Anak-anak Pedalaman Papua Pintar, Hanya Butuh Kesempatan
A
A
A
SENTANI - SETELAH sembuh dari cedera lutut, Daniel Yohanes Menufandu memutuskan kembali ke Desa Mamit, Kabupaten Tolikara, Papua untuk mengajar. Keinginan ini ditentang orang tuanya. Namun, Daniel mempunyai kemauan berbeda. Laki-laki 25 tahun ini tetap memilih kembali mengajar ke daerah pedalaman di Papua.
Dia membulatkan diri kembali mengajar di Mamit. Orang tua Daniel di Biak hanya bisa pasrah dengan keinginan keras Daniel. Mereka membiarkan anak kedua dari empat bersaudara ini terbang kembali ke pedalaman Papua.
Mamit hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil, satu jam dari Sentani, Kabupaten Jayapura. Tiba di Mamit, dia memaafkan penduduk yang menyebabkan kakinya cedera. Seusai bertugas di Mamit, pada pertengahan 2019 lalu, Daniel yang hobi bermain gitar pindah ke Tumdungbon, Kabupaten Pegunungan Bintang. Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) yang menaungi Daniel, memutuskan membuka akses pendidikan di Tumdungbon.
Daniel diberi kepercayaan menjadi kepala sekolah di Tumdungbon. Pada April hingga Juni 2019, bangunan fisik sekolah dibangun. Pada Juli 2019, Daniel mendaftar anak-anak di Tumdungbon memasuki Sekolah Lentera Harapan (SLH).
Tumdungbon adalah daerah pedalaman teranyar yang mendapat akses pendidikan dan kesehatan dari YPHP. Saat ini SLH Tumdungbon memiliki dua kelas dengan 22 murid dan 2 guru. Daniel sebagai kepala sekolah dibantu Yusuf Esau Tunu, 23.
Bagi Daniel dan Yusuf, memberikan akses pendidikan kepada anak-anak Papua di pedalaman adalah tanggung jawab moral mereka. “Saya pengin mengajar adik-adik saya,” kata Daniel beberapa waktu lalu di Tumdungbon, Papua.
Yusuf, meski bukan berasal dari Papua, juga merasa terpanggil. Laki-laki asal NTT ini termotivasi mengajar dan membagi pengetahuan sejak dia duduk di bangku sekolah menengah atas.
Daniel mengatakan, dia dan Yusuf tidak hanya mengajarkan pelajaran membaca, menulis, atau berhitung. Mereka juga memberikan pelajaran agama sebagai dasar kehidupan. Mereka bercita-cita menciptakan anak-anak Papua yang tidak sekadar pintar dan hanya memikirkan uang, tetapi juga menjauhi dan menghindari sikap-sikap tercela seperti korupsi.
Andi Rumrar, guru yang mengabdi di Mokndoma, meyakini anak-anak di pedalaman Papua mempunyai kecerdasan yang sangat bagus. Hanya, anak-anak pedalaman Papua tidak mempunyai akses pendidikan. Mereka hanya butuh kesempatan.
Andi membuktikan, pada Oktober 2019 lalu, anak-anak Mokndoma hanya bisa membaca satu kata. Namun pada Februari 2020, mereka sudah bisa membaca satu kalimat. “Anak-anak (pedalaman) Papua pintar, hanya butuh kesempatan,” kata Andi dengan mata berkaca-kaca.
Daniel dan Yusuf tidak sendiri dalam mengabdi di pedalaman Papua. Hingga 2020 ini, YPHP telah membuka akses pendidikan dan kesehatan di delapan wilayah pedalaman Papua. Kedelapan daerah tersebut adalah Mamit, Daboto (Kabupaten Intan Jaya), Karubaga (Tolikara), Korupun (Yahukimo), Nalca (Yahukimo), Danowage (Boven Digul), Mokndoma (Puncak Jaya), dan Tumdungbon.
Dari delapan daerah pedalaman tersebut, YPHP telah membuka 49 kelas dengan 50 guru dan mampu memberikan akses pendidikan kepada 786 anak-anak di pedalaman Papua, dengan nama Sekolah Lentera Harapan (SLH). Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang mendapat pendidikan informal bagi anak-anak yang secara umur sudah pantas (bahkan ada yang melebihi usia) untuk lulus sekolah dasar. Mereka yang mendapat pendidikan informal untuk meraih ijazah paket A (setingkat SD).
Mamit adalah daerah pertama yang mendapat akses pendidikan oleh YPHP. SLH di Mamit sudah hadir sejak2013 lalu. SLH Mamit telah memiliki 224 siswa dengan jumlah guru paling banyak yaitu 15.
Sistem pendidikan di Mamit paling mapan dibandingkan daerah-daerah lain. Setelah Mamit, pada 2016 membuka di Daboto dan Karubaga. Pada 2017, akses pendidikan di Korupun, Nalca, dan Danowage dibuka oleh YPHP, sedangkan Mokndoma dan Tumdungbon pada 2019 lalu.
“Awalnya Mamit. Dan di daerah ini kita menciptakan guru-guru untuk memimpin pendidikan di daerah-daerah lain. Jadi, guru-guru selain di daerah lain kebanyakan dari Mamit,” kata pendiri YPHP James Tjahaja Riady.
Delapan daerah pedalaman di Papua tersebut bukanlah daerah yang mudah dijangkau. Bahkan, beberapa daerah membutuhkan waktu 2 jam 10 menit terbang menggunakan pesawat kecil dari Sentani.
Daboto salah satunya. Daerah ini bahkan belum memiliki perwakilan pemerintah. Hanya sepasang misionaris, 5 guru dan 2 perawat. Hanya berpenduduk sekitar 500 orang dengan jumlah anak-anak yang bersekolah sekitar 59.
Untuk mendaratkan pesawat kecil, Daboto memiliki landasan pesawat tidak lebih 300 meter yang terbuat dari batu dan tanah. Jika cuaca kurang baik seperti berawan, kabut, atau angin kencang, maka pesawat tidak berani untuk mendarat ataupun lepas landas, apalagi Daboto adalah wilayah yang dikelilingi perbukitan. Hampir semua daerah tersebut hanya memiliki penerbangan sekali dalam satu pekan.
Ya, Daniel dan Yusuf tidak sendiri. Bersama 48 guru jebolan Universitas Pelita Harapan, mereka mengabdi kepada anak-anak Papua. Masih ada Beni Laoli yang hidup bersama anak-istrinya di Daboto ditemani beberapa guru lainnya, Raymond dkk di Nalca, Gerald EES; Bunga Pasodo dkk di Mamit, Mery K Tobing; Naresya Londa Pramesti; Gita di Danowage, Andi Rumrar dan Pascalinus Sebedia di Mokndoma, serta yang lainnya.
Mereka mengabdi selama tiga tahun. Setelah tiga tahun, mereka berhak memilih apakah kembali ke pedalaman atau ke daerah/kota lain. Namun, beberapa dari mereka memilih untuk kembali ke pedalaman.
James mengaku bangga dengan pengabdian para guru-guru di pedalaman Papua tersebut. Dia berpesan kepada guru-guru ini untuk lebih mementingkan membangun manusia. Pasalnya, pendidikan bukan sekadar pelajaran, melainkan juga bisa menciptakan manusia yang baik. “Kami di sini ingin membantu. Tolong jaga guru-guru. Ini karena demi anak-anak Papua,“ kata James saat bertemu dengan siswa dan orang tua siswa di Mokndoma.
Dia membulatkan diri kembali mengajar di Mamit. Orang tua Daniel di Biak hanya bisa pasrah dengan keinginan keras Daniel. Mereka membiarkan anak kedua dari empat bersaudara ini terbang kembali ke pedalaman Papua.
Mamit hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil, satu jam dari Sentani, Kabupaten Jayapura. Tiba di Mamit, dia memaafkan penduduk yang menyebabkan kakinya cedera. Seusai bertugas di Mamit, pada pertengahan 2019 lalu, Daniel yang hobi bermain gitar pindah ke Tumdungbon, Kabupaten Pegunungan Bintang. Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) yang menaungi Daniel, memutuskan membuka akses pendidikan di Tumdungbon.
Daniel diberi kepercayaan menjadi kepala sekolah di Tumdungbon. Pada April hingga Juni 2019, bangunan fisik sekolah dibangun. Pada Juli 2019, Daniel mendaftar anak-anak di Tumdungbon memasuki Sekolah Lentera Harapan (SLH).
Tumdungbon adalah daerah pedalaman teranyar yang mendapat akses pendidikan dan kesehatan dari YPHP. Saat ini SLH Tumdungbon memiliki dua kelas dengan 22 murid dan 2 guru. Daniel sebagai kepala sekolah dibantu Yusuf Esau Tunu, 23.
Bagi Daniel dan Yusuf, memberikan akses pendidikan kepada anak-anak Papua di pedalaman adalah tanggung jawab moral mereka. “Saya pengin mengajar adik-adik saya,” kata Daniel beberapa waktu lalu di Tumdungbon, Papua.
Yusuf, meski bukan berasal dari Papua, juga merasa terpanggil. Laki-laki asal NTT ini termotivasi mengajar dan membagi pengetahuan sejak dia duduk di bangku sekolah menengah atas.
Daniel mengatakan, dia dan Yusuf tidak hanya mengajarkan pelajaran membaca, menulis, atau berhitung. Mereka juga memberikan pelajaran agama sebagai dasar kehidupan. Mereka bercita-cita menciptakan anak-anak Papua yang tidak sekadar pintar dan hanya memikirkan uang, tetapi juga menjauhi dan menghindari sikap-sikap tercela seperti korupsi.
Andi Rumrar, guru yang mengabdi di Mokndoma, meyakini anak-anak di pedalaman Papua mempunyai kecerdasan yang sangat bagus. Hanya, anak-anak pedalaman Papua tidak mempunyai akses pendidikan. Mereka hanya butuh kesempatan.
Andi membuktikan, pada Oktober 2019 lalu, anak-anak Mokndoma hanya bisa membaca satu kata. Namun pada Februari 2020, mereka sudah bisa membaca satu kalimat. “Anak-anak (pedalaman) Papua pintar, hanya butuh kesempatan,” kata Andi dengan mata berkaca-kaca.
Daniel dan Yusuf tidak sendiri dalam mengabdi di pedalaman Papua. Hingga 2020 ini, YPHP telah membuka akses pendidikan dan kesehatan di delapan wilayah pedalaman Papua. Kedelapan daerah tersebut adalah Mamit, Daboto (Kabupaten Intan Jaya), Karubaga (Tolikara), Korupun (Yahukimo), Nalca (Yahukimo), Danowage (Boven Digul), Mokndoma (Puncak Jaya), dan Tumdungbon.
Dari delapan daerah pedalaman tersebut, YPHP telah membuka 49 kelas dengan 50 guru dan mampu memberikan akses pendidikan kepada 786 anak-anak di pedalaman Papua, dengan nama Sekolah Lentera Harapan (SLH). Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang mendapat pendidikan informal bagi anak-anak yang secara umur sudah pantas (bahkan ada yang melebihi usia) untuk lulus sekolah dasar. Mereka yang mendapat pendidikan informal untuk meraih ijazah paket A (setingkat SD).
Mamit adalah daerah pertama yang mendapat akses pendidikan oleh YPHP. SLH di Mamit sudah hadir sejak2013 lalu. SLH Mamit telah memiliki 224 siswa dengan jumlah guru paling banyak yaitu 15.
Sistem pendidikan di Mamit paling mapan dibandingkan daerah-daerah lain. Setelah Mamit, pada 2016 membuka di Daboto dan Karubaga. Pada 2017, akses pendidikan di Korupun, Nalca, dan Danowage dibuka oleh YPHP, sedangkan Mokndoma dan Tumdungbon pada 2019 lalu.
“Awalnya Mamit. Dan di daerah ini kita menciptakan guru-guru untuk memimpin pendidikan di daerah-daerah lain. Jadi, guru-guru selain di daerah lain kebanyakan dari Mamit,” kata pendiri YPHP James Tjahaja Riady.
Delapan daerah pedalaman di Papua tersebut bukanlah daerah yang mudah dijangkau. Bahkan, beberapa daerah membutuhkan waktu 2 jam 10 menit terbang menggunakan pesawat kecil dari Sentani.
Daboto salah satunya. Daerah ini bahkan belum memiliki perwakilan pemerintah. Hanya sepasang misionaris, 5 guru dan 2 perawat. Hanya berpenduduk sekitar 500 orang dengan jumlah anak-anak yang bersekolah sekitar 59.
Untuk mendaratkan pesawat kecil, Daboto memiliki landasan pesawat tidak lebih 300 meter yang terbuat dari batu dan tanah. Jika cuaca kurang baik seperti berawan, kabut, atau angin kencang, maka pesawat tidak berani untuk mendarat ataupun lepas landas, apalagi Daboto adalah wilayah yang dikelilingi perbukitan. Hampir semua daerah tersebut hanya memiliki penerbangan sekali dalam satu pekan.
Ya, Daniel dan Yusuf tidak sendiri. Bersama 48 guru jebolan Universitas Pelita Harapan, mereka mengabdi kepada anak-anak Papua. Masih ada Beni Laoli yang hidup bersama anak-istrinya di Daboto ditemani beberapa guru lainnya, Raymond dkk di Nalca, Gerald EES; Bunga Pasodo dkk di Mamit, Mery K Tobing; Naresya Londa Pramesti; Gita di Danowage, Andi Rumrar dan Pascalinus Sebedia di Mokndoma, serta yang lainnya.
Mereka mengabdi selama tiga tahun. Setelah tiga tahun, mereka berhak memilih apakah kembali ke pedalaman atau ke daerah/kota lain. Namun, beberapa dari mereka memilih untuk kembali ke pedalaman.
James mengaku bangga dengan pengabdian para guru-guru di pedalaman Papua tersebut. Dia berpesan kepada guru-guru ini untuk lebih mementingkan membangun manusia. Pasalnya, pendidikan bukan sekadar pelajaran, melainkan juga bisa menciptakan manusia yang baik. “Kami di sini ingin membantu. Tolong jaga guru-guru. Ini karena demi anak-anak Papua,“ kata James saat bertemu dengan siswa dan orang tua siswa di Mokndoma.
(poe)