Guru Besar Perlu Turun Gunung Atasi Persoalan Bangsa

Senin, 10 Desember 2018 - 10:45 WIB
Guru Besar Perlu Turun...
Guru Besar Perlu Turun Gunung Atasi Persoalan Bangsa
A A A
BANDUNG - Kontribusi nyata para guru besar khususnya di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTIK) sangat dibutuhkan untuk merespons maraknya fenomena sosial sebagai imbas disrupsi teknologi digital. Guru besar harus melayani masyarakat, tak cukup lagi memberikan pengajaran atau riset.

Dorongan tersebut mengemuka dalam the 2nd Islamic Higher Education Professor (IHEP) Summit di Kota Bandung, Jawa Barat yang berakhir, kemarin. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Guru Besar PTIK ini digelar oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Diktis, Kementerian Agama (Kemenag).

Forum diskusi yang dihadiri 100 guru besar PTIK dari seluruh Indonesia digelar sejak Jumat (7/12) lalu. IHEP dibuka secara resmi oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, Sabtu (8/12). Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Dirjen Pendidikan Islam Prof Dr Phil Kamarudin Amin MA, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Prof Dr Arskal Salim GP, dan seluruh direktur di jajaran Kemenag.

Pada hari pertama, Jumat (7/12), diskusi the 2nd IHEP Summit yang mengusung tema Membingkai Agama dan Kebangsaan tersebut menghadirkan pembicara dari kalangan generasi milenial, yakni Muhammad Iman Usman, sang pendiri aplikasi mengajar digital ruangguru.com.

Dalam paparannya, Iman mengajak para guru besar melek teknologi informasi (TI). Menurut Iman, belajar mengajar saat ini tak cukup dilakukan secara konvensional. Sebab, siswa dan mahasiswa kini adalah generasi milenial yang akrab dengan TI, gadget/gawai.

Iman yang menjadi pembicara di acara itu mengatakan, dunia pendidikan di Indonesia saat ini berjalan stagnan. Ada beberapa persoalan yang menyebabkan laju pendidikan di Indonesia jalan di tempat.

Salah satunya, kemampuan atau kompetensi guru yang kurang memadai, baik wawasan, pengetahuan, maupun cara menyampaikan mata ajar. Mereka umumnya masih konvensional dalam mengajar, atau hanya berkutat dengan buku pelajaran tanpa kreativitas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun merilis nilai kompetensi guru di Indonesia hanya 53.

Faktor lain, kata Iman, masih adanya disparitas atau kesenjangan kemampuan antara siswa di daerah dengan di kota. Saat ujian nasional (UN), perolehan nilai siswa baik SD, SMP, maupun SMA di daerah, jauh di bawah nilai rata-rata siswa yang berada di kota-kota besar.

"Karena persoalan-persoalan inilah, ruangguru.com hadir sebagai solusi. Pengayaan materi dan cara penyampaian mata ajar dikemas sedemikian rupa agar siswa mudah menyerapnya di mana dan kapanpun. Mereka cukup membuka aplikasi ruangguru.com di telepon seluler (ponsel) berbasis Android. Cara mengajar generasi milenial harus berbeda dari generasi sebelumnya," kata Iman.

Di hari kedua, Sabtu (8/12), the 2nd IHEP Summit menghadirkan tiga pembicara dari luar Kemenag, antara lain Guru Besar Islam dari Monash University Australia Nadirsyah Hosen, intelektual dan Direktur Utama Mizan Grup Haidar Bagir, dan budayawan Radhar Panca Dahana.

Menag Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan, kehidupan umat beragama di Indonesia kini mendapat ancaman serius seiring datangnya era disrupsi dalam segala bidang. Saat informasi sudah bergerak cepat tanpa batas teritorial, kata Menag, pengaruh transnasionalisasi Islam membawa dampak negatif bagi kehidupan beragama dan bernegara.

"Era disrupsi teknologi telah menyeret umat beragama pada perilaku berlebihan dengan dua kutub ekstrem, konservatisme dan liberalisme. Keduanya menciptakan ancaman, tidak hanya bagi keberagamaan, tetapi juga keindonesiaan," kata Lukman di Bandung, Sabtu (8/12/2018).

Banyak fenomena aktual, seperti maraknya dakwah dengan cara marah, kontroversi bendera tauhid, dan isu-isu keislaman politis meluncur ke hadapan publik tanpa tinjauan akademis yang mencerahkan. "Mengapa tak pernah ada studi yang mendalam tentang ini? Ini current issues yang umat menunggu-nunggu. Persoalan aktual yang terjadi seharusnya direspons dengan pendekatan akademik yang kaya basis ilmiah," tegas Menag.

Dia pun mengkritik para guru besar yang kurang sensitif terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya itu. Menurut dia, peran guru besar tidak hanya seputar pengajaran, riset, kajian ilmiah, dan pekerjaan akademis, namun tidak kalah penting adalah pelayanan masyarakat.

"Kalau pendidikan hanya dimaknai transformasi ilmu pengetahuan, maka gadget berperan lebih baik. Dalam genggaman tangan, gawai jauh lebih cepat memenuhi kebutuhan pengetahuan dan informasi, melebihi dosen dan guru besar," kata dia.

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Prof Dr Arskal Salim GP mengatakan, keberadaan guru besar itu sangat penting bagi perguruan tinggi. Karena, mereka memiliki otoritas keilmuan. "Ketika kita ingin mendorong perubahan yang cukup siginifikan di perguruan tinggi, masyarakat, bangsa, dan negara, para guru besar ini diharapkan memberi kontribusi yang luar biasa," kata Arskal.

Karena itu Kemenag, ujar dia, mengajak para guru besar menggelar konferensi sebagai mitra untuk mengembangkan perguruan tinggi keagamaan Islam, termasuk memberikan solusi pemikiran terhadap persoalan bangsa. "Jujur dikatakan, selama ini guru besar terlalu asyik dengan rutinitas di kampus. Kegiatan seperti ini, salah satu wahana untuk menyegarkan mereka agar kembali fokus menjalankan visi misi perguruan tinggi keagamaan Islam, termasuk meluaskan peran guru besar," ujar dia.

Menag, tutur Arskal, berharap, guru besar memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan-persoalan di level kebangsaan dan kemasyarakatan. Mereka harus peduli terhadap isu-isu terkini terkait agama dan kebangsaan, meningkatnya kekerasaan keagamaan, isu redikalisme, dan gerakan yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan ideologi lain.

"Menteri ingin agar guru besar ikut memberikan pandangan, kontribusi pikirannya, karena mereka orang-orang yang cerdik pandai. Apalagi PTKIN (perguruan tinggi keagamaan Islam negeri) memiliki kedudukan kuat di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini," tutur Arskal.

Pakar studi Islam yang juga guru besar di Monash University Australia Nadirsyah Hosen mengemukakan, bahwa Indonesia tengah menghadapi ancaman serius terkait pengaruh transnasionalisasi Islam yang membawa dampak negatif bagi kehidupan beragama dan bernegara.

Salah satu yang dia khawatirkan adalah angin politik Arab Springs yang membuat negara-negara Islam bergejolak. Dia khawatir, Arab Spring juga berdampak terhadap Indonesia dengan cara meniupkan radikalisme dan konservatisme merusak keberagamaan Indonesia yang plural.

Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menambahkan, IHEP merupakan upaya Kemenag untuk melibatkan guru besar secara lebih mendalam untuk ikut memecahkan persoalan fundamental bangsa agar situasi beragama dan bernegara di Indonesia kondusif tetap terjaga di tengah pengaruh global yang mengarah radikalisme. "Kemenag mendorong para guru besar melahirkan rumusan strategis ilmiah sebagai solusi terhadap persoalan konservatisme di berbagai level sosial di Tanah Air," kata Kamaruddin.

Kasubdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Pendidikan Agama Islam Suwendi sekaligus panitia the 2nd IHEP Summit, seusai diskusi dengan tiga pakar yang hadir sebagai pembicara, kegiatan dilanjutkan dengan panel atau komisi diskusi. Peserta dibagi tiga kelompok. "Hasil dari diskusi panel tersebut dibawa ke pleno untuk disimpulkan dan dibuat rekomendasi atau pernyataan sikap," kata Suwendi. (Agus Warsudi/Agung Bakti Sarasa)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6461 seconds (0.1#10.140)