Indonesia Gawat Darurat Matematika
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dinilai sudah gawat darurat dalam matematika. Terkait dengan itu guru diharapkan jangan lagi fokus pada mengajarkan materi, tetapi juga skill menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Buruknya kualitas matematika masyarakat Indonesia ini didasarkan atas sejumlah penelitian yang dilakukan peneliti kredibel dunia. Pada acara Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) yang di sponsori Eduspec di Gedung Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) UI Depok ditunjukkan beberapa penelitian tentang kompetensi matematika di Indonesia.
Kemendikbud melalui program Indonesia National Assesment Program (INAP) pada 2016 menunjukkan sekitar 77,13% siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah, yakni 20,58% cukup dan hanya 2,29% yang kategori baik.
INAP lalu berganti nama menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia). Kali ini asesmen dilakukan untuk siswa SMP kelas VIII pada 2017 di dua provinsi. Hasil kompetensi literasi matematika rata-rata hanya 27,51. Dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.
Penelitian terbaru pada 2018, Program Research on Improvement of System Education (RISE) di Indonesia merilis hasil studinya yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecah kan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk SD dan yang sudah tamat SMA.
“Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati. Niken juga meng khawatirkan terjadinya stagnasi kemampuan siswa seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
Tak hanya itu ada kecenderungan terjadi penurunan kemampuan siswa secara bertahap dari tahun 2000 ke tahun 2014. Praktisi pendidikan Indra Charismiadji berpendapat, hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanyaan 1/3 dikurangi 1/6 anak usia 8 tahun yang mampu menjawab hanya 2,9%, anak usia 18 tahun hanya 8,9%, dan yang berusia 28 tahun yang bisa menjawab pertanyaan itu hanya 6,8%.
“Jadi soal perhitungan dasar saja (kemampuan matematika) sudah parah banget,” katanya. Indra berpendapat, guru jangan lagi fokus pada pengajaran materi, tetapi ke skill. Juga jangan mengejar prestasi atas dasar angka, sebab percuma anak mendapat nilai 100, tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Oleh karena itu dia mengharapkan mereka mengajari anak agar mampu menghitung yang kemudian digunakan dalam keseharian. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia adalah mereka bisa menghafal soal hitungan seperti satu tambah satu dan seterusnya. Namun saat dihadapkan pada soal hitungan cerita mereka kebingungan.
“Tantangan terbesar kita ialah pada guru. Mereka tidak paham. Kepala daerah juga tidak paham. Misalnya daerah masih mengejar target kelulusan UN (ujian nasional) 100%,” jelasnya.
Kondisi kegawatdaruratan ini belum juga beranjak sejak tahun 2000 silam. Data IFLS (Indonesia Family Life Survey) pada 2000, 2007, dan 2014 yang mewakili 83% populasi Indonesia juga menunjukkan kedaruratan bermatematika.
Kedaruratan terjadi karena responden yang memiliki kompetensi kurang jumlahnya sangat tinggi. Lebih dari 85% lulusan SD, 75% lulusan SMP, dan 55% lulusan SMU hanya mencapai tingkat kompetensi siswa kelas 2 ke bawah.
Hanya sedikit saja yang memiliki tingkat kompetensi kelas 4 dan 5. “Survei IFLS ini menunjukkan kemunduran kompetensi siswa secara akut. Kita tidak boleh mengabaikan temuan-temuan ini jika Indonesia ingin lebih baik, tidak bangkrut atau bubar karena kualitas SDM bangsa ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan,” kata Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali.
Menurutnya, hampir 20 tahun reformasi bangsa ini mengabaikan kompetensi generasi emas Indonesia. Akibatnya kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia selalu tertinggal dengan negara-negara maju.
Tidak ingin Indonesia mengalami keterpurukan di masa yang akan datang, para aktivis dari berbagai latar belakang dan akademisi mendeklarasikan Gernas Tastaka yang akan melakukan pelatihan dan melatih relawan.
Hadir dalam deklarasi tersebut Rektor UI Muhammad Anis, mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal, praktisi pendidikan dari Eduspec Indra Charismiadji, dan para peneliti dari RISE, peneliti dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, akademisi Ditta Puti Sarasvati, Forum Literasi Jakarta Sururi Azis, dan Presidium Gernas Tastaka.
Sementara itu Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menyatakan, rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia bukan merupakan hal baru.
Tidak hanya matematika, katanya, tetapi juga tingkat kemampuan bahasa dan sains. Hamid menjelaskan, hal ini terjadi karena kemampuan literasi dasar Indonesia juga masih rendah.
Direktur Pembinaan SD Ditjen Dikdasmen Kemendikbud Khamim menjelaskan, salah upaya yang Kemendikbud lakukan untuk meningkatkan kemampuan matematika adalah dengan menambah atau meningkatkan kompetensi guru melalui Bimbingan Teknis Penguatan Proses Pembelajaran. "Sehingga guru mampu menciptakan suasana pembelajaran Matematika yang menyenangkan," jelasnya kepada KORAN SINDO kemarin. (Neneng Zubaidah)
Buruknya kualitas matematika masyarakat Indonesia ini didasarkan atas sejumlah penelitian yang dilakukan peneliti kredibel dunia. Pada acara Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) yang di sponsori Eduspec di Gedung Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) UI Depok ditunjukkan beberapa penelitian tentang kompetensi matematika di Indonesia.
Kemendikbud melalui program Indonesia National Assesment Program (INAP) pada 2016 menunjukkan sekitar 77,13% siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah, yakni 20,58% cukup dan hanya 2,29% yang kategori baik.
INAP lalu berganti nama menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia). Kali ini asesmen dilakukan untuk siswa SMP kelas VIII pada 2017 di dua provinsi. Hasil kompetensi literasi matematika rata-rata hanya 27,51. Dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.
Penelitian terbaru pada 2018, Program Research on Improvement of System Education (RISE) di Indonesia merilis hasil studinya yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecah kan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk SD dan yang sudah tamat SMA.
“Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati. Niken juga meng khawatirkan terjadinya stagnasi kemampuan siswa seiring meningkatnya jenjang pendidikan.
Tak hanya itu ada kecenderungan terjadi penurunan kemampuan siswa secara bertahap dari tahun 2000 ke tahun 2014. Praktisi pendidikan Indra Charismiadji berpendapat, hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanyaan 1/3 dikurangi 1/6 anak usia 8 tahun yang mampu menjawab hanya 2,9%, anak usia 18 tahun hanya 8,9%, dan yang berusia 28 tahun yang bisa menjawab pertanyaan itu hanya 6,8%.
“Jadi soal perhitungan dasar saja (kemampuan matematika) sudah parah banget,” katanya. Indra berpendapat, guru jangan lagi fokus pada pengajaran materi, tetapi ke skill. Juga jangan mengejar prestasi atas dasar angka, sebab percuma anak mendapat nilai 100, tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Oleh karena itu dia mengharapkan mereka mengajari anak agar mampu menghitung yang kemudian digunakan dalam keseharian. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia adalah mereka bisa menghafal soal hitungan seperti satu tambah satu dan seterusnya. Namun saat dihadapkan pada soal hitungan cerita mereka kebingungan.
“Tantangan terbesar kita ialah pada guru. Mereka tidak paham. Kepala daerah juga tidak paham. Misalnya daerah masih mengejar target kelulusan UN (ujian nasional) 100%,” jelasnya.
Kondisi kegawatdaruratan ini belum juga beranjak sejak tahun 2000 silam. Data IFLS (Indonesia Family Life Survey) pada 2000, 2007, dan 2014 yang mewakili 83% populasi Indonesia juga menunjukkan kedaruratan bermatematika.
Kedaruratan terjadi karena responden yang memiliki kompetensi kurang jumlahnya sangat tinggi. Lebih dari 85% lulusan SD, 75% lulusan SMP, dan 55% lulusan SMU hanya mencapai tingkat kompetensi siswa kelas 2 ke bawah.
Hanya sedikit saja yang memiliki tingkat kompetensi kelas 4 dan 5. “Survei IFLS ini menunjukkan kemunduran kompetensi siswa secara akut. Kita tidak boleh mengabaikan temuan-temuan ini jika Indonesia ingin lebih baik, tidak bangkrut atau bubar karena kualitas SDM bangsa ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan signifikan,” kata Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali.
Menurutnya, hampir 20 tahun reformasi bangsa ini mengabaikan kompetensi generasi emas Indonesia. Akibatnya kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia selalu tertinggal dengan negara-negara maju.
Tidak ingin Indonesia mengalami keterpurukan di masa yang akan datang, para aktivis dari berbagai latar belakang dan akademisi mendeklarasikan Gernas Tastaka yang akan melakukan pelatihan dan melatih relawan.
Hadir dalam deklarasi tersebut Rektor UI Muhammad Anis, mantan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal, praktisi pendidikan dari Eduspec Indra Charismiadji, dan para peneliti dari RISE, peneliti dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, akademisi Ditta Puti Sarasvati, Forum Literasi Jakarta Sururi Azis, dan Presidium Gernas Tastaka.
Sementara itu Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menyatakan, rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia bukan merupakan hal baru.
Tidak hanya matematika, katanya, tetapi juga tingkat kemampuan bahasa dan sains. Hamid menjelaskan, hal ini terjadi karena kemampuan literasi dasar Indonesia juga masih rendah.
Direktur Pembinaan SD Ditjen Dikdasmen Kemendikbud Khamim menjelaskan, salah upaya yang Kemendikbud lakukan untuk meningkatkan kemampuan matematika adalah dengan menambah atau meningkatkan kompetensi guru melalui Bimbingan Teknis Penguatan Proses Pembelajaran. "Sehingga guru mampu menciptakan suasana pembelajaran Matematika yang menyenangkan," jelasnya kepada KORAN SINDO kemarin. (Neneng Zubaidah)
(nfl)