Tak Sesuai Zaman, DPR Usulkan Revisi Tiga UU Pendidikan
A
A
A
JAKARTA - Komisi X DPR mengusulkan delapan undang-undang (UU) terkait bidang yang dibawahinya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk direvisi. Di antara UU itu, ada tiga yang terkait dengan pendidikan.
Ketiganya adalah UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, regulasi-regulasi tersebut perlu direvis, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. “Bayangkan saja, UU Sisdiknas itu disahkan di tahun 2003 sudah hampir dua dekade. Sementara situasi dan kebutuhan di lapangan sudah jauh berkembang,” tandas Hetifah dalam Rapat Komisi X DPR terkait usulan Prolegnas di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, ketiga UU yang diajukan oleh Komisi X ini memiliki semangat omnibus law, yaitu membuat suatu UU yang akan mengamandemen beberapa UU sekaligus. Dan hal ini dinilai perlu karena masih banyaknya tumpang tindih regulasi di berbagai sektor.
Politikus Golkar ini juga menambahkan, momentum terpilihnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru dari kalangan milenial seharusnya dimanfaatkan untuk membuat aturan yang juga up to date atau terbarukan.
“Tidak mungkin mas menteri (Mendikbud Nadiem Makarim) bisa melakukan terobosan-terobosan di dunia pendidikan kalau aturannya saja sangat membelenggu dan ketinggalan jaman,” ujarnya.
Selain mengajukan perubahan terhadap beberapa UU, Komisi X rencananya juga akan mengajukan beberapa rancangan UU baru terkait pendidikan. Seperti UU Fasilitasi Sarana Prasarana Pendidikan yang diharapkan dapat menjamin terbangunnya fasilitas pendidikan yang memadai. Dia berharap, UU yang baru nanti bisa mengombinasikan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat, pakar pendidikan, serta mendukung program-program yang diajukan pemerintah.
“Harus sinkron antara regulasi dan program. Contohnya menyangkut program pendidikan karakter, penyertaan teknologi, inovasi dalam manajemen guru, semua harus ada payung hukumnya,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi X lainnya, Abdul Fikri Faqih mengatakan, khusus bidang pendidikan, ada empat RUU yang diusulkan masuk dalam prolegnas. Selain tiga UU yang sudah ada,yakni UU Sisdiknas, UU Dikti,dan UU Guru dan Dosen, ada satu usulan RUU yakni RUU Fasilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan. Hanya saja,untuk yang terakhir ini masih belum pasti karena masih berupa usulan salah satu anggota Komisi X DPR.
Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, pihaknya ingin berdiskusi langsung dengan Komisi X DPR, sehingga bisa mengetahui bagaimana arah yang diinginkan DPR dalam usulan revisi tersebut. Selain itu, agar Komisi X juga mendapatkan masukan dari para guru.
Unifah mengusulkan adanya perubahan nama pada UU Guru dan Dosen menjadi UU Pendidik. Dengan demikian, tidak akan ada lagi dikotomi antara guru dan dosen yang sama-sama mendidik anak bangsa. Selain itu, Unifah berharap akan ada kejelasan tentang sertifikasi guru dalam jabatan dan penghargaan terhadap guru honorer di sekolah negeri.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto berpendapat, memang diperlukan revisi agak banyak pada UU tersebut. Misalnya saja pada UU Guru dan Dosen, harus dibuat peraturan yang bisa membedakan antara kompetensi dan tunjangan kompetensi. Sementara pada UU Pendidikan Tinggi, sebenarnya bisa mengatur soal dosen juga, sehingga bisa dipisah dari UU Guru dan Dosen.
Sementara itu, dalam rapat Komisi X kemarin dibahas sejumlah UU yang bisa masuk dalam omnibus law. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf itu juga menghadirkan Kepala Pusat Perancangan UU Inosentius Samsul. Komisi X DPR ingin mendapat masukan soal UU mana saja yang bisa masuk menjadi omnibus law.
“Kami ingin mendapat pemaparan soal omnibus law di bidang pendidikan, kepariwisataan, olahraga, dan kepemudaan. Perlukah masuk omnibus law. Misalnya, rumpun pendidikan masuk UU pendidikan, olahraga sendiri, dan seterusnya," tutur Dede dalam rapat tersebut. Ia juga mengatakan, produk UU tak perlu banyak. Yang penting efektif dan bisa dijalankan pemerintah. Sementara itu Komisi X DPR RI juga harus mengejar waktu pengajuan Prolegnas ke Baleg paling lambat 18 November 2019.
Sensi, sapaan akrab Inosentius menegaskan, semua perundang-undangan harus dikaji dulu sebelum masuk menjadi omnibus law. Jangan sampai ada UU yang asal cabut supaya bisa masuk agenda omnibus law. Padahal, saat yang sama UU tersebut masih dibutuhkan dan tak perlu masuk omnibus law.
Misalnya, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bila ingin masuk target omnibus law harus disinkronisasi dulu dengan UU Pemda dan UU Penyandang Disabilitas. (Kiswondari/Neneng Zubaidah)
Ketiganya adalah UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, regulasi-regulasi tersebut perlu direvis, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. “Bayangkan saja, UU Sisdiknas itu disahkan di tahun 2003 sudah hampir dua dekade. Sementara situasi dan kebutuhan di lapangan sudah jauh berkembang,” tandas Hetifah dalam Rapat Komisi X DPR terkait usulan Prolegnas di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, ketiga UU yang diajukan oleh Komisi X ini memiliki semangat omnibus law, yaitu membuat suatu UU yang akan mengamandemen beberapa UU sekaligus. Dan hal ini dinilai perlu karena masih banyaknya tumpang tindih regulasi di berbagai sektor.
Politikus Golkar ini juga menambahkan, momentum terpilihnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru dari kalangan milenial seharusnya dimanfaatkan untuk membuat aturan yang juga up to date atau terbarukan.
“Tidak mungkin mas menteri (Mendikbud Nadiem Makarim) bisa melakukan terobosan-terobosan di dunia pendidikan kalau aturannya saja sangat membelenggu dan ketinggalan jaman,” ujarnya.
Selain mengajukan perubahan terhadap beberapa UU, Komisi X rencananya juga akan mengajukan beberapa rancangan UU baru terkait pendidikan. Seperti UU Fasilitasi Sarana Prasarana Pendidikan yang diharapkan dapat menjamin terbangunnya fasilitas pendidikan yang memadai. Dia berharap, UU yang baru nanti bisa mengombinasikan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat, pakar pendidikan, serta mendukung program-program yang diajukan pemerintah.
“Harus sinkron antara regulasi dan program. Contohnya menyangkut program pendidikan karakter, penyertaan teknologi, inovasi dalam manajemen guru, semua harus ada payung hukumnya,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi X lainnya, Abdul Fikri Faqih mengatakan, khusus bidang pendidikan, ada empat RUU yang diusulkan masuk dalam prolegnas. Selain tiga UU yang sudah ada,yakni UU Sisdiknas, UU Dikti,dan UU Guru dan Dosen, ada satu usulan RUU yakni RUU Fasilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan. Hanya saja,untuk yang terakhir ini masih belum pasti karena masih berupa usulan salah satu anggota Komisi X DPR.
Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, pihaknya ingin berdiskusi langsung dengan Komisi X DPR, sehingga bisa mengetahui bagaimana arah yang diinginkan DPR dalam usulan revisi tersebut. Selain itu, agar Komisi X juga mendapatkan masukan dari para guru.
Unifah mengusulkan adanya perubahan nama pada UU Guru dan Dosen menjadi UU Pendidik. Dengan demikian, tidak akan ada lagi dikotomi antara guru dan dosen yang sama-sama mendidik anak bangsa. Selain itu, Unifah berharap akan ada kejelasan tentang sertifikasi guru dalam jabatan dan penghargaan terhadap guru honorer di sekolah negeri.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto berpendapat, memang diperlukan revisi agak banyak pada UU tersebut. Misalnya saja pada UU Guru dan Dosen, harus dibuat peraturan yang bisa membedakan antara kompetensi dan tunjangan kompetensi. Sementara pada UU Pendidikan Tinggi, sebenarnya bisa mengatur soal dosen juga, sehingga bisa dipisah dari UU Guru dan Dosen.
Sementara itu, dalam rapat Komisi X kemarin dibahas sejumlah UU yang bisa masuk dalam omnibus law. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf itu juga menghadirkan Kepala Pusat Perancangan UU Inosentius Samsul. Komisi X DPR ingin mendapat masukan soal UU mana saja yang bisa masuk menjadi omnibus law.
“Kami ingin mendapat pemaparan soal omnibus law di bidang pendidikan, kepariwisataan, olahraga, dan kepemudaan. Perlukah masuk omnibus law. Misalnya, rumpun pendidikan masuk UU pendidikan, olahraga sendiri, dan seterusnya," tutur Dede dalam rapat tersebut. Ia juga mengatakan, produk UU tak perlu banyak. Yang penting efektif dan bisa dijalankan pemerintah. Sementara itu Komisi X DPR RI juga harus mengejar waktu pengajuan Prolegnas ke Baleg paling lambat 18 November 2019.
Sensi, sapaan akrab Inosentius menegaskan, semua perundang-undangan harus dikaji dulu sebelum masuk menjadi omnibus law. Jangan sampai ada UU yang asal cabut supaya bisa masuk agenda omnibus law. Padahal, saat yang sama UU tersebut masih dibutuhkan dan tak perlu masuk omnibus law.
Misalnya, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bila ingin masuk target omnibus law harus disinkronisasi dulu dengan UU Pemda dan UU Penyandang Disabilitas. (Kiswondari/Neneng Zubaidah)
(nfl)