Regulasi Mendikbud Dinilai Belum Menyentuh Problem Pendidikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan yang dibuat Menteri Pedidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dinilai belum menyentuh problem pendidikan bangsa ini.
Hal itu diungkapkan pakar pendidikan Doni Koesoema, saat diskusi webinar yang digelar Pustakapedia dengan tema “Arah pendidikan kita: Mas Nadiem mau ke Mana?”. Hadir dalam diskusi tersebut Pakar Kebijakan Publik UGM Wahyudi Kumorotomo, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim, Editor in chief Pustakapedia David Krisna Alka, CEO Pustakapedia Akhmad Muzambik, dan dipandu Editor Senior Andriansyah Syihabuddin.
Doni Koesoema menjelaskan Ki Hajar Dewantara sudah memberikan gambaran tentang manusia merdeka. Setidaknya ada tiga sifat yang dimiliki manusia merdeka yaitu mandiri atau berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain secara lahir dan batin dan bersandar pada diri sendiri yang berarti tumbuhnya sikap kepercayaan diri.
”Jika kita konsisten dengan gagasan manusia merdekanya Ki Hajar Dewantara maka hal ini bisa menjadi panduan bagi kebijakan pendidikan kita. Sayangnya, konsep merdeka ala Mas Menteri Nadiem baru berkutat pada hal administrative,” kata Doni, Kamis (9/7/2020). (Baca juga: Ada Karyawan Positif COVID-19, Kemendikbud Bantah Kantornya Lockdown)
Konsep Merdeka sementara ini, baru sebatas bebas dari berbagai hal administratif yang membebani guru. Artinya, konsep dasar manusia merdeka yang digagas Ki Hajar Dewantara tidak dianggap hal fundamental oleh Nadiem. Di satu sisi Nadiem tidak fokus pada hal-hal detail tentang pendidikan. ”Regulasi yang dibuat Nadiem belum menyentuh problem pendidikan. Ada upaya Kemendikbud dalam mengimplementasikan konsep Ki Hajar Dewantoro ini. Masalahnya, masih dalam tataran praktis. Kemerdekaan yang diusung Nadiem hanya berkutat pada ranah teknis, tidak menyentuh hal esensial dalam menjawab problem pendidikan,” jelas Doni.
Doni juga mengkritik wacana Nadiem untuk mempermanenkan belajar daring. Sebab, ini akan menjadi persoalan bagi peserta didik di daerah yang infrastrukturnya belum cukup. Apalagi, lanjutnya, jika semua metode belajar menggunakan sistem daring maka hal ini akan menyebabkan kemunduran kualitas bagi materi pelajaran yang butuh mentoring seperti yag diajarkan di sekolah SMK, misalnya. “Ini juga akan membebani guru,” tegasnya.
CEO Pustakapedia Muzambik mengatakan pendidikan mesti bersifat transformatif. Arah transformasi pendidikan tentu saja mengarah pada kemajuan berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. ”Sedangkan bagi peserta didik, transformasi akan mengarah pada perkembangan tiga aspek yakni kognitif, afektif dan psikomotorik di mana ketiga aspek tersebut dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan,” ucapnya.
Pakar Kebijakan Publik UGM Wahyudi Kumorotomo menilai, Kemendikbud belum menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. “Ini bisa dilihat dari target skor PISA (Programme dor Internasional Student Assessment, red) masih di bawah 400. Padahal negara lain sudah menargetkan hingga 500 sampai 600,” kata Wahyudi. (Baca juga: Inspirasi untuk Kemajuan Pendidikan Ramah Anak)
Terkait dengan kebijakan merdeka belajar, Wahyudi menilai, di tingkat operasional tidak ada yang betul-betul kuat sebagai implementator untuk pembelajaran merdeka ini.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim sempat menaruh harapan ketika Nadiem ditunjuk sebagai menteri karena muda sehingga diharapkan ada progresivitas. Kedua, Nadiem dinilai sukses sebagai pengusaha dan termasuk generasi milenial dimana sangat memahami teknologi digital. “Kita berharap karena profil menteri ini berbeda,” lanjutnya.
Namun hingga kini, Kemendikbud belum menunjukkan kinerja yang maksimal. Konsep merdeka belajar pun implementasinya tidak maksimal. Nadiem dinilai tidak memahami persoalan lapangan pendidikan di Indonesia juga problem yang dihadapi guru. “Sejauh ini hanya gimmick dan slogan belaka,” tegas Ramli.
Sementara itu, David Krisna Alka mengatakan sulit dicerna kalau para menteri dimarahi dulu sama presiden baru bergerak. "Menteri diangkat mestinya berdasarkan kapasitas, profesionalitas, dan integritas. Logikanya sulit dicerna kalau dimarahi dulu baru bergerak. Apalagi di masa pandemi ini," ucap David.
Hal itu diungkapkan pakar pendidikan Doni Koesoema, saat diskusi webinar yang digelar Pustakapedia dengan tema “Arah pendidikan kita: Mas Nadiem mau ke Mana?”. Hadir dalam diskusi tersebut Pakar Kebijakan Publik UGM Wahyudi Kumorotomo, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim, Editor in chief Pustakapedia David Krisna Alka, CEO Pustakapedia Akhmad Muzambik, dan dipandu Editor Senior Andriansyah Syihabuddin.
Doni Koesoema menjelaskan Ki Hajar Dewantara sudah memberikan gambaran tentang manusia merdeka. Setidaknya ada tiga sifat yang dimiliki manusia merdeka yaitu mandiri atau berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain secara lahir dan batin dan bersandar pada diri sendiri yang berarti tumbuhnya sikap kepercayaan diri.
”Jika kita konsisten dengan gagasan manusia merdekanya Ki Hajar Dewantara maka hal ini bisa menjadi panduan bagi kebijakan pendidikan kita. Sayangnya, konsep merdeka ala Mas Menteri Nadiem baru berkutat pada hal administrative,” kata Doni, Kamis (9/7/2020). (Baca juga: Ada Karyawan Positif COVID-19, Kemendikbud Bantah Kantornya Lockdown)
Konsep Merdeka sementara ini, baru sebatas bebas dari berbagai hal administratif yang membebani guru. Artinya, konsep dasar manusia merdeka yang digagas Ki Hajar Dewantara tidak dianggap hal fundamental oleh Nadiem. Di satu sisi Nadiem tidak fokus pada hal-hal detail tentang pendidikan. ”Regulasi yang dibuat Nadiem belum menyentuh problem pendidikan. Ada upaya Kemendikbud dalam mengimplementasikan konsep Ki Hajar Dewantoro ini. Masalahnya, masih dalam tataran praktis. Kemerdekaan yang diusung Nadiem hanya berkutat pada ranah teknis, tidak menyentuh hal esensial dalam menjawab problem pendidikan,” jelas Doni.
Doni juga mengkritik wacana Nadiem untuk mempermanenkan belajar daring. Sebab, ini akan menjadi persoalan bagi peserta didik di daerah yang infrastrukturnya belum cukup. Apalagi, lanjutnya, jika semua metode belajar menggunakan sistem daring maka hal ini akan menyebabkan kemunduran kualitas bagi materi pelajaran yang butuh mentoring seperti yag diajarkan di sekolah SMK, misalnya. “Ini juga akan membebani guru,” tegasnya.
CEO Pustakapedia Muzambik mengatakan pendidikan mesti bersifat transformatif. Arah transformasi pendidikan tentu saja mengarah pada kemajuan berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. ”Sedangkan bagi peserta didik, transformasi akan mengarah pada perkembangan tiga aspek yakni kognitif, afektif dan psikomotorik di mana ketiga aspek tersebut dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan,” ucapnya.
Pakar Kebijakan Publik UGM Wahyudi Kumorotomo menilai, Kemendikbud belum menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. “Ini bisa dilihat dari target skor PISA (Programme dor Internasional Student Assessment, red) masih di bawah 400. Padahal negara lain sudah menargetkan hingga 500 sampai 600,” kata Wahyudi. (Baca juga: Inspirasi untuk Kemajuan Pendidikan Ramah Anak)
Terkait dengan kebijakan merdeka belajar, Wahyudi menilai, di tingkat operasional tidak ada yang betul-betul kuat sebagai implementator untuk pembelajaran merdeka ini.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim sempat menaruh harapan ketika Nadiem ditunjuk sebagai menteri karena muda sehingga diharapkan ada progresivitas. Kedua, Nadiem dinilai sukses sebagai pengusaha dan termasuk generasi milenial dimana sangat memahami teknologi digital. “Kita berharap karena profil menteri ini berbeda,” lanjutnya.
Namun hingga kini, Kemendikbud belum menunjukkan kinerja yang maksimal. Konsep merdeka belajar pun implementasinya tidak maksimal. Nadiem dinilai tidak memahami persoalan lapangan pendidikan di Indonesia juga problem yang dihadapi guru. “Sejauh ini hanya gimmick dan slogan belaka,” tegas Ramli.
Sementara itu, David Krisna Alka mengatakan sulit dicerna kalau para menteri dimarahi dulu sama presiden baru bergerak. "Menteri diangkat mestinya berdasarkan kapasitas, profesionalitas, dan integritas. Logikanya sulit dicerna kalau dimarahi dulu baru bergerak. Apalagi di masa pandemi ini," ucap David.
(cip)