Merajut Mimpi di Kampus Negeri

Sabtu, 11 Juli 2020 - 07:29 WIB
loading...
Merajut Mimpi di Kampus...
Daya tampung perguruan tinggi negeri (PTN) sedemikian terbatas. Banyak dari lulusan SMA pun terpaksa mengubur mimpi. Foto: dok/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Berkuliah di kampus-kampus negeri masih menjadi cita-cita favorit banyak anak muda Indonesia. Sayangnya, daya tampung perguruan tinggi negeri (PTN) sedemikian terbatas. Banyak dari lulusan SMA pun terpaksa mengubur mimpi.

Anas Fajrul Alam (18) lulusan SMA Negeri 2 Lamongan, awal pekan lalu mencoba peruntungan untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2020. Berangkat sehabis subuh, dia harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari rumahnya untuk sampai di lokasi ujian SBMPTN di Surabaya. Bersepeda motor, berdua dengan sang ayah. “Saya ingin masuk Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Negeri (UIN) Ibnu Khaldun, Malang. Saya ingin jadi ahli ekonomi syariah,” katanya kepada KORAN SINDO beberapa waktu lalu.

Anas hanyalah satu di antara 703.875 siswa lulusan SMA yang hari-hari ini mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Melalui jalur SBMPTN, dia dan ratusan lulusan SMA lainnya akan memperebutkan setidaknya 40% kuota dari daya tampung masing-masing program studi di PTN.

Selain SBMPTN, jalur masuk PTN juga bisa melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Untuk jalur ini masing-masing PTN diharuskan menyediakan alokasi minimal 20% dari daya tampung masing-masing prodi. Jalur SNMPTN didasarkan pada prestasi akademik atau prestasi lain dari calon mahasiswa. (Baca: 15.307 Peserta Ikuti UTBK di UGM dengan Protokol Kesehatan covid-19)

Untuk tahun ini, jalur SNMPTN diikuti 489.601 siswa dari 15.296 sekolah. Selain jalur SNMPTN dan SBMPTN, proses calon mahasiswa juga bisa ikut Seleksi Mandiri yang digelar masing-masing PTN. Untuk jalur mandiri ini, masing-masing PTN maksimal dijatah 30% dari kuota di masing-masing program studi.

Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) Kemendikbud, saat ini jumlah PTN ada 122. Terbagi atas 63 universitas, 43 politehnik, 12 institut, dan 4 akademi komunitas.

Meskipun dengan tingkat persaingan yang begitu ketat, namun peminat seleksi masuk PTN dari masing-masing jalur tetap tinggi. Menempuh pendidikan di PTN bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap lebih memberikan jaminan mutu maupun kesempatan besar di dunia kerja.

Selain itu, biaya kuliah di PTN juga relatif jauh lebih ringan dibandingkan jika harus menempuh pendidikan di kampus-kampus swasta favorit di Indonesia. “Selain alasan mutu, ya pasti (PTN) lebih terjangkau,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Keberadaan PTN semakin diminati karena pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terus mengguyur mahasiswa-mahasiswa kampus negeri dengan berbagai fasilitas. Kartu Indonesia Pintar Kuliah, penambahan fasilitas kampus, hingga kesempatan besar dalam memperoleh beasiswa dari LPDP.

Di sisi lain meskipun dari sisi jumlah dan mutu perguruan tinggi swasta (PTS) terus meningkat dari tahun ke tahun, namun masih banyak tersemat stigma negatif. Dari sisi kualitas misalnya PTS kerap diragukan dari sisi akreditasi, konflik antarpengelola yayasan, hingga izin pengelolaan yang kerap kadaluwarsa.

Di sisi biaya, PTS kerap dipersepsikan berbiaya mahal. “Memang ada kampus swasta yang berbiaya murah dan juga diminati oleh masyarakat yang ingin memiliki gelar sarjana. Namun, apakah mutunya terjamin, ya nanti dulu,” kata Ubaid. (Baca juga: Rencana Pembelian 8 unit Osprey untuk Menjawab kebutuhan Alutsista)

Besarnya minat masuk PTN di satu sisi dan adanya stigma PTS mahal di sisi lain membuat banyak lulusan SMA memutuskan berhenti melanjutkan pendidikan setelah tidak diterima di PTN. Mereka memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja.

Kondisi ini membuat angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di jenjang PT relatif rendah di kisaran 30%. “Pemerintah harus menambah daya tampung masing-masing PTN di Indonesia. Selain itu, peningkatan dan pemerataan mutu PTN juga sangat urgen dilakukan,” tukas Ubaid.

Plt Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam mengatakan, pemerintah saat ini terus berusaha meningkatkan APK di pendidikan tinggi. Satu di antara alasannya adalah ekonomi ke depan akan lebih berbasis innovation driven economy. Maka itu, kebutuhan akan SDM level sarjana akan semakin besar.

“Saat ini angkatan kerja kita masih didominasi lulusan SD, SMP, SMA/K. Yang berpendidikan tinggi baru sekitar 12%, padahal di negara OECD sudah di atas 50% berpendidikan tinggi,” sebutnya.

Dia menjelaskan, langkah untuk meningkatkan APK ini mencakup dua aspek. Pertama adalah dari sisi kuantitas yang relatif mudah dicapai dengan menambah daya tampung sistem pendidikan tinggi kita, dan aspek ke dua adalah kualitas atau mutu. Menurut dia, meskipun APK tinggi kalau lulusan tidak bermutu, justru tidak memberi nilai tambah bagi pembangunan bangsa. “Aspek mutu ini tidak mudah dan memerlukan kerja keras semua pihak,” lanjutnya. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)

Nizam menjelaskan, satu di antara masalah akses adalah biaya mengikuti pendidikan tinggi. Masyarakat kurang mampu tentu akan kesulitan untuk masuk perguruan tinggi. Untuk ini, jelasnya, pemerintah hadir dengan beasiswa seperti KIP Kuliah untuk membantu masyarakat dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan tinggi.

“Jadi upaya pemerintah adalah memberi beasiswa untuk memampukan/enabling calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk bisa masuk ke perguruan tinggi dan meningkatkan kapasitas perguruan tinggi yang kualitasnya sudah bagus,” ungkapnya.

Selain itu, ujar guru besar UGM ini, sejak 1984 pemerintah sebetulnya sudah membuka akses seluas-luasnya melalui universitas terbuka (UT). Saat ini pemerintah sedang menyiapkan untuk memperluas akses pendidikan tinggi berkualitas dengan basis teknologi seperti Massive Open Online Courses (MOOCS).

Terkait dengan penambahan daya tampung PTN agar semakin banyak masyarakat yang bisa menempuh kuliah di perguruan tinggi, Nizam menjawab, tetap harus ada pembagian peran dengan PTS karena tidak semua calon mahasiswa bisa tertampung di negeri. Selain itu, jelasnya, untuk menjaga mutu, PTN juga harus tetap menjaga rasio dosen dengan mahasiswa. Nizam melanjutkan, pemerintah pun terus mendorong PTS untuk meningkatkan mutunya misalnya saja dengan merger bagi PTS-PTS kecil sehingga menjadi besar dan kualitasnya bagus. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)

Nizam menuturkan, saat ini ada lebih dari 4700 PTS di Indonesia dengan jumlah mahasiswa sekitar 4 juta. Lebih dari 3 juta di antaranya berada di 200 PTS yang besar-besar, sisanya tersebar di 4500 PTS atau rata-rata di bawah 1.000 mahasiswa. “Dengan demikian, sulit bagi PTS kecil-kecil tersebut untuk meningkatkan mutunya. Pemerintah sejak kabinet yang lalu mendorong PTS kecil untuk merger sehingga jadi besar dan kualitasnya bisa bagus,” tuturnya. (Neneng Zubaidah)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2527 seconds (0.1#10.140)