Masih Lemah, Inovasi Indonesia Harus Dipacu
A
A
A
NEW YORK - Indonesia harus bekerja lebih keras lagi untuk memacu inovasi. Berbagai terobosan serius diperlukan mengingat budaya inovasi ternyata masih sangat rendah dibanding dengan negara lain, termasuk di kawasan ASEAN.
Berdasar peringkat negara paling inovatif di dunia dalam Indeks Inovasi Global (GII) 2019 versi Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), posisi Indonesia terbilang terbelakang, yakni berada di urutan ke-85 dari 129 negara yang disurvei. Bandingkan dengan sesama negara Asian seperti Singapura yang menempati peringkat kedelapan secara global, diikuti Malaysia (35), Vietnam (42), dan Thailand (43).
Beberapa negara ASEAN juga menunjukkan lompatan signifikan. Filipina misalnya meloncat 19 tingkat ke posisi ke-54 dalam daftar GII, menjadi lompatan terbesar untuk kawasan Asia Tenggara. Vietnam juga meloncat tiga peringkat pada GII ke posisi 42. Dengan indeks terbaru itu, Vietnam telah naik 17 peringkat sejak 2016. Hasil ini merupakan peringkat tertinggi yang pernah diraih negeri tersebut sepanjang sejarah survei itu. Tahun lalu Vietnam di posisi ke-45, naik dua peringkat dari 2017.
Bagaimana respons pemerintah? Dirjen Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristekdikti Mohammad Dimyati menegaskan komitmen pemerintah untuk memacu inovasi. Menurut dia, kehadiran UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) yang baru saja disahkan diarahkan untuk meningkatkan inovasi di Tanah Air. “Oh, jelas (UU Sinas Iptek bisa meningkatkan inovasi). Harapan kita seperti itu dengan iklim riset yang baik, maka hasilnya juga akan baik," katanya kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, riset merupakan fondasi penting inovasi. Karena itu, pemerintah akan terus melakukan intervensi sehingga riset dan publikasi yang dihasilkan para peneliti bisa diwujudkan menjadi inovasi.
Dimyati lantas menuturkan, tidak semua publikasi penelitian bisa dihilirkan atau menjadi inovasi, melainkan sebatas publikasi yang diterbitkan.
Namun, jelasnya, dengan UU Sinas Iptek, pemerintah memiliki sejumlah tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas riset sehingga inovasi pun akan meningkat. Tidak hanya dari sisi SDM, namun juga kemudahan akses untuk memakai peralatan penunjang riset, sinergi kelembagaan, hingga dana abadi penelitian sehingga kualitas riset akan lebih baik ke depan.
Dari kalangan DPR, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana meminta pemerintah serius memperhatikan lemahnya inovasi karena hal tersebut saling terkait dengan kondisi perekonomian di Tanah Air. “Ini harus menjadi perhatian pemerintah saat ini. Jangan sampai ekonomi kita menjadi masalah,” katanya.
Azam menilai pemerintah sejauh ini baru pada niatan untuk membuat inovasi. Dalam pandangannya, banyak faktor memengaruhi inovasi seperti ketahanan energi, ketergantungan impor, melambungnya harga gas, dan faktor lain yang memengaruhi harga produk dalam negeri. “Dan, yang pokok itu pinjaman-pinjaman kita yang besar. Dari situ tampak bahwa terobosan sulit dilakukan sebab banyak kendala-kendala terhadap kemampuan kita sendiri. Sangat-sangat sulit (berinovasi),” ucapnya.
Mengenai rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun lembaga riset khusus untuk peningkatan inovasi, menurut Azam, hal tersebut bergantung pada fondasi ekonomi di dalam negeri. Dia menandaskan inovasi ini bisa terwujud jika fondasi ekonomi Indonesia kuat. “Misalnya ketahanan pangan yang tidak tahan, baru ketahanan pangan, belum yang lain, tapi dampaknya luar biasa. Jadi semua bisa menjadi masalah. Defisit kita kan masih berlanjut. Itu kan merupakan indikator dari ekonomi kita,” tandasnya.
Berdasar hasil riset GII, Indonesia harus belajar lebih banyak dari Vietnam dan Filipina tentang bagaimana mereka melakukan percepatan inovasi. Laporan GII pun menyampaikan pujian akan kemajuan besar yang dibuat dua negara tersebut. “Dua negara membaik dalam sebagian besar wilayah GII dan meraih posisi puncak dalam impor dan ekspor teknologi tinggi,” ungkap laporan itu.
Kepala Divisi Ekonomi dan Statistik, Indikator Riset dan Co-editor GII Sacha Wunsch Vincent memuji prestasi Vietnam dalam indeks inovasi. “Vietnam merupakan negara contoh di antara mereka yang disurvei oleh WIPO selama tiga tahun terakhir,” katanya.
Sementara itu, Deputi Menteri Sains dan Teknologi Vietnam Pham Cong Tac memuji pencapaian negara itu dalam GII. Menurut dia, sektor sains teknologi dan inovasi Vietnam memberikan kontribusi penting pada pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bidang layanan kesehatan, agrikultur, dan industri.
“Pertumbuhan berbasis kapital dan buruh murah melemah secara bertahap. Untuk menjaga momentum, Vietnam beralih ke model pertumbuhan berbasis teknologi dan inovasi,” papar Tac, dilansir Vietnam News. Dia menambahkan, pemerintah telah menugaskan para menteri dan pemerintah lokal untuk bekerja memperbaiki peringkat negara itu dalam GII.
Swiss Tetap Jawara
Swiss kembali menempati posisi nomor wahid dalam daftar GII 2019. Di bawah Swiss berturut-turut Swedia yang naik peringkat dari posisi ketiga ke nomor dua, Amerika (dari peringkat ke-6), Belanda (dari 2), Inggris (dari 4), Finlandia (dari 7), Denmark (dari 8), Singapura (dari 5), Jerman (sama tahun lalu), dan Israel (dari peringkat ke-11).
Tujuh posisi puncak di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania ditempati oleh Singapura, Korea Selatan (11), Hong Kong (13), China (14), Jepang (15), Australia (22), dan Selandia Baru (25).
Berdasar laporan GII 2019, India menjadi negara yang paling banyak naik peringkat sejak 2018 dengan meloncati lima posisi menjadi peringkat ke-52 secara global. Indonesia harus puas di peringkat ke-85.
Indeks tahunan itu telah dirilis selama 12 tahun terakhir oleh WIPO. Data ini dibuat untuk membantu para pembuat kebijakan memahami lebih baik aktivitas inovasi yang menurut WIPO menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi dan sosial di satu negara.
“Secara keseluruhan, indeks tahun ini menemukan bahwa meski ekonomi global melemah, inovasi sedang mekar, terutama di Asia, tapi gangguan perdagangan dan proteksionisme menjadi risiko. Perencanaan untuk inovasi sangat penting bagi kesuksesan,” papar laporan WIPO dalam website-nya.
Direktur Jenderal WIPO Francis Gurry menjelaskan, indeks menunjukkan bahwa negara-negara yang memprioritaskan inovasi dalam kebijakan mereka mengalami peningkatan besar dalam peringkat mereka. “Peningkatan dalam GII oleh ekonomi kuat seperti China dan India telah mengubah geografi inovasi dan ini mencerminkan kebijakan aksi untuk mendorong inovasi,” paparnya.
Berbagai temuan penting dalam indeks itu adalah pengeluaran publik untuk riset dan pengembangan (R&D) yang menjadi elemen utama dalam riset dasar dan “blue sky” yang penting bagi inovasi masa depan masih stagnan, terutama di negara-negara berpendapatan tinggi.
“Kecuali ini diatasi, meningkatnya proteksionisme ekonomi akan mengarah pada penurunan pertumbuhan dalam produktivitas inovasi,” ungkap laporan itu.
Tahun ini para penulis laporan fokus pada masa depan inovasi medis, yang memisahkan bagian layanan kesehatan yang mengamati berbagai hal dalam Kecerdasan Buatan (AI), genomik, aplikasi kesehatan berbasis telepon seluler, yang akan mengubah cara layanan kesehatan.
Indeks ini sangat penting bagi para eksekutif bisnis, pembuat kebijakan, dan mereka yang mencari informasi mengenai kondisi inovasi di penjuru dunia. Inovasi ini disusun menggunakan 80 indikator, mulai dari level investasi R&D hingga pembuatan aplikasi telepon seluler serta ekspor teknologi tinggi. (Syarifudin/Neneng Zubaidah/Kiswondari)
Berdasar peringkat negara paling inovatif di dunia dalam Indeks Inovasi Global (GII) 2019 versi Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), posisi Indonesia terbilang terbelakang, yakni berada di urutan ke-85 dari 129 negara yang disurvei. Bandingkan dengan sesama negara Asian seperti Singapura yang menempati peringkat kedelapan secara global, diikuti Malaysia (35), Vietnam (42), dan Thailand (43).
Beberapa negara ASEAN juga menunjukkan lompatan signifikan. Filipina misalnya meloncat 19 tingkat ke posisi ke-54 dalam daftar GII, menjadi lompatan terbesar untuk kawasan Asia Tenggara. Vietnam juga meloncat tiga peringkat pada GII ke posisi 42. Dengan indeks terbaru itu, Vietnam telah naik 17 peringkat sejak 2016. Hasil ini merupakan peringkat tertinggi yang pernah diraih negeri tersebut sepanjang sejarah survei itu. Tahun lalu Vietnam di posisi ke-45, naik dua peringkat dari 2017.
Bagaimana respons pemerintah? Dirjen Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristekdikti Mohammad Dimyati menegaskan komitmen pemerintah untuk memacu inovasi. Menurut dia, kehadiran UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) yang baru saja disahkan diarahkan untuk meningkatkan inovasi di Tanah Air. “Oh, jelas (UU Sinas Iptek bisa meningkatkan inovasi). Harapan kita seperti itu dengan iklim riset yang baik, maka hasilnya juga akan baik," katanya kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, riset merupakan fondasi penting inovasi. Karena itu, pemerintah akan terus melakukan intervensi sehingga riset dan publikasi yang dihasilkan para peneliti bisa diwujudkan menjadi inovasi.
Dimyati lantas menuturkan, tidak semua publikasi penelitian bisa dihilirkan atau menjadi inovasi, melainkan sebatas publikasi yang diterbitkan.
Namun, jelasnya, dengan UU Sinas Iptek, pemerintah memiliki sejumlah tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas riset sehingga inovasi pun akan meningkat. Tidak hanya dari sisi SDM, namun juga kemudahan akses untuk memakai peralatan penunjang riset, sinergi kelembagaan, hingga dana abadi penelitian sehingga kualitas riset akan lebih baik ke depan.
Dari kalangan DPR, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana meminta pemerintah serius memperhatikan lemahnya inovasi karena hal tersebut saling terkait dengan kondisi perekonomian di Tanah Air. “Ini harus menjadi perhatian pemerintah saat ini. Jangan sampai ekonomi kita menjadi masalah,” katanya.
Azam menilai pemerintah sejauh ini baru pada niatan untuk membuat inovasi. Dalam pandangannya, banyak faktor memengaruhi inovasi seperti ketahanan energi, ketergantungan impor, melambungnya harga gas, dan faktor lain yang memengaruhi harga produk dalam negeri. “Dan, yang pokok itu pinjaman-pinjaman kita yang besar. Dari situ tampak bahwa terobosan sulit dilakukan sebab banyak kendala-kendala terhadap kemampuan kita sendiri. Sangat-sangat sulit (berinovasi),” ucapnya.
Mengenai rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun lembaga riset khusus untuk peningkatan inovasi, menurut Azam, hal tersebut bergantung pada fondasi ekonomi di dalam negeri. Dia menandaskan inovasi ini bisa terwujud jika fondasi ekonomi Indonesia kuat. “Misalnya ketahanan pangan yang tidak tahan, baru ketahanan pangan, belum yang lain, tapi dampaknya luar biasa. Jadi semua bisa menjadi masalah. Defisit kita kan masih berlanjut. Itu kan merupakan indikator dari ekonomi kita,” tandasnya.
Berdasar hasil riset GII, Indonesia harus belajar lebih banyak dari Vietnam dan Filipina tentang bagaimana mereka melakukan percepatan inovasi. Laporan GII pun menyampaikan pujian akan kemajuan besar yang dibuat dua negara tersebut. “Dua negara membaik dalam sebagian besar wilayah GII dan meraih posisi puncak dalam impor dan ekspor teknologi tinggi,” ungkap laporan itu.
Kepala Divisi Ekonomi dan Statistik, Indikator Riset dan Co-editor GII Sacha Wunsch Vincent memuji prestasi Vietnam dalam indeks inovasi. “Vietnam merupakan negara contoh di antara mereka yang disurvei oleh WIPO selama tiga tahun terakhir,” katanya.
Sementara itu, Deputi Menteri Sains dan Teknologi Vietnam Pham Cong Tac memuji pencapaian negara itu dalam GII. Menurut dia, sektor sains teknologi dan inovasi Vietnam memberikan kontribusi penting pada pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bidang layanan kesehatan, agrikultur, dan industri.
“Pertumbuhan berbasis kapital dan buruh murah melemah secara bertahap. Untuk menjaga momentum, Vietnam beralih ke model pertumbuhan berbasis teknologi dan inovasi,” papar Tac, dilansir Vietnam News. Dia menambahkan, pemerintah telah menugaskan para menteri dan pemerintah lokal untuk bekerja memperbaiki peringkat negara itu dalam GII.
Swiss Tetap Jawara
Swiss kembali menempati posisi nomor wahid dalam daftar GII 2019. Di bawah Swiss berturut-turut Swedia yang naik peringkat dari posisi ketiga ke nomor dua, Amerika (dari peringkat ke-6), Belanda (dari 2), Inggris (dari 4), Finlandia (dari 7), Denmark (dari 8), Singapura (dari 5), Jerman (sama tahun lalu), dan Israel (dari peringkat ke-11).
Tujuh posisi puncak di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oceania ditempati oleh Singapura, Korea Selatan (11), Hong Kong (13), China (14), Jepang (15), Australia (22), dan Selandia Baru (25).
Berdasar laporan GII 2019, India menjadi negara yang paling banyak naik peringkat sejak 2018 dengan meloncati lima posisi menjadi peringkat ke-52 secara global. Indonesia harus puas di peringkat ke-85.
Indeks tahunan itu telah dirilis selama 12 tahun terakhir oleh WIPO. Data ini dibuat untuk membantu para pembuat kebijakan memahami lebih baik aktivitas inovasi yang menurut WIPO menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi dan sosial di satu negara.
“Secara keseluruhan, indeks tahun ini menemukan bahwa meski ekonomi global melemah, inovasi sedang mekar, terutama di Asia, tapi gangguan perdagangan dan proteksionisme menjadi risiko. Perencanaan untuk inovasi sangat penting bagi kesuksesan,” papar laporan WIPO dalam website-nya.
Direktur Jenderal WIPO Francis Gurry menjelaskan, indeks menunjukkan bahwa negara-negara yang memprioritaskan inovasi dalam kebijakan mereka mengalami peningkatan besar dalam peringkat mereka. “Peningkatan dalam GII oleh ekonomi kuat seperti China dan India telah mengubah geografi inovasi dan ini mencerminkan kebijakan aksi untuk mendorong inovasi,” paparnya.
Berbagai temuan penting dalam indeks itu adalah pengeluaran publik untuk riset dan pengembangan (R&D) yang menjadi elemen utama dalam riset dasar dan “blue sky” yang penting bagi inovasi masa depan masih stagnan, terutama di negara-negara berpendapatan tinggi.
“Kecuali ini diatasi, meningkatnya proteksionisme ekonomi akan mengarah pada penurunan pertumbuhan dalam produktivitas inovasi,” ungkap laporan itu.
Tahun ini para penulis laporan fokus pada masa depan inovasi medis, yang memisahkan bagian layanan kesehatan yang mengamati berbagai hal dalam Kecerdasan Buatan (AI), genomik, aplikasi kesehatan berbasis telepon seluler, yang akan mengubah cara layanan kesehatan.
Indeks ini sangat penting bagi para eksekutif bisnis, pembuat kebijakan, dan mereka yang mencari informasi mengenai kondisi inovasi di penjuru dunia. Inovasi ini disusun menggunakan 80 indikator, mulai dari level investasi R&D hingga pembuatan aplikasi telepon seluler serta ekspor teknologi tinggi. (Syarifudin/Neneng Zubaidah/Kiswondari)
(nfl)