Profesi Guru Tak Lagi Menarik Bagi Generasi Now
A
A
A
JAKARTA - Guru tidak lagi menjadi cita-cita yang diidamkan. Kalangan pelajar generasi now ternyata lebih memilih menjadi pengusaha atau profesi kekinian lain ketimbang menjadi pahlawan tanda jasa tersebut.
Tren ini ditemukan berdasar survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap peserta ujian nasional (UN). Dari angket yang disebar, hanya 11% siswa yang ingin menjadi guru. Angket UN 2019 diisi oleh 512.500 siswa (25,94%) peserta UN berbasis komputer 2019.
Setiap sekolah maksimal 60 siswa mengisi angket. Jumlah sekolah responden adalah 8.549 SMA/MA (40%). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengungkapkan, angket yang disebar di sekolah formal salah satunya diarahkan untuk mengetahui cita-cita anak di masa depan.
"Kebanyakan mereka ingin jadi wirausahawan hebat. Yang (ingin jadi) presiden juga ada. Banyak," ujar Totok di Jakarta kemarin. Mantan Atdikbud RI di Washington DC ini menjelaskan, dari total responden angket yang menjawab ingin menjadi guru hanya 11%, sedangkan 89% lainnya menjawab bukan bercita-cita menjadi guru.
Dari 11% yang ingin men jadi guru, 80% di antaranya berasal dari pelajar perempuan. “Angket menggali lebih dalam tentang siapa siswa yang ingin menjadi guru, karena guru sebagai tonggak utama pendidikan yang akan mendidik anak bangsa di masa depan,” katanya.
Dia lantas menuturkan, jika dilihat lagi dari hasil UN siswa yang ingin menjadi guru rerata nilai UN mapel Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika capaiannya lebih rendah dibandingkan siswa yang memilih profesi lainnya sebagai cita-cita.
Intinya, ujar Totok, yang ingin menjadi guru bukanlah siswa yang nilai akademisnya terbaik dari seluruh responden. Sebenarnya, lanjut dia, pemerintah sangat berharap seseorang yang menjadi tenaga pendidik adalah siswa-siswi terbaik. Apalagi, saat ini guru yang sudah bersertifikat itu digaji dua kali lipat.
"Seperti di Finlandia (yang menjadi), guru merupakan the best, top of the creme ini tertarik menjadi guru. Di Indonesia, rasanya belum berdampak,"
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menanggapi positif banyaknya siswa yang ingin menjadi pengusaha. Dia menilai bangsa Indonesia saat ini banyak membutuhkan pengusaha sebagai penggerak ekonomi. Adapun mengenai minimnya pelajar yang ingin menjadi guru, menurut dia hal tersebut tidak bisa dipaksa karena profesi guru tidak hanya terkait minat, tetapi kompetensi dan keseriusan hati para calon guru.
Totok berpandangan, rekrutmen guru harus selektif dan hanya lulusan sarjana terbaik yang diterima. Hal ini terutama untuk rekrutmen guru sains, teknologi dan matematika, serta guru produktif di SMK. “Oleh karena itu, jika mau rekrut lulusan terbaik maka harus disiapkan jalur karier yang baik, pengelolaan kerja yang modern dan sistem remunerasi yang profesional,” katanya.Peraih The International Alumni Award dari Boston University ini melihat, Indonesia tidak bisa mentah-mentah menyontek rekrutmen guru di Finlandia yang hanya menjaring siswa terbaik saja karena Indonesia memiliki sejarah yang berbeda. Dia menunjuk konsep Tripusat Ki Hajar Dewantara itu yang sebenarnya sangat maju.
Tripusat adalah pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan sekolah, dan pendidikan di lingkungan masyarakat. "Akan tetapi, konsep yang baik ini lagi-lagi lemah di implementasinya," tandasnya. Ketua PB PGRI Unifah Rosyidi menyampaikan bahwa rendahnya minat anak muda menjadi guru itu sudah bisa ditebak.
Dia menganalisis bahwa hal ini disebabkan profesi guru sudah tidak menarik lagi, terutama secara ekonomi. Menurut dia, meski dijanjikan gaji tinggi, banyak guru yang belum sertifikasi karena harus biaya sendiri. Selain itu, juga antrean mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang begitu panjang. “Harus ada spesial insentif jika mau mendapat calon (guru) terbaik,” katanya.
Sementara itu, peneliti senior Institute for Deve lopment of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rendahnya minat anak muda menjadi guru karena melihat kesejahteraan guru yang kurang diperhatikan. ”Sekarang banyak guru-guru tenaga honorer sehingga itu tidak menarik sama sekali,” ujarnya.
Menurut Enny, dari 20% alokasi anggaran APBN untuk pendidikan, seharusnya bisa dikelola dengan baik untuk membenahi kualitas pen didikan dan kesejahteraan guru.
“Kalau banyak yang tidak tertarik menjadi guru, artinya yang menjadi guru itu orang yang nggak ada pilihan lain. Artinya, besar kemungkinan kualitasnya rendah. Kalau kualitasnya rendah, bagaimana kualitas pendidikan ke depan? Hasilnya juga pasti rendah,” tuturnya.
(Neneng Zubaidah/ Oktiani Endarwati)
Tren ini ditemukan berdasar survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap peserta ujian nasional (UN). Dari angket yang disebar, hanya 11% siswa yang ingin menjadi guru. Angket UN 2019 diisi oleh 512.500 siswa (25,94%) peserta UN berbasis komputer 2019.
Setiap sekolah maksimal 60 siswa mengisi angket. Jumlah sekolah responden adalah 8.549 SMA/MA (40%). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengungkapkan, angket yang disebar di sekolah formal salah satunya diarahkan untuk mengetahui cita-cita anak di masa depan.
"Kebanyakan mereka ingin jadi wirausahawan hebat. Yang (ingin jadi) presiden juga ada. Banyak," ujar Totok di Jakarta kemarin. Mantan Atdikbud RI di Washington DC ini menjelaskan, dari total responden angket yang menjawab ingin menjadi guru hanya 11%, sedangkan 89% lainnya menjawab bukan bercita-cita menjadi guru.
Dari 11% yang ingin men jadi guru, 80% di antaranya berasal dari pelajar perempuan. “Angket menggali lebih dalam tentang siapa siswa yang ingin menjadi guru, karena guru sebagai tonggak utama pendidikan yang akan mendidik anak bangsa di masa depan,” katanya.
Dia lantas menuturkan, jika dilihat lagi dari hasil UN siswa yang ingin menjadi guru rerata nilai UN mapel Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika capaiannya lebih rendah dibandingkan siswa yang memilih profesi lainnya sebagai cita-cita.
Intinya, ujar Totok, yang ingin menjadi guru bukanlah siswa yang nilai akademisnya terbaik dari seluruh responden. Sebenarnya, lanjut dia, pemerintah sangat berharap seseorang yang menjadi tenaga pendidik adalah siswa-siswi terbaik. Apalagi, saat ini guru yang sudah bersertifikat itu digaji dua kali lipat.
"Seperti di Finlandia (yang menjadi), guru merupakan the best, top of the creme ini tertarik menjadi guru. Di Indonesia, rasanya belum berdampak,"
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto menanggapi positif banyaknya siswa yang ingin menjadi pengusaha. Dia menilai bangsa Indonesia saat ini banyak membutuhkan pengusaha sebagai penggerak ekonomi. Adapun mengenai minimnya pelajar yang ingin menjadi guru, menurut dia hal tersebut tidak bisa dipaksa karena profesi guru tidak hanya terkait minat, tetapi kompetensi dan keseriusan hati para calon guru.
Totok berpandangan, rekrutmen guru harus selektif dan hanya lulusan sarjana terbaik yang diterima. Hal ini terutama untuk rekrutmen guru sains, teknologi dan matematika, serta guru produktif di SMK. “Oleh karena itu, jika mau rekrut lulusan terbaik maka harus disiapkan jalur karier yang baik, pengelolaan kerja yang modern dan sistem remunerasi yang profesional,” katanya.Peraih The International Alumni Award dari Boston University ini melihat, Indonesia tidak bisa mentah-mentah menyontek rekrutmen guru di Finlandia yang hanya menjaring siswa terbaik saja karena Indonesia memiliki sejarah yang berbeda. Dia menunjuk konsep Tripusat Ki Hajar Dewantara itu yang sebenarnya sangat maju.
Tripusat adalah pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan sekolah, dan pendidikan di lingkungan masyarakat. "Akan tetapi, konsep yang baik ini lagi-lagi lemah di implementasinya," tandasnya. Ketua PB PGRI Unifah Rosyidi menyampaikan bahwa rendahnya minat anak muda menjadi guru itu sudah bisa ditebak.
Dia menganalisis bahwa hal ini disebabkan profesi guru sudah tidak menarik lagi, terutama secara ekonomi. Menurut dia, meski dijanjikan gaji tinggi, banyak guru yang belum sertifikasi karena harus biaya sendiri. Selain itu, juga antrean mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang begitu panjang. “Harus ada spesial insentif jika mau mendapat calon (guru) terbaik,” katanya.
Sementara itu, peneliti senior Institute for Deve lopment of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rendahnya minat anak muda menjadi guru karena melihat kesejahteraan guru yang kurang diperhatikan. ”Sekarang banyak guru-guru tenaga honorer sehingga itu tidak menarik sama sekali,” ujarnya.
Menurut Enny, dari 20% alokasi anggaran APBN untuk pendidikan, seharusnya bisa dikelola dengan baik untuk membenahi kualitas pen didikan dan kesejahteraan guru.
“Kalau banyak yang tidak tertarik menjadi guru, artinya yang menjadi guru itu orang yang nggak ada pilihan lain. Artinya, besar kemungkinan kualitasnya rendah. Kalau kualitasnya rendah, bagaimana kualitas pendidikan ke depan? Hasilnya juga pasti rendah,” tuturnya.
(Neneng Zubaidah/ Oktiani Endarwati)
(nfl)