Terkendala Minim Anggaran, Jalan Panjang Implementasi Riset

Minggu, 25 Agustus 2019 - 11:15 WIB
Terkendala Minim Anggaran,...
Terkendala Minim Anggaran, Jalan Panjang Implementasi Riset
A A A
JAKARTA - Sesuai dengan perintah undang-undang (UU), universitas perlu membangun Technology Transfer Office (TTO) untuk mendorong percepatan hilirisasi dan komersialisasi hasil riset dalam rangka memajukan bangsa.

Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Jumain Appe mengakui, masih terdapat sejumlah kendala dalam pengembangan riset mahasiswa hingga dapat diterapkan secara lebih luas. Persoalan yang paling utama yang dihadapi dalam melakukan penelitian di Indonesia adalah minimnya anggaran sehingga penelitian tak bisa berjalan lebih jauh.

“Kalau hanya mengandalkan dana dari APBN, sepertinya tidak akan cukup. Perlu ada dana abadi buat penelitian. Bisa juga bekerja sama dengan industri swasta,” tutur Jumain Appe ketika dihubungi KORAN SINDO, Kamis (22/8). Padahal, lanjut dia, sumber daya manusia (SDM) tak kalah dengan negara lain.

Buktinya, ketika orang Indonesia berkarier di luar negeri, pasti mendapatkan posisi yang penting. Menurut Jumain, dana penelitian hingga menjadi sebuah prototype di dunia industri sejatinya butuh biaya mulai Rp500 juta hingga Rp20 miliar. Sementara di Indonesia seorang peneliti hanya dibekali dana Rp150 juta.

“Sarana dan prasarana penelitian kita juga terbatas, seperti alat-alat di laboratorium masih belum banyak dan canggih,” ujarnya.

Kalaupun penelitian sudah berjalan, terang dia, proses untuk mendapatkan paten untuk produk inovasi tersebut juga butuh waktu lama. Temuan tersebut awalnya dipastikan merupakan sebuah kebaruan yang berkualitas dan dipersiapkan secara matang. Baru setelah itu diregistrasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Penemuan juga dilempar ke dunia internasional untuk diinformasikan, apakah sudah ada yang pernah membuatnya atau belum. “Prosesnya itu bisa selama enam bulan, bahkan lebih lama,” kata Jumain.

Maka dari itu, perlunya membangun TTO atau disebut juga Manajemen Inovasi Perguruan Tinggi (MIPT) di setiap kampus. Jumain mengatakan, salah satu fungsinya adalah menjembatani hubungan antara dunia perguruan tinggi dan industri. Fungsi lainnya untuk melakukan transfer teknologi dari universitas atau lembaga litbang kepada dunia industri sehingga apa dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan harapan pemerintah.

Yang terjadi selama ini, masih ada perbedaan persepsi antara berbagai perguruan tinggi, lembaga litbang, dan masyarakat tentang bagaimana implementasi dari inovasi untuk melakukan perubahan-perubahan dan mengikuti perkembangan. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana para peneliti di universitas bisa berkomunikasi dengan dunia luar. MIPT sudah diatur melalui Permenristekdikti No.24/2019 tentang Manajemen inovasi Perguruan Tinggi.

Kelembagaan atau fungsi ini, ujar dia, sudah pernah ada atau sebagian sudah ada di perguruan tinggi, tapi perlu penguatan. Diharapkan MIPT dimasukkan ke dalam renstra setiap perguruan tinggi, identifikasi, dan membangun jejaring partner potensial untuk berkolaborasi dari pemerintah, bisnis, komunitas, dan akademisi.

“Mungkin sudah ada di setiap kampus, tapi wadah itu biasanya berbentuk Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) atau berada di biro-biro di direktorat,” sebut Jumain. Jumain mengemukakan, Kemeristekdikti akan terus melakukan pembinaan terhadap perguruan tinggi yang inovatif terkait pengembangan MIPT sehingga diharapkan menghasilkan produk inovasi yang unggul.

Direktur Penelitian Universitas Gadjah Mada Mustofa melalui sambungan telepon mengatakan, pihaknya tengah menggodok pembentukan TTO di kampus. “Tahun ini kita targetkan siap terbentuk,” ujarnya.

Saat ini, terang dia, riset dosen dan peneliti hingga komersialisasi ditangani bersama antara Direktorat Penelitian UGM dan Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkusasi UGM. Menurut Mustofa, dua direktorat tersebut saling berbagi riset dan mengawal penelitian sesuai dengan tingkat kesiapan teknologi (TKT).

Dia mengungkapkan, secara kuantitas ataupun kualitas luaran, riset di UGM terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2018 misalnya, UGM mengirimkan sekitar 800-an proposal dan 550 di antaranya berhasil mendapatkan dana hibah penelitian dari Kemenristekdikti. “Semoga tahun ini bisa naik jumlahnya. Kita targetkan sebanyak 700 proposal yang bisa lolos dapat pendanaan,” sebut Mustofa.

Dan yang juga membanggakan, dua grup riset UGM ditetapkan sebagai Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUIPT) Kemenristekdikti, yaitu Institute of Halal Industry and System (IHIS) yang melakukan kajian-kajian tentang halal, mulai pangan, sistem, hingga industri halal.

Dan Center for Innovation of Medical Equipment and Devices (Cimeds) yang mewadahi penelitian di bidang teknik biomedis. Terdiri atas beberapa peneliti utama di bidang teknik mesin, material, manufaktur, dan kedokteran. Grup riset ini dinilai memiliki keunggulan kompetitif yang memungkinkan untuk alih teknologi dan pengetahuan. Selain itu, memiliki kelembagaan yang kuat dan berkelanjutan.

Mustofa mengutarakan, untuk bantuan dana penelitian bagi dosen ataupun peneliti jumlahnya sendiri bergantung skema penelitian yang akan dijalankan, yang bisa didapat dari pemerintah pusat, UGM, bahkan dari fakultas. “Kalau dua grup riset yang menjadi pusat unggulan iptek, akan dibiayai pemerintah. Utamanya, untuk jadi lembaga riset yang proaktif dan unggul masing-masing bidang,” tuturnya.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina Andreas Tambah menuturkan, perguruan tinggi harus membudidayakan riset bagi mahasiswa dan atau staf pengajar sebagai bagian dari upaya meningkatkan peringkatnya dalam universitas kelas dunia. “Perguruan tinggi harus membudidayakan riset dan jurnal internasional bagi mahasiswa atau staf pengajar,” katanya.

Dia menjelaskan, indikator-indikator untuk peringkat WCU adalah reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal riset, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional. Saat ini ada sekitar sembilan universitas di Indonesia yang masuk peringkat dunia, tapi peringkatnya masih di bawah 295.

Dari QS World University Rankings 2019-2020, Universitas Indonesia menduduki peringkat 296 dunia, UGM peringkat 320 dunia, Institut Teknologi Bandung peringkat 331 dunia, Institut Pertanian Bogor berada di nomor 601-650 dunia, dan Universitas Airlangga berada di peringkat 651-700 dunia.

Adapun Universitas Padjajaran bertengger di peringkat 751- 800 dunia, Universitas Bina Nusantara berada di peringkat 801-1.000 dunia, Universitas Diponegoro menempati peringkat 801-1.000 dunia serta Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya berada di peringkat 801-1.000 dunia. (Rendra Hanggara)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1366 seconds (0.1#10.140)