Meramu Kurikulum, Jalan Masuk Penuhi Tuntutan Zaman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat ini para ahli psikologi mendapat tantangan situasi yang lebih berat oleh keadaan. Mengingat banyak peristiwa yang mempengaruhi kesehatan mental masyarakat, mulai dari tekanan psikologi pascapandemi, disrupsi industri 4.0, perang antara Rusia dan Ukraina, masyarakat dunia mendapat tekanan mental.
Keadaaan ini memacu para ahli psikologi untuk meramu metode tertentu sehingga layanan psikologi pada masyarakat lebih tepat sasaran. Dekan Psikologi UP Dr. Silverius Y Soeharso,SE, MM.Psi menuturkan pandemi Covid-19 tidak hanya berefek pada kesehatan fisik, tetapi juga berpengaruh kepada kesehatan mental seseorang. Berbagai permasalahan yang terjadi karena Covid-19 ini dinilai menjadi sumber stres baru bagi masyarakat.
Keadaan ini, ungkap Silverius menjadi diskursus bagi kalangan psikologi. Oleh karena itu sebagai lembaga akademik yang tentunya menjadi rahim lahirnya para psikolog terpanggil untuk turut serta menyelesaikan permasalahan masyarakat. Salah satunya adalah dengan meramu kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan pasar.
“Selama ini, kita tidak pernah berfikir bahwa para nakes itu memerlukan pendampingan para psikolog. Lantaran mereka juga terpapar . Jika terpapar mereka sadar bahwa dirinya bisa menjadi korban, “katanya
Di sinilah, ungkap Silverius, pentingnya kehadiran Psikolog di sisi para Nakes. “Bagaimana cara agar nakes yang terpapar memiliki harapan hidup yang positif. Karena imunitas dapat diciptakan dari kesehatan mental yang baik. Kalau sudah stress, takut maka akan parah, “ ujarnya.
Dengan fakta dan tuntutan kebutuhan tersebut selaku Koordinator Wilayah Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) se-Jabodetabek pihaknya menyelenggarakan Kolokium Khusus AP2TPI di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pada 22-23 Juni 2022.
Kolokium tersebut membicarakan berbagai hal termasuk membicaraan kurikulum yang sesuai tuntutan masyarakat, baik jalur akademik (S1, S2, S3) maupun jalur profesi (psikolog umum, psikolog spesialis, psikolog sub/super spesialis). Dengan demikian lulusan akan mampu menjawab tantangan zaman.
Hal senada dinyatakan Ketua AP2TPI Zahrotur Rusyda Hinduan SPsi MOP PhD bahwa kolokium ini digelar untuk memastikan standar lulusan program studi pendidikan psikologi sama, baik lulus di Aceh maupun Papua, memiliki kompetensi, sikap, skill, knowledge yang sama.
Zahrotur menjelaskan pihaknya ingin membuat standar yang sama dengan cara membuat kebijakan hingga setiap prodi psikologi akan mengikuti kebijakan yang diturunkan. Kebijakan diturunkan dari Peraturan Pemerintah, isu-isu terkini. “Misalnya sekarang pascapandemi banyak layanan psikologi secara online maka kami ingin membuat standarnya. Agar layanan masyarakat mengikuti perkembangan dan kebutuhan pasar tetapi juga tetap terikat dengan etika. Menjaga etika sangat penting, “ tegasnya.
Adanya tuntutan zaman dalam layanan Psikolog juga dipaparkan Silverius yang menurutnya menjadi diskursus tersendiri.
“Metode pelayanan juga ada tuntutan yang berbeda. Di mana sekarang semua serba digital. Ini menjadi pertimbangan, akankah layanan model konsultasi psikolog juga akan mengikuti zaman, dengan cara online. Jika iya, bagaimana prosedurnya agar tetap sesuai dengan kode etik, “ ungkapnya.
Soal lain yang dibicarakan adalah bagaimana agar Pemerintah memiliki persamaan persepsi mengenai pentingnya kesehatan mental masyarakat menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Ia mengaku sangat mengapresiasi apa yang dinyatakan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa kesehatan mental di kota besar sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari indikator ekonomi tetapi juga aspek kesehatan mental. Sehingga peran psikolog sangat diperlukan terutama layanan psikologi pendidikan dasar.
Namun menurutnya tidak hanya pemerintah yang didorong pentingnya memiliki kesadaran akan kesehatan mental, tetapi juga masyarakat. “Tantangannya adalah masyarakat masih menganggap tabu jika seseorang melakukan konsultasi pada psikolog. Padahal, konsultasi atau pendampingan pada psikolog akan bermanfaat besar. Mulai dari mengetahui potensi diri, meningkatkan keberhasilan diri dengan cara mengubah mental dan mindset. Karena sudah teruji, bahwa keberhasilan para pengusaha 80 persen dipengaruhi kesehatan mental, jadi PR kita adalah mengubah mindset masyarakat bahwa pendampingan psikologis itu hal yang biasanya saja, “ jelasnya.
Selain masih dipandang belum biasa, psikologi bagi masyarakat awam menurut Silverius masih merasa belum menjadi kebutuhan. “Pada dasarnya psikolog harusnya justru untuk masyarakat bawah. Mereka sangat memerlukan untuk menguatkan mental, namun justru Psikolog di kalangan bawah tidak laku. Yang mereka butuhkan adalah basic need, yakni makan dan minum, “ ujarnya.
Oleh karena itu, agar psikologi masuk pada kalangan bawah, ia mengajak para psikolog atau mahasiswa untuk meakukan pendekatan melalui ekonomi. “ Harus ada mediatornya. Kita tidak bisa tiba-tiba membangun karakter tanpa memberi solusi ekonomi. Itu akan percuma,” jelasnya.
Ia pun berharap acara ini dapat menyinergikan pendidikan psikologi, dan profesi psikologi. “ Harapannya adalah Bagaimana kita mampu mengelinkkan kurikulum antara dunia pendidikan dan tuntutan profesinya. Sehingga harapannya keduanya dapat saling berkolaborasi. Profesi dapat bersumbangsih untuk kurikulum dan melalui riset risetnya dunia akademis bisa menjadikan dasar pengembangan profesi untuk melayani masyarakat, “ harapnya.
Dalam acara tersebut ungkapnya ada sekitar 388 peserta dari 150 prodi Psikologi di seluruh Indonesia baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag.
Keadaaan ini memacu para ahli psikologi untuk meramu metode tertentu sehingga layanan psikologi pada masyarakat lebih tepat sasaran. Dekan Psikologi UP Dr. Silverius Y Soeharso,SE, MM.Psi menuturkan pandemi Covid-19 tidak hanya berefek pada kesehatan fisik, tetapi juga berpengaruh kepada kesehatan mental seseorang. Berbagai permasalahan yang terjadi karena Covid-19 ini dinilai menjadi sumber stres baru bagi masyarakat.
Keadaan ini, ungkap Silverius menjadi diskursus bagi kalangan psikologi. Oleh karena itu sebagai lembaga akademik yang tentunya menjadi rahim lahirnya para psikolog terpanggil untuk turut serta menyelesaikan permasalahan masyarakat. Salah satunya adalah dengan meramu kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan pasar.
“Selama ini, kita tidak pernah berfikir bahwa para nakes itu memerlukan pendampingan para psikolog. Lantaran mereka juga terpapar . Jika terpapar mereka sadar bahwa dirinya bisa menjadi korban, “katanya
Di sinilah, ungkap Silverius, pentingnya kehadiran Psikolog di sisi para Nakes. “Bagaimana cara agar nakes yang terpapar memiliki harapan hidup yang positif. Karena imunitas dapat diciptakan dari kesehatan mental yang baik. Kalau sudah stress, takut maka akan parah, “ ujarnya.
Dengan fakta dan tuntutan kebutuhan tersebut selaku Koordinator Wilayah Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) se-Jabodetabek pihaknya menyelenggarakan Kolokium Khusus AP2TPI di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pada 22-23 Juni 2022.
Kolokium tersebut membicarakan berbagai hal termasuk membicaraan kurikulum yang sesuai tuntutan masyarakat, baik jalur akademik (S1, S2, S3) maupun jalur profesi (psikolog umum, psikolog spesialis, psikolog sub/super spesialis). Dengan demikian lulusan akan mampu menjawab tantangan zaman.
Hal senada dinyatakan Ketua AP2TPI Zahrotur Rusyda Hinduan SPsi MOP PhD bahwa kolokium ini digelar untuk memastikan standar lulusan program studi pendidikan psikologi sama, baik lulus di Aceh maupun Papua, memiliki kompetensi, sikap, skill, knowledge yang sama.
Zahrotur menjelaskan pihaknya ingin membuat standar yang sama dengan cara membuat kebijakan hingga setiap prodi psikologi akan mengikuti kebijakan yang diturunkan. Kebijakan diturunkan dari Peraturan Pemerintah, isu-isu terkini. “Misalnya sekarang pascapandemi banyak layanan psikologi secara online maka kami ingin membuat standarnya. Agar layanan masyarakat mengikuti perkembangan dan kebutuhan pasar tetapi juga tetap terikat dengan etika. Menjaga etika sangat penting, “ tegasnya.
Adanya tuntutan zaman dalam layanan Psikolog juga dipaparkan Silverius yang menurutnya menjadi diskursus tersendiri.
“Metode pelayanan juga ada tuntutan yang berbeda. Di mana sekarang semua serba digital. Ini menjadi pertimbangan, akankah layanan model konsultasi psikolog juga akan mengikuti zaman, dengan cara online. Jika iya, bagaimana prosedurnya agar tetap sesuai dengan kode etik, “ ungkapnya.
Soal lain yang dibicarakan adalah bagaimana agar Pemerintah memiliki persamaan persepsi mengenai pentingnya kesehatan mental masyarakat menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Ia mengaku sangat mengapresiasi apa yang dinyatakan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa kesehatan mental di kota besar sangat dibutuhkan. Kemajuan suatu kota tidak hanya diukur dari indikator ekonomi tetapi juga aspek kesehatan mental. Sehingga peran psikolog sangat diperlukan terutama layanan psikologi pendidikan dasar.
Namun menurutnya tidak hanya pemerintah yang didorong pentingnya memiliki kesadaran akan kesehatan mental, tetapi juga masyarakat. “Tantangannya adalah masyarakat masih menganggap tabu jika seseorang melakukan konsultasi pada psikolog. Padahal, konsultasi atau pendampingan pada psikolog akan bermanfaat besar. Mulai dari mengetahui potensi diri, meningkatkan keberhasilan diri dengan cara mengubah mental dan mindset. Karena sudah teruji, bahwa keberhasilan para pengusaha 80 persen dipengaruhi kesehatan mental, jadi PR kita adalah mengubah mindset masyarakat bahwa pendampingan psikologis itu hal yang biasanya saja, “ jelasnya.
Selain masih dipandang belum biasa, psikologi bagi masyarakat awam menurut Silverius masih merasa belum menjadi kebutuhan. “Pada dasarnya psikolog harusnya justru untuk masyarakat bawah. Mereka sangat memerlukan untuk menguatkan mental, namun justru Psikolog di kalangan bawah tidak laku. Yang mereka butuhkan adalah basic need, yakni makan dan minum, “ ujarnya.
Oleh karena itu, agar psikologi masuk pada kalangan bawah, ia mengajak para psikolog atau mahasiswa untuk meakukan pendekatan melalui ekonomi. “ Harus ada mediatornya. Kita tidak bisa tiba-tiba membangun karakter tanpa memberi solusi ekonomi. Itu akan percuma,” jelasnya.
Ia pun berharap acara ini dapat menyinergikan pendidikan psikologi, dan profesi psikologi. “ Harapannya adalah Bagaimana kita mampu mengelinkkan kurikulum antara dunia pendidikan dan tuntutan profesinya. Sehingga harapannya keduanya dapat saling berkolaborasi. Profesi dapat bersumbangsih untuk kurikulum dan melalui riset risetnya dunia akademis bisa menjadikan dasar pengembangan profesi untuk melayani masyarakat, “ harapnya.
Dalam acara tersebut ungkapnya ada sekitar 388 peserta dari 150 prodi Psikologi di seluruh Indonesia baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag.
(atk)