Pemerintah Diminta Bikin Terobosan Atasi Sarpras Pendidikan yang Rusak

Kamis, 24 Mei 2018 - 09:10 WIB
Pemerintah Diminta Bikin...
Pemerintah Diminta Bikin Terobosan Atasi Sarpras Pendidikan yang Rusak
A A A
JAKARTA - Pemerintah diminta membuat langkah terobosan dalam menanggulangi masalah sarana prasarana (Sarpras) pendidikan yang rusak di seluruh Indonesia. Pasalnya, masalah tersebut cukup kompleks.

"Dan meliputi diskursus kewenangan pusat-daerah karena terkait desentralisasi pendidikan, sehingga saya lihat butuh Perpres," ujar Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Kamis (24/5/2018).

Dia mengungkapkan bahwa Panja Sarana Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Komisi X DPR sudah berjalan sejak tahun lalu dan menemukan 75% ruang kelas di seluruh Indonesia itu rusak. “Hasil rekomendasi Panja juga sudah diserahkan ke menteri,” tutur Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Hasil rekomendasi Panja Sarpras saat itu adalah perlunya pemerintah segera menerbitkan regulasi untuk menyelesaikan perbaikan ruang kelas di seluruh Indonesia. Regulasi diperlukan untuk memperbaiki seluruh ruang kelas yang rusak, yang totalnya mencapai 1,3 juta kelas atau 75% dari jumlah ruang kelas di seluruh Indonesia.

Regulasi tersebut juga perlu memuat teknis penggunaan dan pelaporan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik Pendidikan agar tepat waktu, prosedural, serta taat hukum. “Regulasi harus mengatur mengenai kebijakan anggaran, manajemen, pelaksanaan, pengawasan dan sinkronisasi Dapodik dengan kondisi riil di lapangan,” imbuhnya.

Dia melanjutkan, sumber pendanaan untuk perbaikan ruang kelas rusak selama ini bersumber dari anggaran Kemendikbud dan dana transfer ke daerah berupa DAK Pendidikan. Ironisnya, porsi anggaran pendidikan dalam APBD, baik yang dialokasikan dari pusat maupun dari daerah sendiri, masih jauh dari ketentuan undang-Undang sebesar 20%.

Menurut data neraca pendidikan daerah yang dikeluarkan Kemendikbud, pada 2016 hanya Provinsi DKI Jakarta yang melampaui ketentuan, yakni anggaran pendidikan sebesar 22% dari APBD. “Namun, 33 provinsi sisanya masih di bawah 10%, bahkan hanya 1,4% di Papua,” kata legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah 9 (Tegal-Brebes) itu.

Sementara data dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan juga tak kalah mengejutkan. Anggaran pendidikan RI di tahun 2017 itu mencapai Rp419 triliun. Rp261 triliunnya untuk transfer ke daerah, sedangkan Rp155 triliunnya digunakan untuk Kementerian/Lembaga seperti Kemenristek Dikti dan Kemenag.

“Namun faktanya dari Rp261 triliun tadi, 94,6% (atau Rp247 triliun) itu untuk gaji dan tunjangan. Sehingga porsi belanja modal untuk pembangunan, renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya tinggal sisanya saja, belum dibagi untuk masing-masing jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK,” kata Fikri.

Maka ada yang menghitung matematis, bahwa untuk mencukupi rehabilitasi Rp1,3 juta ruang kelas rusak itu butuh waktu 10 tahun. “Ini lama sekali, jangan-jangan keburu rubuh semua, baru dana terkumpul,” tegasnya.

Pembagian urusan administrasi antara provinsi dan kabupaten/kota juga memperumit masalah. Sebagaimana diketahui, satuan pendidikan setingkat SMA dan SMK di bawah administrasi pemerintah provinsi, sedangkan satuan pendidikan setingkat SD dan SMP di bawah kabupaten/ kota. “Setiap wilayah administratif pasti berbeda-beda lagi kebijakannya,” ucap Fikri.

Maka itu, tambah Fikri, dibutuhkan satu payung hukum yang bersifat lintas koordinatif untuk menata ulang pengelolaan anggaran pendidikan, utamanya rehabilitasi sarana prasarana pendidikan agar merata dan berkesinambungan di seluruh Indonesia. “Masalah Sarpras pendidikan sudah menjadi masalah nasional yang berimbas pada kualitas masa depan anak bangsa, sudah seharusnya menjadi prioritas presiden Jokowi saat ini,” pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1505 seconds (0.1#10.140)