Hanya Cita-cita yang Buat Sugianti Bertahan 17 Tahun Jadi Guru Honorer
A
A
A
JAKARTA - Sugianti, Guru Bahasa Indonesia di SMP 84 Jakarta yang memiliki semangat kuat mengajar masih berjibaku untuk dapat disetarakan dengan guru berstatus PNS.
Kewajiban yang diemban oleh seorang guru honorer, sejatinya serupa dengan mereka yang berstatus PNS. Namun hak yang diperoleh guru honorer jauh lebih rendah dari mereka yang seorang PNS.
"Kalau untuk harapan guru terutama non PNS itu kan, kita mengambil kesimpulan secara keseluruhan, permasalahan di setiap daerah sama. Kita tidak mendapatkan upah yang layak, seperti hal nya guru yang berstatus PNS," tutur Sugianti saat dihubungi SINDOnews, Senin (25/11/2019).
Sugianti menuturkan di daerah yang notabene deket dengan wilayah Jakarta masih ada guru yang hanya digaji sebesar Rp200.000-300.000 Ini terjadi karena hanya diupah melalui sistem satu jam pelajaran dengan nilai Rp70.000.
"Kita meskipun belum berstatus PNS paling tidak ada penghargaan dari pemerintah, salah satu contoh dengan adanya program sertifikasi, selama ini, program sertifikasi hanya berlaku untuk tenaga pengajar dengan status PNS," jelasnya.
Kendati sudah ada sertifikasi, Sugianti menilai pemerintah masih belum bersikap tegas mengenai pengangkatan jabatan sebagai guru PNS. "Jadi melalui sertifikasi guru honorer sepatutnya pemerintah harus menyamaratakan status honorer dengan PNS," ucap dia.
Dia melanjutkan jika status guru honorer tidak bisa diangkat menjadi PNS, paling tidak keberadaan guru diakui dengan cara memberikan gaji yang serupa dengan PNS.
"Melaksanakan tugas dapat dengan tenang karena sudah tidak perlu berpikir, besok anak-anak (Keluarga) mau makan apa dan sebagainya. Kalau hanya mengandalkan gaji dari apa yang diterima tidak cukup," terangnya.
Sugianti yang memulai karir sebagai guru sejak tamat kuliah di usia 22 tahun menaruh harapan tinggi kepada pemerintah. Karena menurutnya, menjadi guru merupakan impian yang sudah di cita-citakan dari kecil.
"Khusus saya pribadi bisa bertahan sampai 17 tahun, karena saya menyukai dunia ini (Pendidikan). Saya suka, saya berharap meski pun selama 17 tahun belum ada penghargaan secara pribadi. Paling tidak saya menaruh harapan ada perubahan nasib ke arah yang lebih baik," tandasnya.
Sugianti juga pernah menjadi pedagang pakaian demi menghidupi perekonomian keluarga. Dia juga memiliki kesibukan lain di luar mengajar, membuat kelas pelatihan menulis sejak 2008 karena memiliki hobi menulis. Dia merasa hal positif itu harus ditularkan kepada anak-anak sejak usia dini.
"Kesenjangan terlihat sangat timpang, jadi melalui sertifikasi guru honorer sepatutnya pemerintah harus menyamaratakan status honorer dengan PNS," tandasnya.
Dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh tepat pada Senin 25 November 2019, dia berharap melalui kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru semoga pola pengajaran yang lebih mengutamakan kurikulum dapat diubah ke arah yang lebih baik.
"Pembelajaran seperti apa yang diutarakan Nadiem sebenarnya sangat membantu, karena dapat memperkecil risiko kejenuhan anak saat belajar selama 6 sampai 7 jam sehari di ruang kelas kan jenuh. Tapi jika mereka ditempatkan sesuai dengan tujuan dari pembelajaran, dapat lebih tepat guna dan tepat sasaran. Karena untuk mempermudah proses tranfer pengetahuan yang akan disampaikan," ucapnya.
Kewajiban yang diemban oleh seorang guru honorer, sejatinya serupa dengan mereka yang berstatus PNS. Namun hak yang diperoleh guru honorer jauh lebih rendah dari mereka yang seorang PNS.
"Kalau untuk harapan guru terutama non PNS itu kan, kita mengambil kesimpulan secara keseluruhan, permasalahan di setiap daerah sama. Kita tidak mendapatkan upah yang layak, seperti hal nya guru yang berstatus PNS," tutur Sugianti saat dihubungi SINDOnews, Senin (25/11/2019).
Sugianti menuturkan di daerah yang notabene deket dengan wilayah Jakarta masih ada guru yang hanya digaji sebesar Rp200.000-300.000 Ini terjadi karena hanya diupah melalui sistem satu jam pelajaran dengan nilai Rp70.000.
"Kita meskipun belum berstatus PNS paling tidak ada penghargaan dari pemerintah, salah satu contoh dengan adanya program sertifikasi, selama ini, program sertifikasi hanya berlaku untuk tenaga pengajar dengan status PNS," jelasnya.
Kendati sudah ada sertifikasi, Sugianti menilai pemerintah masih belum bersikap tegas mengenai pengangkatan jabatan sebagai guru PNS. "Jadi melalui sertifikasi guru honorer sepatutnya pemerintah harus menyamaratakan status honorer dengan PNS," ucap dia.
Dia melanjutkan jika status guru honorer tidak bisa diangkat menjadi PNS, paling tidak keberadaan guru diakui dengan cara memberikan gaji yang serupa dengan PNS.
"Melaksanakan tugas dapat dengan tenang karena sudah tidak perlu berpikir, besok anak-anak (Keluarga) mau makan apa dan sebagainya. Kalau hanya mengandalkan gaji dari apa yang diterima tidak cukup," terangnya.
Sugianti yang memulai karir sebagai guru sejak tamat kuliah di usia 22 tahun menaruh harapan tinggi kepada pemerintah. Karena menurutnya, menjadi guru merupakan impian yang sudah di cita-citakan dari kecil.
"Khusus saya pribadi bisa bertahan sampai 17 tahun, karena saya menyukai dunia ini (Pendidikan). Saya suka, saya berharap meski pun selama 17 tahun belum ada penghargaan secara pribadi. Paling tidak saya menaruh harapan ada perubahan nasib ke arah yang lebih baik," tandasnya.
Sugianti juga pernah menjadi pedagang pakaian demi menghidupi perekonomian keluarga. Dia juga memiliki kesibukan lain di luar mengajar, membuat kelas pelatihan menulis sejak 2008 karena memiliki hobi menulis. Dia merasa hal positif itu harus ditularkan kepada anak-anak sejak usia dini.
"Kesenjangan terlihat sangat timpang, jadi melalui sertifikasi guru honorer sepatutnya pemerintah harus menyamaratakan status honorer dengan PNS," tandasnya.
Dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh tepat pada Senin 25 November 2019, dia berharap melalui kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru semoga pola pengajaran yang lebih mengutamakan kurikulum dapat diubah ke arah yang lebih baik.
"Pembelajaran seperti apa yang diutarakan Nadiem sebenarnya sangat membantu, karena dapat memperkecil risiko kejenuhan anak saat belajar selama 6 sampai 7 jam sehari di ruang kelas kan jenuh. Tapi jika mereka ditempatkan sesuai dengan tujuan dari pembelajaran, dapat lebih tepat guna dan tepat sasaran. Karena untuk mempermudah proses tranfer pengetahuan yang akan disampaikan," ucapnya.
(kri)