Kami Bertaruh Nyawa, Jangan Jadikan Anak Kami Percobaan…
loading...
A
A
A
“Anak saya usia 9 tahun dan dia mengidap penyakit autoimun, sama seperti ayahnya. Keluarga saya termasuk golongan rawan terpapar Covid-19 . Dengan wacana masuk sekolah pada Juli, jujur saya khawatir anak dan suami saya akan sakit…”
Kalimat ini ditulis seorang ibu muda bernama Fanny Yudita. Dia mengungkapkan kerisauannya ini saat menandatangani petisi di Change.Org kemarin. Fanny salah satu dari puluhan ribu orang tua yang mendadak panik setelah mengetahui rencana pemerintah yang akan membuka kembali sekolah dalam waktu dekat. Rencana pemerintah ini bagian dari penerapan era new normal di mana fasilitas publik yang selama ini ditutup akibat pandemik, kembali akan dioperasikan.
Hampir seluruh orang tua yang menandatangani petisi tersebut memiliki kegalauan yang sama. Desakan agar pemerintah menunda pembukaan sekolah deras mengalir. Hingga pukul 19.00 WIB tadi malam, petisi bertajuk “Tunda Sekolah Selama Pandemi” tersebut sudah ditandatangani lebih 50.000 orang. Petisi mulai digalang sejak Rabu (27/5). Selain itu, ada juga petisi di laman yang sama, bertajuk “Tunda untuk Tahun Ajaran Baru Sekolah Selama Pandemi Corona”. Hingga tadi malam petisi ini sudah ditandatangani 34.000 orang.
Khawatir, gelisah dan panik. Inilah gambaran perasaan orang tua, terutama ibu-ibu dalam sepekan terakhir ini. Membuka sekolah di saat pandemi masih berlangsung dan grafik pasien baru di Indonesia masih tinggi dinilai kebijakan yang keliru. Bagi orang tua murid, sekolah sangat penting, namun jauh di atas semua itu adalah keselamatan jiwa anak. (Baca: Kebijakan New Normal, Jangan Jadikan Pesantren Episentrum Baru Corona)
Seorang ibu Anindita Ismiwarhani menulis komentar dengan nada gusar. “Anak-anak kami ini kami perjuangkan keberadaannya ke dunia dengan taruhan nyawa. Kami besarkan dengan perjuangan penuh darah, keringat dan air mata, jangan korbankan mereka dengan percobaan dengan kebijakan sembrono…”
Watiek Ideo adalah ibu seorang anak yang pertama kali menulis petisi “Tunda Sekolah Selama Pandemi” yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Di menuliskan keresahannya sambil memajang foto suasana kelas di Jeonmin High School, Daejeon, Korea Selatan. Para siswa usia remaja terlihat melakukan protokol kesehatan yang ketat, masing-masing tempat duduk diberi papan plastik untuk physical distancing.
Dia bertanya, relakah kita mengizinkan anak-anak masuk sekolah dengan kondisi seperti itu? Padahal, kata dia, saat lebaran saja masih banyak yang melanggar protokol kesehatan.
Dia lalu mengajukan banyak pertanyaan lain: Bagaimana membuat anak-anak bisa memakai masker di sepanjang waktu di sekolah? Bisakah kita menjamin anak-anak akan mengganti masker kainnya setelah 4 jam pemakaian atau saat kotor/basah karena keringat atau air?
Bisakah kita benar-benar percaya bahwa anak-anak tidak akan mengucek mata atau memegang hidung dan mulutnya selama di sekolah?
Kalimat ini ditulis seorang ibu muda bernama Fanny Yudita. Dia mengungkapkan kerisauannya ini saat menandatangani petisi di Change.Org kemarin. Fanny salah satu dari puluhan ribu orang tua yang mendadak panik setelah mengetahui rencana pemerintah yang akan membuka kembali sekolah dalam waktu dekat. Rencana pemerintah ini bagian dari penerapan era new normal di mana fasilitas publik yang selama ini ditutup akibat pandemik, kembali akan dioperasikan.
Hampir seluruh orang tua yang menandatangani petisi tersebut memiliki kegalauan yang sama. Desakan agar pemerintah menunda pembukaan sekolah deras mengalir. Hingga pukul 19.00 WIB tadi malam, petisi bertajuk “Tunda Sekolah Selama Pandemi” tersebut sudah ditandatangani lebih 50.000 orang. Petisi mulai digalang sejak Rabu (27/5). Selain itu, ada juga petisi di laman yang sama, bertajuk “Tunda untuk Tahun Ajaran Baru Sekolah Selama Pandemi Corona”. Hingga tadi malam petisi ini sudah ditandatangani 34.000 orang.
Khawatir, gelisah dan panik. Inilah gambaran perasaan orang tua, terutama ibu-ibu dalam sepekan terakhir ini. Membuka sekolah di saat pandemi masih berlangsung dan grafik pasien baru di Indonesia masih tinggi dinilai kebijakan yang keliru. Bagi orang tua murid, sekolah sangat penting, namun jauh di atas semua itu adalah keselamatan jiwa anak. (Baca: Kebijakan New Normal, Jangan Jadikan Pesantren Episentrum Baru Corona)
Seorang ibu Anindita Ismiwarhani menulis komentar dengan nada gusar. “Anak-anak kami ini kami perjuangkan keberadaannya ke dunia dengan taruhan nyawa. Kami besarkan dengan perjuangan penuh darah, keringat dan air mata, jangan korbankan mereka dengan percobaan dengan kebijakan sembrono…”
Watiek Ideo adalah ibu seorang anak yang pertama kali menulis petisi “Tunda Sekolah Selama Pandemi” yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Di menuliskan keresahannya sambil memajang foto suasana kelas di Jeonmin High School, Daejeon, Korea Selatan. Para siswa usia remaja terlihat melakukan protokol kesehatan yang ketat, masing-masing tempat duduk diberi papan plastik untuk physical distancing.
Dia bertanya, relakah kita mengizinkan anak-anak masuk sekolah dengan kondisi seperti itu? Padahal, kata dia, saat lebaran saja masih banyak yang melanggar protokol kesehatan.
Dia lalu mengajukan banyak pertanyaan lain: Bagaimana membuat anak-anak bisa memakai masker di sepanjang waktu di sekolah? Bisakah kita menjamin anak-anak akan mengganti masker kainnya setelah 4 jam pemakaian atau saat kotor/basah karena keringat atau air?
Bisakah kita benar-benar percaya bahwa anak-anak tidak akan mengucek mata atau memegang hidung dan mulutnya selama di sekolah?