Guru Besar UI Puji Ketegasan Indonesia Hadapi Manuver China di Perairan Natuna
Jum'at, 29 September 2023 - 13:03 WIB
JAKARTA - Guru Besar dan pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Hikmahanto Juwana , Ph.D memuji tindakan Presiden Jokowi yang berani tegas terhadap Republik Rakyat China (RRC) meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan China.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9/2023)
Selain Hikmahanto, diskusi juga menghadirkan Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan (UPH); dengan moderator Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang yang juga Seketaris FSI.
Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu tidak ada dan sebagai konsekuensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan,” ujar pria yang kini tercatat sebagai Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum UI ini dalam keterangan resmi, Kamis (28/9/2023)
Kedua, lanjut Hikmahanto, Indonesia harus melakukan pengabaian bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE Indonesia. Dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tambahnya.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah. “Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan China pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Prof Hik, panggilan akrab Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.”. Berbeda dengan China saat ini, Indonesia memperjuangkan Deklarasi Djuanda melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspons dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9/2023)
Selain Hikmahanto, diskusi juga menghadirkan Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan (UPH); dengan moderator Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang yang juga Seketaris FSI.
Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu tidak ada dan sebagai konsekuensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan,” ujar pria yang kini tercatat sebagai Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum UI ini dalam keterangan resmi, Kamis (28/9/2023)
Kedua, lanjut Hikmahanto, Indonesia harus melakukan pengabaian bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE Indonesia. Dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tambahnya.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah. “Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan China pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Prof Hik, panggilan akrab Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.”. Berbeda dengan China saat ini, Indonesia memperjuangkan Deklarasi Djuanda melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspons dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
tulis komentar anda