UI Gelar Diskusi Strategis Soal OECD, BRICS, dan Masa Depan Sumber Daya Nasional
loading...

Diskusi bertajuk Indonesia’s Accession to the OECD: Implications for BRICS, Critical Minerals, and the Role of a Rising China. Foto/FISIP UI.
A
A
A
JAKARTA - Langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD membuka ruang diskusi baru mengenai arah kebijakan luar negeri, posisi Indonesia dalam BRICS , serta pengelolaan sumber daya mineral kritis.
Dalam seminar bersama yang digelar oleh Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Universitas Indonesia dan Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, Rabu (7/5/2025).
Baca juga: Rekrutmen Besar-besaran BCA 2025, Fresh Graduate Bisa Daftar, Lamar di Sini
Moderator dalam diskusi ini adalah Suzie Sudarman, co-Founder INADIS, para akademisi, peneliti, dan pakar kebijakan menggarisbawahi urgensi perumusan strategi nasional yang lebih visioner, inklusif, dan berdaya tawar tinggi.
Para panelis dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia’s Accession to the OECD: Implications for BRICS, Critical Minerals, and the Role of a Rising China” ini berpendapat bahwa Indonesia perlu menyikapi peluang aksesi ke OECD dan kemitraan dengan BRICS maupun China secara strategis dan hati-hati, guna menghindari ketergantungan dan memperkuat posisi tawarnya dalam tatanan ekonomi-politik global yang makin kompetitif dan dinamis.
Baca juga: Jejak Pendidikan Melinda Gates, Mantan Istri Miliarder dan Filantropis Dunia
Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Iwan Setiawan, dalam keynote speech yang disampaikan, menekankan bahwa posisi geologis Indonesia yang unik menjadikannya kaya akan mineral kritis seperti nikel, bauksit, tembaga, dan logam tanah jarang (rare earth elements/REE).
Namun, meskipun memiliki potensi besar, eksplorasi dan pengolahan mineral kritis di Indonesia masih berada pada tahap awal dan belum terhubung secara kuat antara sektor hulu dan hilir. Ia menjelaskan bahwa menurut regulasi terbaru Kementerian ESDM, mineral disebut kritis jika menjadi bahan baku industri strategis, memiliki risiko tinggi terhadap pasokan, dan tidak memiliki pengganti yang layak.
Saat ini, salah satu mineral kritis bagi Indonesia yang menjadi perhatian penting adalah Nikel. Di tengah dominasi China dalam teknologi pemrosesan REE, Indonesia dinilai perlu segera memperkuat kapasitas teknologinya sendiri agar tidak terjebak dalam ketergantungan struktural.
Untuk itu, dukungan kebijakan, percepatan riset, dan pengembangan hilirisasi industri menjadi kunci bagi Indonesia untuk memainkan peran lebih strategis dalam rantai pasok global mineral kritis.
Prof. Evi Fitriani, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, mengungkapkan bahwa langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD bersifat paradoksal. “Kita membayar untuk masuk ke OECD agar mereka menetapkan standar di sistem kita. Di sisi lain, kita tetap menjajaki BRICS untuk menjaga daya tawar dan keseimbangan politik luar negeri,” jelasnya.
Prof. Evi juga menekankan bahwa ketertarikan negara-negara OECD terhadap Indonesia tidak terlepas dari aset geostrategis Indonesia, terutama cadangan nikel dan logam tanah jarang yang penting bagi transisi energi global.
Ia menyoroti bahwa OECD tidak hanya merupakan forum negara-negara maju, tetapi juga bertindak sebagai pembuat standar global dalam tata kelola ekspor mineral kritis, termasuk melalui regulasi dan panduan praktik ekspor bahan baku strategis.
Dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia, Prof. Evi menyatakan bahwa pengambilan keputusan masih sangat dipengaruhi oleh faktor domestik, seperti kekuatan personal presiden, sistem presidensial yang dominan, dan sisa warisan kepentingan pemerintahan sebelumnya, sehingga sering kali kurang berbasis kajian strategis yang berkelanjutan.
Fithra Faisal Hastiadi, ekonom dari UI, menambahkan bahwa bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi mempercepat aksesi ke OECD, mengingat persaingan antara kedua blok tersebut dalam mengamankan akses terhadap mineral kritis Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa negara-negara besar kini berupaya mendiversifikasi investasi mereka demi memperoleh return lebih tinggi, khususnya melalui penguasaan sumber daya seperti rare earth yang banyak terkonsentrasi di kawasan BRICS.
Fithra juga mencermati strategi Indonesia dalam menembus pasar Amerika Serikat di sektor mineral kritis melalui kebijakan tarif 0%, penguatan ketahanan energi dan pangan, serta memperkuat value chains mineral kritis.
Namun, ia mengingatkan bahwa negara berkembang sering menanggung dampak lingkungan yang lebih besar dalam industri nikel dan pertambangan. "Negara maju menjadi makin bersih dengan mengorbankan negara berkembang, akibat pemindahan pusat pertambangan ke wilayah-wilayah tersebut. Ini memunculkan fenomena yang disebut demokratisasi polusi," tegasnya.
E. Yeremia Lalisang, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI, mengkritisi secara tajam relasi Indonesia dan China dalam sektor nikel, yang ia sebut sebagai bentuk aliansi kapitalis transnasional.
Ia menjelaskan bahwa sejak pelarangan ekspor bahan mentah pada 2009 dan pembukaan kran investasi asing, Indonesia telah menjadi penyuplai utama nikel untuk China, khususnya dalam konteks rantai pasok kendaraan listrik global. Hilirisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai prestasi nasional, menurut Yeremia, tidak sepenuhnya menyejahterakan karena struktur kepemilikan, teknologi, dan pendanaan masih didominasi oleh mitra asing—terutama Cina.
“Pertanyaannya bukan hanya apakah kita bergantung pada Cina, tapi apakah kita juga secara aktif memfasilitasi ketergantungan itu,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF buatan Cina, yang bahkan dikategorikan sebagai national vital objects.
Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional.
Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh China.
Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis.
Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi China, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
Dalam seminar bersama yang digelar oleh Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Universitas Indonesia dan Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, Rabu (7/5/2025).
Baca juga: Rekrutmen Besar-besaran BCA 2025, Fresh Graduate Bisa Daftar, Lamar di Sini
Moderator dalam diskusi ini adalah Suzie Sudarman, co-Founder INADIS, para akademisi, peneliti, dan pakar kebijakan menggarisbawahi urgensi perumusan strategi nasional yang lebih visioner, inklusif, dan berdaya tawar tinggi.
Para panelis dalam diskusi yang bertajuk “Indonesia’s Accession to the OECD: Implications for BRICS, Critical Minerals, and the Role of a Rising China” ini berpendapat bahwa Indonesia perlu menyikapi peluang aksesi ke OECD dan kemitraan dengan BRICS maupun China secara strategis dan hati-hati, guna menghindari ketergantungan dan memperkuat posisi tawarnya dalam tatanan ekonomi-politik global yang makin kompetitif dan dinamis.
Baca juga: Jejak Pendidikan Melinda Gates, Mantan Istri Miliarder dan Filantropis Dunia
Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Iwan Setiawan, dalam keynote speech yang disampaikan, menekankan bahwa posisi geologis Indonesia yang unik menjadikannya kaya akan mineral kritis seperti nikel, bauksit, tembaga, dan logam tanah jarang (rare earth elements/REE).
Namun, meskipun memiliki potensi besar, eksplorasi dan pengolahan mineral kritis di Indonesia masih berada pada tahap awal dan belum terhubung secara kuat antara sektor hulu dan hilir. Ia menjelaskan bahwa menurut regulasi terbaru Kementerian ESDM, mineral disebut kritis jika menjadi bahan baku industri strategis, memiliki risiko tinggi terhadap pasokan, dan tidak memiliki pengganti yang layak.
Saat ini, salah satu mineral kritis bagi Indonesia yang menjadi perhatian penting adalah Nikel. Di tengah dominasi China dalam teknologi pemrosesan REE, Indonesia dinilai perlu segera memperkuat kapasitas teknologinya sendiri agar tidak terjebak dalam ketergantungan struktural.
Untuk itu, dukungan kebijakan, percepatan riset, dan pengembangan hilirisasi industri menjadi kunci bagi Indonesia untuk memainkan peran lebih strategis dalam rantai pasok global mineral kritis.
Prof. Evi Fitriani, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI, mengungkapkan bahwa langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD bersifat paradoksal. “Kita membayar untuk masuk ke OECD agar mereka menetapkan standar di sistem kita. Di sisi lain, kita tetap menjajaki BRICS untuk menjaga daya tawar dan keseimbangan politik luar negeri,” jelasnya.
Prof. Evi juga menekankan bahwa ketertarikan negara-negara OECD terhadap Indonesia tidak terlepas dari aset geostrategis Indonesia, terutama cadangan nikel dan logam tanah jarang yang penting bagi transisi energi global.
Ia menyoroti bahwa OECD tidak hanya merupakan forum negara-negara maju, tetapi juga bertindak sebagai pembuat standar global dalam tata kelola ekspor mineral kritis, termasuk melalui regulasi dan panduan praktik ekspor bahan baku strategis.
Dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia, Prof. Evi menyatakan bahwa pengambilan keputusan masih sangat dipengaruhi oleh faktor domestik, seperti kekuatan personal presiden, sistem presidensial yang dominan, dan sisa warisan kepentingan pemerintahan sebelumnya, sehingga sering kali kurang berbasis kajian strategis yang berkelanjutan.
Fithra Faisal Hastiadi, ekonom dari UI, menambahkan bahwa bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS berpotensi mempercepat aksesi ke OECD, mengingat persaingan antara kedua blok tersebut dalam mengamankan akses terhadap mineral kritis Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa negara-negara besar kini berupaya mendiversifikasi investasi mereka demi memperoleh return lebih tinggi, khususnya melalui penguasaan sumber daya seperti rare earth yang banyak terkonsentrasi di kawasan BRICS.
Fithra juga mencermati strategi Indonesia dalam menembus pasar Amerika Serikat di sektor mineral kritis melalui kebijakan tarif 0%, penguatan ketahanan energi dan pangan, serta memperkuat value chains mineral kritis.
Namun, ia mengingatkan bahwa negara berkembang sering menanggung dampak lingkungan yang lebih besar dalam industri nikel dan pertambangan. "Negara maju menjadi makin bersih dengan mengorbankan negara berkembang, akibat pemindahan pusat pertambangan ke wilayah-wilayah tersebut. Ini memunculkan fenomena yang disebut demokratisasi polusi," tegasnya.
E. Yeremia Lalisang, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI, mengkritisi secara tajam relasi Indonesia dan China dalam sektor nikel, yang ia sebut sebagai bentuk aliansi kapitalis transnasional.
Ia menjelaskan bahwa sejak pelarangan ekspor bahan mentah pada 2009 dan pembukaan kran investasi asing, Indonesia telah menjadi penyuplai utama nikel untuk China, khususnya dalam konteks rantai pasok kendaraan listrik global. Hilirisasi yang selama ini digadang-gadang sebagai prestasi nasional, menurut Yeremia, tidak sepenuhnya menyejahterakan karena struktur kepemilikan, teknologi, dan pendanaan masih didominasi oleh mitra asing—terutama Cina.
“Pertanyaannya bukan hanya apakah kita bergantung pada Cina, tapi apakah kita juga secara aktif memfasilitasi ketergantungan itu,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF buatan Cina, yang bahkan dikategorikan sebagai national vital objects.
Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional.
Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh China.
Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis.
Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi China, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
(nnz)
Lihat Juga :