Kisah Perjuangan Dosen Achmad, 12 Kali Gagal Raih Beasiswa Luar Negeri

Rabu, 29 Juni 2022 - 08:03 WIB
loading...
Kisah Perjuangan Dosen...
Achmad Hidayatullah, Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya pernah 12 kali gagal raih beasiswa ke luar negeri. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Achmad Hidayatullah, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya ini merupakan sosok yang pantang menyerah dalam hal pendidikan.

Saat memperjuangkan beasiswa ke luar negeri, ternyata pernah 12 kali gagal ditolak kampus impiannya di luar negeri. Bahkan sejak kecil, ia selalu mencari cara sendiri untuk bisa bersekolah.



Sebelum pada akhirnya, ia bisa menempuh pendidikan di luar negeri, sebagai mahasiswa University Of Szeged Hungary Eropa.

Menurut Dayat, panggilan akrabnya, sebelum ia diterima di University Of Szeged Hungary ia mengatakan sempat pada percobaan kampus ke-13 dan 14 ia dinyatakan lolos.

Ia menjelaskan kegagalan yang ia alami hampir membuatnya stres dan putus asa. “Saya sempat frustasi karena tidak lolos-lolos studi. Saya menyendiri mencari tempat sepi dan menghindari keramaian,” ujarnya dilansir dari laman UM Surabaya, Rabu (29/6/2022).



Pria tahan banting untuk urusan pendidikan ini menjelaskan, jika usaha ke-12 gagal, lebih baik ia kuliah di dalam negeri. Bahkan ia sempat menyampaikan kepada keluarganya.

Namun ternyata buah dari kerja kerasnya, ia diterima di dua kampus luar negeri yakni National Dong Hwa University Taiwan dan University Of Szeged Hungaria. Setelah berpikir panjang, ia memutuskan mengambil di Hungaria Eropa Tengah.

Pria kelahiran tahun 1990 dan asli Madura ini memang tahan banting kalau urusan pendidikan.

Sejak SMP dan SMA Dayat memutuskan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep karena keterbatasan ekonomi. Dayat bahkan sering membantu ayahnya saat bertani. Kedua orang tuanya, sejak dulu menggeluti profesi ini.

Apakah ekonomi lantas menyurutkan langkahnya? Tentu saja tidak. Di panti asuhan justru ia bisa bersekolah secara gratis.

Meski, saat di panti asuhan ia mengatakan semua serba terbatas dan masa remajanya tak seperti remaja pada umumnya.

Dayat menjelaskan bahwa di panti ia tak bisa hidup mewah seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan hanya sekadar untuk membeli jajan saat waktu istirahat ia tak bisa, karena di panti tidak menyediakan uang saku.

“Bersyukur saya pernah ditempa di panti. Saya belajar disiplin, menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Belajar ilmu agama secara mendalam dan yang terpenting saya bisa bersekolah,” jelas Dayat.

Menurutnya pula yang diajarkan di panti sangat berpengaruh bagi hidupnya sehingga membentuk pribadi yang strunggle di tengah keterbatasan yang ia jalani.

Saat memutuskan kuliah di Surabaya, hidupnya tidak langsung mudah. Menurutnya, tahun itu universitas di Indonesia belum menyediakan beasiswa bidikmisi seperti saat ini. Tahun tersebut kampus ada beasiswa BBM dan PPM tapi Dayat selalu gagal.

“Dulu saat masuk kuliah dibantu panti. Tapi untuk biaya makan saya tetap sulit. Waktu itu harga sayur satu plastik 500-1.000 rupiah. Setiap hari saya makan seadanya,” terangnya.

Menurutnya, ia sering membeli tempe dan dimakan mentah untuk lauk. Ia sangat menyadari orang tua di desa tidak bisa memberinya materi secara penuh, sehingga ia harus punya usaha lebih untuk bertahan hidup di Surabaya.

“Pernah sehari baru bisa makan jam 12 malam karena benar-benar tidak ada uang waktu itu. Pernah juga saya satu minggu lauk ikan kering karena diberi teman,” ungkapnya lagi.

Karena keterbatasan ekonomi yang dialamainya, Dayat memutuskan untuk berkuliah sambil bekerja.

Ia bekerja sebagai penjual empek-empek hingga menjadi cleaning service. Akibatnya ia menjadi tidak fokus saat belajar di kelas, ditambah aktivitas organisasi yang cukup padat.

Kini, setelah ia meraih mimpinya kuliah di Eropa, ia juga melakukan dakwah Islam berkemajuan di Eropa.

Menurut Dayat, pada kurun waktu tahun 2017-2019 banyak kader Muhammadiyah dari perguruan tinggi di Indonesia yang diterima dan berhasil lolos beasiswa di Stipendium Hungaricum untuk studi master dan doctoral dan pada saat itulah terbentuk kesepakatan untuk melebarkan dakwah Islam di Eropa.

“Salah satu tantangan dakwah Muhammadiyah adalah banyaknya anak muda yang tidak percaya Tuhan, ini menjadi tantangan tersendiri untuk saya dan teman-teman selain perbedaan budaya dan bahasa,” katanya.

Menurutnya bentukan dakwah yang dilakukan adalah melalui dialog geraka intelektual keagamaan, terkait isu kerusakan lingkungan, kesetaraan gender, kesehatan sosial dan pendidikan.

Dayat juga berharap setelah menyelesaikan studi ia bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui riset-riset yang ia lakukan.

“Selalu ada jalan bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Tekun belajar, sabar dan iringi dengan doa,” pungkasnya.
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4327 seconds (0.1#10.140)