DPR Minta Riset Perguruan Tinggi Jadi Bagian dari Kebijakan Hadapi COVID-19

Selasa, 21 April 2020 - 10:56 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta realokasi APBN 2020 untuk penanganan pandemi COVID-19 juga dialokasikan untuk riset perguruan tinggi. Foto/dpr.go.id
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta realokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 untuk penanganan pandemi COVID-19 juga dialokasikan untuk riset perguruan tinggi. Dia mengatakan, negara yang kuat di dunia saat ini adalah yang mampu memberi solusi hadapi infeksi COVID-19.

“Anggaran besar penanganan pandemi sebesar Rp405,1 triliun harusnya juga untuk riset,” ujar Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/4/2020).

Dia melanjutkan, penanganan pandemi yang dikonfirmasi masuk ke Indonesia sejak awal Maret itu direspons pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19. “Ini kan bentuk kebijakan responsif yang mestinya fokus kepada pandeminya,” ucapnya.



Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan kebijakan penggelontoran dana sebesar Rp405,1 triliun itu seharusnya juga memperhatikan tren kebijakan ekonomi dunia. “Perhatikan apa yang tengah dilakukan negara-negara besar seperti China dan Amerika, mereka sedang memulai perlombaan obat dan vaksin, dasarnya tentu dari riset,” jelas Fikri.

Maka itu, Politikus asal Tegal, Jawa Tengah ini mendesak perhatian lebih untuk riset bagi pendidikan tinggi, terutama terkait pencegahan infeksi dan penanganan COVID-19. “Jangan-jangan sudah ada peneliti kita di perguruan tinggi yang sudah menemukan obat dan vaksin, namun tidak terekspos karena minim dukungan anggaran dan perhatian,” tuturnya.

Dirinya juga mengritik pengambilan keputusan di tingkat pusat terkait penangangan COVID-19 yang terkesan tidak berdasar riset ilmiah. “Misalnya keputusan untuk membeli obat klorokuin dan avigan sebanyak jutaan butir,” katanya.

Dia berpendapat kedua obat itu masih menjadi pro-kontra di kalangan peneliti kedokteran di Tanah Air karena efek samping yang bisa ditimbulkannya daripada efektifitas penyembuhan. “Ini menunjukkan tidak ada penasihat istana yang terkoneksi dengan dunia riset kedokteran kita,” terang Fikri.

Selain obat, teknik-teknik pengobatan melalui teknologi dan penelitian di rumah sakit juga penting untuk penanganan COVID-19. Seperti yang sudah dilakukan oleh kolaborasi peneliti Institus Teknologi Surabaya dan rumah sakit Universitas Airlangga dalam riset membuat robot RAISA.

Adapun Robot medical Assistant ITS-Airlangga (RAISA) tersebut mampu menggantikan peran tenaga medis dalam merawat pasien positif virus Corona. “Kenapa kita tidak pakai robot buatan anak negeri ini, daripada harus mengorbankan nyawa para tenaga medis di garda depan perang wabah,” tanya Fikri.

Fikri juga menilai potensi ekonomi besar yang bisa diperoleh Indonesia ketika mampu menjadi pionir terdepan yang sukses menangani wabah COVID-19 dan bahkan menjadi penyelamat bagi jutaan nyawa di dunia. “Hasil riset perguruan tinggi ini bisa dipatenkan dan memberi nilai ekonomi tinggi di era pandemi, tinggal mau atau tidak tampil menjadi pemenang?” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More