Keterbatasan Pendidikan Jarak Jauh Harus Didukung Data Valid
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendidikan jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah masih menyisakan beragam persoalan. Tidak hanya keterbatasan akses jaringan internet maupun listrik, persoalan juga mencakup beban paket data, kepemilikan gawai, pendampingan belajar oleh orang tua, dan masalah lainnya.
(Baca juga: Pemerintah Harus Menjamin Keadilan Akses Sekolah Online)
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian memahami kondisi itu masih kerap terjadi, terlebih lagi ketika kegiatan belajar mengajar sudah dimulai lagi pertengahan Juli lalu. Menurutnya, penanganan terhadap masalah tersebut harus didukung dengan data-data yang valid dan terukur.
"Kita harus punya data dulu. Mereka yang punya masalah itu siapa aja, dari kalangan mana, di sekolah mana, daerah mana. Jadi, kita betul-betul bisa men-treatment lebih tepat sasaran," kata Hetifah saat dihubungi SINDOnews, Selasa (21/7/2020) malam.
(Baca juga: Gugus Tugas Covid-19 Diganti, Anggota Tim Pakar Beberkan Lemahnya Koordinasi)
Misalnya, kalau di satu daerah tidak ada akses internetnya, makanya perlu diajukan untuk meminta akses kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan kata lain, pemecahan masalah itu tidak selalu menjadi ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
"Yang penting Kemdikbud menyediakan big data tentang problem pembelajaran jarak jauh yang sifatnya seperti sensus. Kita kan sudah punya data pokok pendidikan. Misalnya satu sekolah, berapa orang tua yang menunggui anaknya belajar, berapa yang tidak punya handphone, berapa yang punya handphone tapi cuma bisa WA (whatsapp), jadi sampai segitu," urai politikus Partai Golkar tersebut.
Tanpa adanya data itu, lanjut Hetifah, akan selalu muncul masalah atau bisa saja disalahgunakan sehingga penanganan menjadi tidak tepat sasaran. Misalnya, pengadaan handphone, pemberian paket data gratis bisa disasarkan untuk diberikan kepada siapa penerimanya.
"Intinya, kita harus melakukan sesuatu agar digital gap atau kesenjangan pendidikan tidak semakin besar," ujarnya.
Hetifah menambahkan, saat ini tidak dipungkiri masih banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki akses internet. Bahkan, kondisi itu juga bisa terjadi sebaliknya. Sekolah sudah memiliki jaringan internet, tapi rumah-rumah orang tua siswa belum memiliki atau terjangkau askes tersebut.
Hal itu sekaligus menanggapi pernyataan Kementerian Kesehatan yang sebelumnya menjelaskan sebanyak 32 persen siswa tidak punya akses untuk proses belajar di rumah selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi virus corona (Covid-19).
Keterbatasan itu mendorong anak harus mengalami proses belajar sendiri. Bahkan, 37 persen anak tidak bisa mengetahui waktu belajar karena harus belajar mandiri. Sementara, 30 persen anak kesulitan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru dan 20 persen anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring.
(Baca juga: Pemerintah Harus Menjamin Keadilan Akses Sekolah Online)
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian memahami kondisi itu masih kerap terjadi, terlebih lagi ketika kegiatan belajar mengajar sudah dimulai lagi pertengahan Juli lalu. Menurutnya, penanganan terhadap masalah tersebut harus didukung dengan data-data yang valid dan terukur.
"Kita harus punya data dulu. Mereka yang punya masalah itu siapa aja, dari kalangan mana, di sekolah mana, daerah mana. Jadi, kita betul-betul bisa men-treatment lebih tepat sasaran," kata Hetifah saat dihubungi SINDOnews, Selasa (21/7/2020) malam.
(Baca juga: Gugus Tugas Covid-19 Diganti, Anggota Tim Pakar Beberkan Lemahnya Koordinasi)
Misalnya, kalau di satu daerah tidak ada akses internetnya, makanya perlu diajukan untuk meminta akses kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan kata lain, pemecahan masalah itu tidak selalu menjadi ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
"Yang penting Kemdikbud menyediakan big data tentang problem pembelajaran jarak jauh yang sifatnya seperti sensus. Kita kan sudah punya data pokok pendidikan. Misalnya satu sekolah, berapa orang tua yang menunggui anaknya belajar, berapa yang tidak punya handphone, berapa yang punya handphone tapi cuma bisa WA (whatsapp), jadi sampai segitu," urai politikus Partai Golkar tersebut.
Tanpa adanya data itu, lanjut Hetifah, akan selalu muncul masalah atau bisa saja disalahgunakan sehingga penanganan menjadi tidak tepat sasaran. Misalnya, pengadaan handphone, pemberian paket data gratis bisa disasarkan untuk diberikan kepada siapa penerimanya.
"Intinya, kita harus melakukan sesuatu agar digital gap atau kesenjangan pendidikan tidak semakin besar," ujarnya.
Hetifah menambahkan, saat ini tidak dipungkiri masih banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki akses internet. Bahkan, kondisi itu juga bisa terjadi sebaliknya. Sekolah sudah memiliki jaringan internet, tapi rumah-rumah orang tua siswa belum memiliki atau terjangkau askes tersebut.
Hal itu sekaligus menanggapi pernyataan Kementerian Kesehatan yang sebelumnya menjelaskan sebanyak 32 persen siswa tidak punya akses untuk proses belajar di rumah selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat pandemi virus corona (Covid-19).
Keterbatasan itu mendorong anak harus mengalami proses belajar sendiri. Bahkan, 37 persen anak tidak bisa mengetahui waktu belajar karena harus belajar mandiri. Sementara, 30 persen anak kesulitan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru dan 20 persen anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring.
(maf)