengembangan dan penumbuhan potensi yang dilakukan sekolah tersebut.
Untuk di Sleman, tercatat ada beberapa sekolah swasta berlabel internasional dan menerapkan kurikulum nasional plus di antaranya Olifant, Al Azhar, dan Budi Mulya Dua. (Priyo Setyawan/Suharjono)
(nfl)