Ragam Masalah yang Bikin Runyam Pendidikan Nasional
Kamis, 25 Juni 2020 - 12:23 WIB
JAKARTA - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan . Namun faktanya, implementasi otonomi pendidikan ini kerap mengalami banyak hambatan dan permasalahan. Akibatnya, situasi ini berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan.
Direktur Pendidikan Vox Populi Insitute Indonesia Indra Charismiadji menyebutkan salah satu penyebabnya adalah interpretasi yang berbeda soal otonomi pendidikan tersebut antara pusat dan daerah.
“Perbedaan interpretasi antara kewenangan pusat dan pemda, serta insinkronisasi pengelolaan komponen pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama dengan pemda dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” terangnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (25/6/2020).
(Baca: Pemerintah Harus Gaet Masyarakat Tangani Masalah Pendidikan di Masa Pandemi)
Selain tingkat komitmen yang berbeda dalam mengembangkan pendidikan , pemda juga masih kurang profesional dalam mengelola pendidikan dan tenaga kependidikan.
Sampai saat ini, kata Indra, mutu pendidikan Indonesia masih jauh dari konsep bangsa cerdas. Indikatornya bisa dilihat dari hasil tes programme for international student assessment (PISA) yang mengukur kemampuan leterasi, numerasi, dan sains pada anak berusia 15 tahun.
Dalam 20 tahun terakhir, kemampuan anak-anak Indonesia pada tiga bidang tersebut sangat rendah. Bahkan jauh di bawah rata-rata negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Bank Dunia menyatakan anak-anak Indonesia berada pada kondisi buta aksara secara fungsi (functionally illiterate). Artinya, mampu membaca tapi tidak memahami maknanya.
(Baca: Perbaiki Regulasi dan Sistem PPDB Secara Nasional)
“Kajian PISA itu ternyata terkonfirmasi oleh survei yang dilakukan Kemendikdud sendiri pada 2019, yang disebut asesmen kompetensi siswa Indonesia (AKSI). Survei ini akan menjadi model dari asesmen kompetensi minimum (AKM) yang akan diberlakukan secara nasional pada tahun 2021,” tuturnya.
Direktur Pendidikan Vox Populi Insitute Indonesia Indra Charismiadji menyebutkan salah satu penyebabnya adalah interpretasi yang berbeda soal otonomi pendidikan tersebut antara pusat dan daerah.
“Perbedaan interpretasi antara kewenangan pusat dan pemda, serta insinkronisasi pengelolaan komponen pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama dengan pemda dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” terangnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (25/6/2020).
(Baca: Pemerintah Harus Gaet Masyarakat Tangani Masalah Pendidikan di Masa Pandemi)
Selain tingkat komitmen yang berbeda dalam mengembangkan pendidikan , pemda juga masih kurang profesional dalam mengelola pendidikan dan tenaga kependidikan.
Sampai saat ini, kata Indra, mutu pendidikan Indonesia masih jauh dari konsep bangsa cerdas. Indikatornya bisa dilihat dari hasil tes programme for international student assessment (PISA) yang mengukur kemampuan leterasi, numerasi, dan sains pada anak berusia 15 tahun.
Dalam 20 tahun terakhir, kemampuan anak-anak Indonesia pada tiga bidang tersebut sangat rendah. Bahkan jauh di bawah rata-rata negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Bank Dunia menyatakan anak-anak Indonesia berada pada kondisi buta aksara secara fungsi (functionally illiterate). Artinya, mampu membaca tapi tidak memahami maknanya.
(Baca: Perbaiki Regulasi dan Sistem PPDB Secara Nasional)
“Kajian PISA itu ternyata terkonfirmasi oleh survei yang dilakukan Kemendikdud sendiri pada 2019, yang disebut asesmen kompetensi siswa Indonesia (AKSI). Survei ini akan menjadi model dari asesmen kompetensi minimum (AKM) yang akan diberlakukan secara nasional pada tahun 2021,” tuturnya.
tulis komentar anda