Aturan Pemda Soal Kewajiban Guru Wajib Absen Harus Dievaluasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah daerah (Pemda) yang mewajibkan tenaga pengajar tetap hadir ke sekolah untuk absen sidik jari harus disikapi serius pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ). Tercatat, sudah ratusan guru yang terpapar bahkan gugur akibat COVID-19 yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Tanjung menjelaskan, salah satu penyebab banyaknya guru terpapar virus Corona ialah regulasi yang terlalu kaku dari pemda, yakni mewajibkan guru mengisi absen di sekolah. (Baca juga: Ratusan Guru Terpapar COVID-19, Pemda Diminta Cermat Ambil Kebijakan )
"Kami lihat Pemda sangat tidak fleksibel, ini terjadi di Surabaya, Bekasi dan beberapa daerah yang wajib gurunya hadir di sekolah. Bahkan, di Surabaya jumlahnya sudah lebih dari 100 guru positif," kata Fahriza pada keterangan pers secara daring, Senin (24/8).
Dia mencontohkan yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, di Kota Pahlawan ada peraturan guru wajib ke sekolah untuk absen sidik jari. Sementara itu, informasi terakhir menyebutkan puluhan guru di Surabaya meninggal karena COVID-19.
Saat ini, ada guru yang tinggalnya di kota berbeda dengan sekolah tempatnya bekerja sehingga menambah risiko guru terpapar COVID-19. Karena itu, FSGI meminta agar guru tidak diwajibkan datang ke sekolah jika aktivitas belajar mengajar bisa dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh. (Baca juga: Miris, Perlindungan Guru di Masa Pandemi COVID-19 Masih Minim )
"Ini menjadi peringatan bagi pemerintah di tengah upaya Kemendikbud melakukan relaksasi pembukaan sekolah. Kami berharap, pemerintah harus berhati-hati dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintah daerah yang akan membuka sekolah," kata Fahriza.
Kemendikbud pada awal Agustus 2020 lalu menyatakan bahwa guru tidak diwajibkan memenuhi mengajar 24 jam dalam satu pekan. Menurut Fahriza, kebijakan ini terlambat karena tahun ajaran baru sudah dimulai sejak 13 Juli 2020 lalu.
Keterlambatan kebijakan tersebut, menurut dia, menyebabkan sekolah pemerintah daerah dan sekolah sudah menyusun peraturan untuk kegiatan pembelajaran. "Sekolah sudah harus mempersiapkan sejak awal. Harus mempersiapkan jadwal, persiapan pembelajaran itu harus jauh-jauh hari dilakukan. Ini yang saya kira menjadi persoalan," kata dia.
Sementara, berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 58 Tahun 2020, pemerintah telah memberikan fleksibilitas dalam peraturan lokasi bekerja. Salah satunya, diperbolehkan untuk kerja dari rumah atau work from home (WFH).
Fahriza mengatakan Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 mengatur tentang 37,5 jam kerja efektif. Banyak guru yang menganggap masih harus memenuhi kewajiban jam kerja itu untuk datang ke sekolah.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Tanjung menjelaskan, salah satu penyebab banyaknya guru terpapar virus Corona ialah regulasi yang terlalu kaku dari pemda, yakni mewajibkan guru mengisi absen di sekolah. (Baca juga: Ratusan Guru Terpapar COVID-19, Pemda Diminta Cermat Ambil Kebijakan )
"Kami lihat Pemda sangat tidak fleksibel, ini terjadi di Surabaya, Bekasi dan beberapa daerah yang wajib gurunya hadir di sekolah. Bahkan, di Surabaya jumlahnya sudah lebih dari 100 guru positif," kata Fahriza pada keterangan pers secara daring, Senin (24/8).
Dia mencontohkan yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, di Kota Pahlawan ada peraturan guru wajib ke sekolah untuk absen sidik jari. Sementara itu, informasi terakhir menyebutkan puluhan guru di Surabaya meninggal karena COVID-19.
Saat ini, ada guru yang tinggalnya di kota berbeda dengan sekolah tempatnya bekerja sehingga menambah risiko guru terpapar COVID-19. Karena itu, FSGI meminta agar guru tidak diwajibkan datang ke sekolah jika aktivitas belajar mengajar bisa dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh. (Baca juga: Miris, Perlindungan Guru di Masa Pandemi COVID-19 Masih Minim )
"Ini menjadi peringatan bagi pemerintah di tengah upaya Kemendikbud melakukan relaksasi pembukaan sekolah. Kami berharap, pemerintah harus berhati-hati dan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintah daerah yang akan membuka sekolah," kata Fahriza.
Kemendikbud pada awal Agustus 2020 lalu menyatakan bahwa guru tidak diwajibkan memenuhi mengajar 24 jam dalam satu pekan. Menurut Fahriza, kebijakan ini terlambat karena tahun ajaran baru sudah dimulai sejak 13 Juli 2020 lalu.
Keterlambatan kebijakan tersebut, menurut dia, menyebabkan sekolah pemerintah daerah dan sekolah sudah menyusun peraturan untuk kegiatan pembelajaran. "Sekolah sudah harus mempersiapkan sejak awal. Harus mempersiapkan jadwal, persiapan pembelajaran itu harus jauh-jauh hari dilakukan. Ini yang saya kira menjadi persoalan," kata dia.
Sementara, berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 58 Tahun 2020, pemerintah telah memberikan fleksibilitas dalam peraturan lokasi bekerja. Salah satunya, diperbolehkan untuk kerja dari rumah atau work from home (WFH).
Fahriza mengatakan Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 mengatur tentang 37,5 jam kerja efektif. Banyak guru yang menganggap masih harus memenuhi kewajiban jam kerja itu untuk datang ke sekolah.
(mpw)