7 Contoh Teks Anekdot Politik, Sindiran Tajam dengan Unsur Humor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Teks anekdot adalah cerita pendek yang mengandung unsur humor namun juga bisa menyampaikan pesan atau kritik terhadap suatu hal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teks anekdot memiliki tujuan untuk membuat pembacanya tertawa atau merasa terhibur.
Sedangkan anekdot politik adalah cerita pendek yang mengisahkan kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan dunia politik.
Baca juga: 10 Contoh Teks Cerita Fantasi, Beserta Strukturnya
Cerita ini biasanya dibumbui dengan humor dan sindiran halus untuk menyoroti berbagai isu, mulai dari janji kampanye yang tak ditepati hingga perilaku para politisi yang seringkali menyimpang dari nilai-nilai moral.
Musim pemilihan kepala desa (Pilkades) kali ini, Kasiman tengah merasa diuntungkan dengan banyaknya tim sukses bakal calon kepala desa (balon kades) yang datang ke rumahnya. Suatu hari, tim sukses dari balon kades nomor 1 datang mengunjungi Joko dan memberinya amplop berisi uang.
“Jangan lupa pilih nomor 1, ya, Pak Joko,” kata salah satu anggota tim sukses sambil tersenyum lebar.
“Siaap, terima kasih,” jawab Joko, sambil menyimpan amplop itu.
Tak lama setelah itu, tim sukses dari balon kades nomor 2 datang juga ke rumah Joko. Mereka memberikan amplop serupa.
“Pilih nomor 2, ya, Pak Joko, jangan sampai lupa!” ujar mereka dengan ramah.
Baca juga: Teks Rekon: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, Struktur, dan Contohnya
“Beress,” sahut Joko, menerima amplop tanpa ragu.
Melihat suaminya menerima dua amplop dari dua kubu yang berbeda, sang istri merasa sedikit heran.
“Mas, kok bisa ya dua-duanya kamu iyaa-in? Nanti kalau salah satu yang kalah, gimana? Mereka bisa kecewa lho, Mas,” tanya sang istri, sedikit khawatir.
Joko pun menjawab dengan santai, “Halah, Bu. Kalau mereka udah kepilih nanti, juga belum tentu mikirin kita. Kalau mereka sudah memanfaatkan kita, ya kita juga manfaatkan mereka balik. Hehe…” Joko tertawa ringan, merasa tak ada yang salah dengan sikapnya.
Sang istri mengangguk perlahan, seakan paham dengan pemikiran suaminya. “Hmm, benar juga, Mas. Kalau begitu ya sudah.”
Pesan di dalamnya : Pesan yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap praktik politik uang dan ketidakjujuran dalam proses pemilihan.
Sambil menunggu guru masuk kelas, beberapa anak asyik bercanda di salah satu sudut kelas. Mereka mengisi waktu dengan permainan tebak-tebakan yang seru.
Baca juga: 15 Contoh Teks Anekdot Beserta Struktur dan Artinya, Kritik dengan Balutan Humor
Rehan : “Eh, guys, yuk main tebak-tebakan! Ini nih, kursi, kursi apa yang bisa bikin orang lupa ingatan?”
Somat : “Kursi malas, kali ya?” (Sambil tertawa)
Febri : “Ah, aku tahu! Kursi mainan yang ada di Dufan, kan suka goyang-goyang, bisa bikin pusing!”
Fikri : “Kalau aku sih, kursi pengemudi mobil. Kalau kecelakaan, kan bisa amnesia!” (Tertawa kecil)
Rehan : “Haha, lucu-lucu semua, tapi masih salah, nih!” (Sambil tersenyum nakal)
Adit : “Aku tahu! Kursi goyang! Kan bisa bikin orang mengantuk dan tertidur sampai lupa segalanya!”
Rehan : “Hmm, masih salah, Yud!” (Sambil menggeleng)
Somat : “Lah, kalau gitu kursi apa dong?”
Fikri : “Udah deh, menyerah aku!”
Rehan : “Jadi, kalian nyerah ya? Oke deh, jawabannya kursi anggota dewan! Hahaha…”
Adit : “Kok bisa sih kursi anggota dewan?”
Rehan : “Ya jelas! Bayangkan aja, sebelum duduk di kursi dewan, banyak banget janji-janji yang mereka ucapin supaya rakyat memilih mereka. Tapi setelah duduk di kursi itu, mereka langsung lupa semua janji-janjinya! Makanya kursi anggota dewan tuh bisa bikin orang lupa ingatan!”
Semua pun tertawa terbahak-bahak, sampai tak sadar kalau guru mereka sudah berdiri di depan meja.
Pesan di dalamnya : Anekdot ini dengan cerdas menggunakan humor untuk mengkritik fenomena yang terjadi di dunia politik, khususnya terkait dengan janji-janji politisi yang sering kali tidak ditepati setelah mereka terpilih dan duduk di kursi kekuasaan. Pesan moral dari anekdot ini adalah sindiran terhadap politisi yang cenderung lupa janji setelah terpilih
Di tengah suasana demo besar-besaran yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia, Eman dan Emon, dua sahabat yang juga turut berpartisipasi dalam aksi tersebut, tengah berbincang di sebuah warung kopi setelah ikut turun ke jalan.
“Nggak beres nih anggota DPR! Udah kerjaannya tidur melulu, sekalinya bangun, bikin Undang-Undang yang malah merugikan rakyat,” ujar emon sambil menyeruput kopi.
“Iya, betul banget! Lagian, siapa sih yang nyuruh DPR kerja? Udah bagus mereka tidur aja, daripada kerja malah bikin masalah buat kita semua,” sahut Eman sambil tertawa kecil. "Tahu gitu, tidur terus, nggak usah bikin UU yang aneh-aneh!"
Kedua sahabat itu pun tertawa bersama, meskipun dengan rasa kesal yang masih tersisa. Meskipun candaan mereka terdengar ringan, ada pesan yang cukup serius yang ingin mereka sampaikan.
Pesan di dalamnya : Teks anekdot ini dengan humor menyindir kebijakan politik yang tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, terutama mengenai UU yang baru disahkan yang dianggap akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dua orang kader parpol sebut saja namanya Temon dan Timin sama-sama bermaksud mencalonkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah menyerahkan berkas pencalonannya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Arya dan Abdillah memutuskan untuk sejenak duduk di kantin gedung KPU. Mereka berdua, yang sudah lama bersahabat, mulai mengobrol sambil menyeruput kopi hangat.
Temon : “Di, kamu sadar nggak sih? Banyak banget politisi di negeri ini yang udah kaya raya, ya?”
Timin : “Wah, kalau itu sih aku juga udah tahu, Ya. Mereka memang udah sukses secara materi.”
Temon : “Yang aku maksud bukan cuma kaya, tapi saking kayanya mereka bisa punya baju termahal di Indonesia loh.”
Timin : “Baju termahal? Maksudmu baju apa tuh?”
Temon : “Ya, apalagi kalau bukan baju tahanan KPK!” (Sambil tersenyum satir)
Timin : “Hah? Baju tahanan KPK? Kok bisa?”
Temon : “Iyalah, coba deh kamu pikir, seorang politisi harus minimal mencuri uang negara sebesar Rpsatu miliar dulu, baru deh bisa pakai baju itu. Kayaknya itu baju paling mahal yang bisa mereka dapatkan setelah berjuang keras korupsi!”
Timin : “Ohhh, sekarang aku ngerti! Kamu ngomongin baju tahanan KPK yang mereka kenakan setelah ditangkap karena kasus korupsi, ya?”
Mereka berdua kemudian tertawa sambil memesan kopi lagi. Sambil sesekali melihat rekan-rekan mereka yang juga berpotensi menjadi politisi, mereka berdua mengenang teman-teman mereka yang sudah terlanjur mengenakan baju tahanan KPK—baju yang, meskipun terbuat dari bahan biasa, dianggap sebagai simbol “keberhasilan” mereka di dunia politik.
Pesan di dalamnya : Pesan yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap maraknya praktik korupsi di kalangan politisi, terutama mereka yang memanfaatkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
Di sebuah kantin kantor, Sela dan Salwa sedang asyik berbicara tentang baju yang akan mereka beli setelah pulang kerja nanti. Mereka berbincang tentang berbagai pilihan merek baju dari butik-butik ternama yang ada di kota.
Sela : "Eh, Sall , aku lagi kepikiran mau beli baju Gucci deh, cantik banget! Atau mungkin Channel juga oke."
Salwa : "Iya, atau YSL juga nggak kalah keren. Baju-baju kayak gitu pasti bikin penampilan makin keren!"
Tiba-tiba, Sigit , teman mereka yang baru saja datang, ikut bergabung dalam percakapan dan menyela dengan sebuah pertanyaan yang mengejutkan.
Sigit : "Kalian tahu nggak, merek baju apa yang paling mahal?"
Sela dan Salwa langsung berpikir keras dan menyebutkan beberapa merek baju mewah yang biasa mereka dengar: Gucci, Channel, dan YSL, dengan harapan bisa menebak jawabannya dengan benar.
Sela : "Gucci dong, pasti!"
Salwa : "Channel aja, deh! Pasti harganya paling mahal!"
Sigit : "Salah semua. Yang paling mahal itu baju tahanan KPK." (Sambil tertawa)
Sela : "Hah, kok bisa? Baju tahanan KPK? Kenapa?"
Sigit : "Ya, coba deh pikir, seseorang harus mencuri uang negara ratusan juta, bahkan miliaran rupiah dulu baru bisa pakai baju itu. Baju tahanan KPK tuh emang paling mahal!" (Sambil tertawa terbahak-bahak)
Sela : "Eh, bener juga sih, ya." (Tertawa)
Salwa : "Haha, iya! Pantesan nggak ada yang jual di mall."
Sela : "Mending kita cari aja baju-baju di pasar loak, Sall, lebih hemat, deh."
Sigit : "Hehe, eh, siapa tahu ada baju bertuliskan Tahanan KPK dijual murah, cuma 50 ribu atau 100 ribu aja. Hahaha!"
Ketiganya pun tertawa bersama. Tak lama kemudian, pesanan makanan mereka pun tiba, dan Bayu langsung memesan makanan untuk bergabung bersama Kiki dan Indah di meja tersebut.
Pesan di dalamnya : Pesan moral yang terkandung dalam anekdot ini adalah sindiran terhadap praktik korupsi di kalangan politisi dan pejabat publik.
Setelah berolahraga pagi, Irwan memutuskan untuk membeli soto ayam kesukaannya dan menikmatinya bersama istrinya di rumah.
Dalam perjalanan pulang, malang tak dapat ditolak, sandal yang ia kenakan tiba-tiba putus. Karena tak ingin berjalan dengan kaki telanjang, Irwan memutuskan untuk membeli sandal baru di warung terdekat.
Namun, setelah mencari-cari, Irwan menyadari bahwa uang yang ia bawa tidak cukup untuk membeli sandal baru. Karena itu, ia terpaksa melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan tanpa alas kaki. Saat melewati sebuah rumah yang ramai dengan tamu, Irwan melihat banyak sandal yang tergeletak di depan pintu rumah tersebut.
Tanpa berpikir panjang dan karena sudah sangat kesal, Irwan mengambil sandal yang paling depan dan terlihat bagus, lalu melanjutkan langkahnya pulang. Naas, salah seorang tamu rumah itu melihat aksinya dan langsung mengejarnya. Irwan ditangkap dan dibawa ke pihak berwajib.
Meskipun Irwan mencoba menjelaskan bahwa ia hanya nekat karena kesulitan, pemilik sandal tidak terima dan tetap melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Irwan pun dijatuhi dakwaan pencurian dan kasusnya pun dibawa ke pengadilan.
Saat persidangan berlangsung, hakim ketua dengan tegas memutuskan bahwa Irwan terbukti mencuri sandal dan ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Irwan merasa sangat keberatan dengan keputusan itu dan menyatakan bahwa hukumannya jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang diterima oleh koruptor.
Irwan: "Pak Hakim, kok saya dihukum lima tahun penjara cuma karena mencuri sandal yang harganya nggak seberapa, sementara koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah cuma dipenjara beberapa tahun saja? Bukankah itu tidak adil?"
Hakim: "Begini, Irwan. Kamu terbukti mencuri sandal dan merugikan seseorang sebesar Rp50 ribu. Sementara itu, para koruptor yang mencuri uang negara menggelapkan dana hingga Rp3 miliar dan merugikan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia. Kalau kita hitung kerugiannya, tiap orang yang dirugikan oleh koruptor itu hanya kehilangan sekitar 15 rupiah.
Artinya, kerugian yang kamu timbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh para koruptor."
Irwan: (Terbengong-bengong, mencoba mencerna penjelasan hakim.)
Hakim: "Jadi, Irwan, meskipun pencurian sandal itu mungkin terlihat sepele, tetapi secara hukum, kamu tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Namun, dalam kasus korupsi, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dan efeknya jauh lebih merusak bagi masyarakat luas."
Irwan terdiam, sementara di dalam hatinya mulai muncul kesadaran bahwa keadilan di hadapan hukum kadang tak selalu berpihak pada yang seharusnya.
Pesan di dalamnya : Pesan moral yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap ketidakadilan dalam sistem hukum dan perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan berdasarkan skala kerugian yang mereka timbulkan.
Suatu pagi, seorang pria paruh baya berpakaian rapi masuk ke sebuah warung kopi sederhana bernama Omah Joglo. Penampilannya yang sangat berbeda dengan pengunjung lainnya—biasanya hanya ada sales obat atau pekerja kasar—langsung mencuri perhatian.
Pria itu adalah Pak Anton, seorang politisi dari partai besar, yang sengaja datang ke warung kopi yang tidak biasa ini untuk bertemu dengan seseorang yang ternyata juga tak biasa.
Begitu masuk, Pak Anton memeriksa menu yang tertera di papan. Menunya sangat sederhana: kopi, wedang jahe, dan wedang uwuh. Tidak ada yang istimewa, tidak ada pilihan mewah seperti yang biasa ia nikmati di tempat-tempat yang lebih eksklusif.
Setelah beberapa saat memandang, ia akhirnya memutuskan untuk memesan kopi susu—pilihan yang sederhana dengan harga yang sangat murah, hanya enam ribu rupiah, yang baginya mungkin tak lebih dari sekedar uang receh.
Pak Anton duduk di meja sudut, memperhatikan sekelilingnya. Meski tempatnya sederhana, bahkan terkesan usang dengan nuansa jadul, warung ini tetap bersih dan nyaman. Kopi susu pesanan Anton datang tak lama setelah itu, dan meskipun rasanya biasa saja, ia tetap menunggu sambil melihat jam tangan mewahnya.
Jam menunjukkan pukul 9:15—terlambat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Anton merasa sedikit canggung dengan suasana warung yang sederhana ini, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pertemuan yang sangat penting baginya.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil sedan hitam datang dan tiga pria berbadan tegap keluar. Pak Anton langsung merasa cemas. Mereka bukanlah orang yang ia harapkan. Mobil tersebut berhenti di dekatnya, dan salah satu pria yang mengenakan seragam polisi menghampirinya.
Pria Satu: "Selamat pagi, Pak Anton. Kami menangkap Anda atas tuduhan korupsi dana pembangunan rumah sakit."
Pak Anton: "Apa-apaan ini?!" (terkejut dan bingung)
Pria Dua: "Barang bukti sudah ada di dalam mobil Anda. Tidak perlu melawan, mari kita selesaikan semuanya di kantor polisi."
Keempat orang itu hendak membawa Pak Anton pergi, tetapi tiba-tiba penjual kopi menghentikan mereka.
Pria Tiga (Polisi): "Pak, ini urusan kami, tidak perlu ikut campur."
Penjual Kopi: "Saya bukan ikut campur, Pak Polisi. Tapi orang ini masih punya utang sama saya."
Pria Tiga (Polisi): "Jika Anda menghalangi proses penangkapan, berarti Anda juga melanggar hukum."
Penjual Kopi: "Bukan begitu, Pak. Tapi orang ini belum bayar kopi yang dibeli. Masa Rp15 ribu saja mau dikorupsi?" (Tertawa kecil)
Mendengar perkataan penjual kopi, ketiga polisi itu pun tertawa terbahak-bahak. Mereka kemudian melepaskan tangan Anton dari borgol dan membiarkannya membayar utang kopi. Anton, yang masih kebingungan, mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya untuk membayar kopi yang tak lebih dari lima ribu itu.
Namun, sebelum mereka pergi, penjual kopi menghentikan mereka lagi.
Penjual Kopi: "Tunggu dulu, Pak, saya ambilkan kembaliannya. Walaupun saya miskin, saya nggak tega korupsi uang koruptor!" (Sambil tersenyum lebar)
Mendengar hal itu, semua orang pun tertawa terbahak-bahak, kecuali Pak Anton yang tetap diam. Ia akhirnya harus menerima kenyataan dan ikut ke kantor polisi dengan tangan diborgol, bersama ketiga polisi tersebut.
Pesan di dalamnya : Kritik terhadap Korupsi, Ketidaksetaraan Hukum dan sindiran kepada para koruptor
Itulah contoh anekdot politik, semoga bermanfaat ya.
MG/Salwa Puspita
Sedangkan anekdot politik adalah cerita pendek yang mengisahkan kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan dunia politik.
Baca juga: 10 Contoh Teks Cerita Fantasi, Beserta Strukturnya
Cerita ini biasanya dibumbui dengan humor dan sindiran halus untuk menyoroti berbagai isu, mulai dari janji kampanye yang tak ditepati hingga perilaku para politisi yang seringkali menyimpang dari nilai-nilai moral.
7 Contoh Anekdot Bertemakan Politik
1. Anekdot Tentang Pilkades dan Politik Uang
Musim pemilihan kepala desa (Pilkades) kali ini, Kasiman tengah merasa diuntungkan dengan banyaknya tim sukses bakal calon kepala desa (balon kades) yang datang ke rumahnya. Suatu hari, tim sukses dari balon kades nomor 1 datang mengunjungi Joko dan memberinya amplop berisi uang.
“Jangan lupa pilih nomor 1, ya, Pak Joko,” kata salah satu anggota tim sukses sambil tersenyum lebar.
“Siaap, terima kasih,” jawab Joko, sambil menyimpan amplop itu.
Tak lama setelah itu, tim sukses dari balon kades nomor 2 datang juga ke rumah Joko. Mereka memberikan amplop serupa.
“Pilih nomor 2, ya, Pak Joko, jangan sampai lupa!” ujar mereka dengan ramah.
Baca juga: Teks Rekon: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, Struktur, dan Contohnya
“Beress,” sahut Joko, menerima amplop tanpa ragu.
Melihat suaminya menerima dua amplop dari dua kubu yang berbeda, sang istri merasa sedikit heran.
“Mas, kok bisa ya dua-duanya kamu iyaa-in? Nanti kalau salah satu yang kalah, gimana? Mereka bisa kecewa lho, Mas,” tanya sang istri, sedikit khawatir.
Joko pun menjawab dengan santai, “Halah, Bu. Kalau mereka udah kepilih nanti, juga belum tentu mikirin kita. Kalau mereka sudah memanfaatkan kita, ya kita juga manfaatkan mereka balik. Hehe…” Joko tertawa ringan, merasa tak ada yang salah dengan sikapnya.
Sang istri mengangguk perlahan, seakan paham dengan pemikiran suaminya. “Hmm, benar juga, Mas. Kalau begitu ya sudah.”
Pesan di dalamnya : Pesan yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap praktik politik uang dan ketidakjujuran dalam proses pemilihan.
2. Anekdot Tentang Kursi Dewan dan Janji Politik
Sambil menunggu guru masuk kelas, beberapa anak asyik bercanda di salah satu sudut kelas. Mereka mengisi waktu dengan permainan tebak-tebakan yang seru.
Baca juga: 15 Contoh Teks Anekdot Beserta Struktur dan Artinya, Kritik dengan Balutan Humor
Rehan : “Eh, guys, yuk main tebak-tebakan! Ini nih, kursi, kursi apa yang bisa bikin orang lupa ingatan?”
Somat : “Kursi malas, kali ya?” (Sambil tertawa)
Febri : “Ah, aku tahu! Kursi mainan yang ada di Dufan, kan suka goyang-goyang, bisa bikin pusing!”
Fikri : “Kalau aku sih, kursi pengemudi mobil. Kalau kecelakaan, kan bisa amnesia!” (Tertawa kecil)
Rehan : “Haha, lucu-lucu semua, tapi masih salah, nih!” (Sambil tersenyum nakal)
Adit : “Aku tahu! Kursi goyang! Kan bisa bikin orang mengantuk dan tertidur sampai lupa segalanya!”
Rehan : “Hmm, masih salah, Yud!” (Sambil menggeleng)
Somat : “Lah, kalau gitu kursi apa dong?”
Fikri : “Udah deh, menyerah aku!”
Rehan : “Jadi, kalian nyerah ya? Oke deh, jawabannya kursi anggota dewan! Hahaha…”
Adit : “Kok bisa sih kursi anggota dewan?”
Rehan : “Ya jelas! Bayangkan aja, sebelum duduk di kursi dewan, banyak banget janji-janji yang mereka ucapin supaya rakyat memilih mereka. Tapi setelah duduk di kursi itu, mereka langsung lupa semua janji-janjinya! Makanya kursi anggota dewan tuh bisa bikin orang lupa ingatan!”
Semua pun tertawa terbahak-bahak, sampai tak sadar kalau guru mereka sudah berdiri di depan meja.
Pesan di dalamnya : Anekdot ini dengan cerdas menggunakan humor untuk mengkritik fenomena yang terjadi di dunia politik, khususnya terkait dengan janji-janji politisi yang sering kali tidak ditepati setelah mereka terpilih dan duduk di kursi kekuasaan. Pesan moral dari anekdot ini adalah sindiran terhadap politisi yang cenderung lupa janji setelah terpilih
3. Anekdot Tentang UU KPK dan DPR
Di tengah suasana demo besar-besaran yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia, Eman dan Emon, dua sahabat yang juga turut berpartisipasi dalam aksi tersebut, tengah berbincang di sebuah warung kopi setelah ikut turun ke jalan.
“Nggak beres nih anggota DPR! Udah kerjaannya tidur melulu, sekalinya bangun, bikin Undang-Undang yang malah merugikan rakyat,” ujar emon sambil menyeruput kopi.
“Iya, betul banget! Lagian, siapa sih yang nyuruh DPR kerja? Udah bagus mereka tidur aja, daripada kerja malah bikin masalah buat kita semua,” sahut Eman sambil tertawa kecil. "Tahu gitu, tidur terus, nggak usah bikin UU yang aneh-aneh!"
Kedua sahabat itu pun tertawa bersama, meskipun dengan rasa kesal yang masih tersisa. Meskipun candaan mereka terdengar ringan, ada pesan yang cukup serius yang ingin mereka sampaikan.
Pesan di dalamnya : Teks anekdot ini dengan humor menyindir kebijakan politik yang tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, terutama mengenai UU yang baru disahkan yang dianggap akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4. Anekdot Tentang Politisi dan Baju Tahanan KPK
Dua orang kader parpol sebut saja namanya Temon dan Timin sama-sama bermaksud mencalonkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah menyerahkan berkas pencalonannya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Arya dan Abdillah memutuskan untuk sejenak duduk di kantin gedung KPU. Mereka berdua, yang sudah lama bersahabat, mulai mengobrol sambil menyeruput kopi hangat.
Temon : “Di, kamu sadar nggak sih? Banyak banget politisi di negeri ini yang udah kaya raya, ya?”
Timin : “Wah, kalau itu sih aku juga udah tahu, Ya. Mereka memang udah sukses secara materi.”
Temon : “Yang aku maksud bukan cuma kaya, tapi saking kayanya mereka bisa punya baju termahal di Indonesia loh.”
Timin : “Baju termahal? Maksudmu baju apa tuh?”
Temon : “Ya, apalagi kalau bukan baju tahanan KPK!” (Sambil tersenyum satir)
Timin : “Hah? Baju tahanan KPK? Kok bisa?”
Temon : “Iyalah, coba deh kamu pikir, seorang politisi harus minimal mencuri uang negara sebesar Rpsatu miliar dulu, baru deh bisa pakai baju itu. Kayaknya itu baju paling mahal yang bisa mereka dapatkan setelah berjuang keras korupsi!”
Timin : “Ohhh, sekarang aku ngerti! Kamu ngomongin baju tahanan KPK yang mereka kenakan setelah ditangkap karena kasus korupsi, ya?”
Mereka berdua kemudian tertawa sambil memesan kopi lagi. Sambil sesekali melihat rekan-rekan mereka yang juga berpotensi menjadi politisi, mereka berdua mengenang teman-teman mereka yang sudah terlanjur mengenakan baju tahanan KPK—baju yang, meskipun terbuat dari bahan biasa, dianggap sebagai simbol “keberhasilan” mereka di dunia politik.
Pesan di dalamnya : Pesan yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap maraknya praktik korupsi di kalangan politisi, terutama mereka yang memanfaatkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
5. Anekdot Tentang Baju Tahanan KPK dan Humor Politik
Di sebuah kantin kantor, Sela dan Salwa sedang asyik berbicara tentang baju yang akan mereka beli setelah pulang kerja nanti. Mereka berbincang tentang berbagai pilihan merek baju dari butik-butik ternama yang ada di kota.
Sela : "Eh, Sall , aku lagi kepikiran mau beli baju Gucci deh, cantik banget! Atau mungkin Channel juga oke."
Salwa : "Iya, atau YSL juga nggak kalah keren. Baju-baju kayak gitu pasti bikin penampilan makin keren!"
Tiba-tiba, Sigit , teman mereka yang baru saja datang, ikut bergabung dalam percakapan dan menyela dengan sebuah pertanyaan yang mengejutkan.
Sigit : "Kalian tahu nggak, merek baju apa yang paling mahal?"
Sela dan Salwa langsung berpikir keras dan menyebutkan beberapa merek baju mewah yang biasa mereka dengar: Gucci, Channel, dan YSL, dengan harapan bisa menebak jawabannya dengan benar.
Sela : "Gucci dong, pasti!"
Salwa : "Channel aja, deh! Pasti harganya paling mahal!"
Sigit : "Salah semua. Yang paling mahal itu baju tahanan KPK." (Sambil tertawa)
Sela : "Hah, kok bisa? Baju tahanan KPK? Kenapa?"
Sigit : "Ya, coba deh pikir, seseorang harus mencuri uang negara ratusan juta, bahkan miliaran rupiah dulu baru bisa pakai baju itu. Baju tahanan KPK tuh emang paling mahal!" (Sambil tertawa terbahak-bahak)
Sela : "Eh, bener juga sih, ya." (Tertawa)
Salwa : "Haha, iya! Pantesan nggak ada yang jual di mall."
Sela : "Mending kita cari aja baju-baju di pasar loak, Sall, lebih hemat, deh."
Sigit : "Hehe, eh, siapa tahu ada baju bertuliskan Tahanan KPK dijual murah, cuma 50 ribu atau 100 ribu aja. Hahaha!"
Ketiganya pun tertawa bersama. Tak lama kemudian, pesanan makanan mereka pun tiba, dan Bayu langsung memesan makanan untuk bergabung bersama Kiki dan Indah di meja tersebut.
Pesan di dalamnya : Pesan moral yang terkandung dalam anekdot ini adalah sindiran terhadap praktik korupsi di kalangan politisi dan pejabat publik.
6. Anekdot Tentang Pencurian Sandal dan Ketidakadilan Hukum
Setelah berolahraga pagi, Irwan memutuskan untuk membeli soto ayam kesukaannya dan menikmatinya bersama istrinya di rumah.
Dalam perjalanan pulang, malang tak dapat ditolak, sandal yang ia kenakan tiba-tiba putus. Karena tak ingin berjalan dengan kaki telanjang, Irwan memutuskan untuk membeli sandal baru di warung terdekat.
Namun, setelah mencari-cari, Irwan menyadari bahwa uang yang ia bawa tidak cukup untuk membeli sandal baru. Karena itu, ia terpaksa melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan tanpa alas kaki. Saat melewati sebuah rumah yang ramai dengan tamu, Irwan melihat banyak sandal yang tergeletak di depan pintu rumah tersebut.
Tanpa berpikir panjang dan karena sudah sangat kesal, Irwan mengambil sandal yang paling depan dan terlihat bagus, lalu melanjutkan langkahnya pulang. Naas, salah seorang tamu rumah itu melihat aksinya dan langsung mengejarnya. Irwan ditangkap dan dibawa ke pihak berwajib.
Meskipun Irwan mencoba menjelaskan bahwa ia hanya nekat karena kesulitan, pemilik sandal tidak terima dan tetap melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Irwan pun dijatuhi dakwaan pencurian dan kasusnya pun dibawa ke pengadilan.
Saat persidangan berlangsung, hakim ketua dengan tegas memutuskan bahwa Irwan terbukti mencuri sandal dan ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Irwan merasa sangat keberatan dengan keputusan itu dan menyatakan bahwa hukumannya jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang diterima oleh koruptor.
Irwan: "Pak Hakim, kok saya dihukum lima tahun penjara cuma karena mencuri sandal yang harganya nggak seberapa, sementara koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah cuma dipenjara beberapa tahun saja? Bukankah itu tidak adil?"
Hakim: "Begini, Irwan. Kamu terbukti mencuri sandal dan merugikan seseorang sebesar Rp50 ribu. Sementara itu, para koruptor yang mencuri uang negara menggelapkan dana hingga Rp3 miliar dan merugikan lebih dari 200 juta rakyat Indonesia. Kalau kita hitung kerugiannya, tiap orang yang dirugikan oleh koruptor itu hanya kehilangan sekitar 15 rupiah.
Artinya, kerugian yang kamu timbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh para koruptor."
Irwan: (Terbengong-bengong, mencoba mencerna penjelasan hakim.)
Hakim: "Jadi, Irwan, meskipun pencurian sandal itu mungkin terlihat sepele, tetapi secara hukum, kamu tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Namun, dalam kasus korupsi, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dan efeknya jauh lebih merusak bagi masyarakat luas."
Irwan terdiam, sementara di dalam hatinya mulai muncul kesadaran bahwa keadilan di hadapan hukum kadang tak selalu berpihak pada yang seharusnya.
Pesan di dalamnya : Pesan moral yang terkandung dalam anekdot ini adalah kritik terhadap ketidakadilan dalam sistem hukum dan perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan berdasarkan skala kerugian yang mereka timbulkan.
7. Anekdot Tentang Politisi dan Pencurian Kecil di Warung Kopi
Suatu pagi, seorang pria paruh baya berpakaian rapi masuk ke sebuah warung kopi sederhana bernama Omah Joglo. Penampilannya yang sangat berbeda dengan pengunjung lainnya—biasanya hanya ada sales obat atau pekerja kasar—langsung mencuri perhatian.
Pria itu adalah Pak Anton, seorang politisi dari partai besar, yang sengaja datang ke warung kopi yang tidak biasa ini untuk bertemu dengan seseorang yang ternyata juga tak biasa.
Begitu masuk, Pak Anton memeriksa menu yang tertera di papan. Menunya sangat sederhana: kopi, wedang jahe, dan wedang uwuh. Tidak ada yang istimewa, tidak ada pilihan mewah seperti yang biasa ia nikmati di tempat-tempat yang lebih eksklusif.
Setelah beberapa saat memandang, ia akhirnya memutuskan untuk memesan kopi susu—pilihan yang sederhana dengan harga yang sangat murah, hanya enam ribu rupiah, yang baginya mungkin tak lebih dari sekedar uang receh.
Pak Anton duduk di meja sudut, memperhatikan sekelilingnya. Meski tempatnya sederhana, bahkan terkesan usang dengan nuansa jadul, warung ini tetap bersih dan nyaman. Kopi susu pesanan Anton datang tak lama setelah itu, dan meskipun rasanya biasa saja, ia tetap menunggu sambil melihat jam tangan mewahnya.
Jam menunjukkan pukul 9:15—terlambat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Anton merasa sedikit canggung dengan suasana warung yang sederhana ini, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pertemuan yang sangat penting baginya.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil sedan hitam datang dan tiga pria berbadan tegap keluar. Pak Anton langsung merasa cemas. Mereka bukanlah orang yang ia harapkan. Mobil tersebut berhenti di dekatnya, dan salah satu pria yang mengenakan seragam polisi menghampirinya.
Pria Satu: "Selamat pagi, Pak Anton. Kami menangkap Anda atas tuduhan korupsi dana pembangunan rumah sakit."
Pak Anton: "Apa-apaan ini?!" (terkejut dan bingung)
Pria Dua: "Barang bukti sudah ada di dalam mobil Anda. Tidak perlu melawan, mari kita selesaikan semuanya di kantor polisi."
Keempat orang itu hendak membawa Pak Anton pergi, tetapi tiba-tiba penjual kopi menghentikan mereka.
Pria Tiga (Polisi): "Pak, ini urusan kami, tidak perlu ikut campur."
Penjual Kopi: "Saya bukan ikut campur, Pak Polisi. Tapi orang ini masih punya utang sama saya."
Pria Tiga (Polisi): "Jika Anda menghalangi proses penangkapan, berarti Anda juga melanggar hukum."
Penjual Kopi: "Bukan begitu, Pak. Tapi orang ini belum bayar kopi yang dibeli. Masa Rp15 ribu saja mau dikorupsi?" (Tertawa kecil)
Mendengar perkataan penjual kopi, ketiga polisi itu pun tertawa terbahak-bahak. Mereka kemudian melepaskan tangan Anton dari borgol dan membiarkannya membayar utang kopi. Anton, yang masih kebingungan, mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya untuk membayar kopi yang tak lebih dari lima ribu itu.
Namun, sebelum mereka pergi, penjual kopi menghentikan mereka lagi.
Penjual Kopi: "Tunggu dulu, Pak, saya ambilkan kembaliannya. Walaupun saya miskin, saya nggak tega korupsi uang koruptor!" (Sambil tersenyum lebar)
Mendengar hal itu, semua orang pun tertawa terbahak-bahak, kecuali Pak Anton yang tetap diam. Ia akhirnya harus menerima kenyataan dan ikut ke kantor polisi dengan tangan diborgol, bersama ketiga polisi tersebut.
Pesan di dalamnya : Kritik terhadap Korupsi, Ketidaksetaraan Hukum dan sindiran kepada para koruptor
Itulah contoh anekdot politik, semoga bermanfaat ya.
MG/Salwa Puspita
(nnz)