Seminar Nasional, Negara Terlibat Pembantaian Massal 1965-1966
A
A
A
JAKARTA - Peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang dianggap berhaluan kiri di Indonesia pada 1965-1966, dilakukan oleh negara dengan melibatkan masyarakat.
Hal ini diungkapkan peneliti senior di Indo Survey dan Strategi Karyono Wibowo dalam seminar nasional, "Mengapa Pembantaian Massal Terjadi? Mengungkap Kejahatan Manusia Terbesar Abad ke-XX."
"Yang memulai pembantaian massal 1965-1966 adalah negara. Kalaupun ada keterlibatan dari kelompok masyarakat, karena ada provokasi dari tentara," katanya, di Auditorium Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Menurutnya, negara harus meminta maaf bukan hanya kepada para korban dan keluarganya, tetapi juga kepada rakyat Indonesia, karena telah melakukan pembiaran atas tragedi itu. Selanjutnya, negara harus memberikan kompensasi terhadap mereka.
"Negara terlibat, dan negara harus meminta maaf kepada korban dan rakyat Indonesia. Negara juga harus merehabilitasi nama baik korban, dan memberikan kompensasi kepada mereka," terangnya.
Lebih jauh, dia melihat peristiwa pembantaian massal di Indonesia pada 1965-1966 sebagai akibat dari perang dingin yang terjadi antara kubu kapitalis yang diwakili Amerika Serikat (AS) dan kubu sosialis yang diwakili Uni Soviet.
"Indonesia adalah korban dari perang dingin. Sasaran utama dari Gerakan 30 September (G30S) adalah menggulingkan Soekarno. G30S terjadi karena adanya kepentingan neokolonialisme dan neoimperialisme," tegasnya.
Dia menambahkan, dalam banyak buku sejarah, masalah pembantaian massal sudah banyak diulas. Namun, tidak ada kata sepakat mengenai berapa jumlah korban dalam pembantaian itu. Dari yang paling kecil 78.000 jiwa, 500.000 jiwa, hingga tiga juta.
Dalam seminar itu, sejarawan Peter Kesenda juga berkesempatan hadir. Lebih dalam, dia mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi pendorong terjadinya pembantaian massal di Indonesia. Salah satunya adalah propaganda militer.
"Negara telah melakukan fitnah yang sangat keji dengan mengatakan jenazah para jenderal disayat, matanya dicongkel dan kelaminnya dipotong. Padahal hasil autopsi terhadap jenazah para jenderal tidak ada luka sayatan itu," terangnya.
Sejak tersebarnya propaganda militer itu, pembunuhan terjadi di mana-mana, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera. Jumlah korban di daerah itu sangat banyak. Tetapi ironisnya di Jawa Barat justru sedikit.
"Konflik horisontal di wilayah pedesaan dipicu oleh masalah tanah antara PKI yang tidak punya tanah dengan tuan tanah yang diwakili para kiai di pondok pesantren. Korbannya bukan hanya PKI, tetapi loyalis Soekarno dan orang Tionghoa," jelasnya.
Dia menggambarkan peristiwa yang terjadi saat itu sangat mengerikan. Saat tinggal di Surabaya, dia suka melihat banyak karung dihanyutkan. Pada masa itu dia sempat bertanya kepada temannya tentang isi karung itu.
"Saat itu saya bertanya kepada teman saya, siapa yang membuang karung-karung itu dan apa isinya. Lalu teman saya itu menjawab bahwa karung-karung itu berisi mayat PKI dan saya diminta tidak membahas masalah itu lagi," bebernya.
Dia berharap, dengan seminar ini peristiwa kelam serupa tidak akan terjadi di masa yang akan datang dengan cara memaafkan tetapi tidak melupakan. Tetapi maaf saja tidak cukup, harus ada proses hukum untuk menuntaskan peristiwa itu.
Senada dengan dua pembicara sebelumnya, perwakilan dari KontraS Tioria Pretty S yang juga hadir menyatakan, sebagai negara hukum Indonesia harus bersikap besar dengan menyelesaikan kasus pembantaian massal di tahun 1965-1966.
"Berbicara tentang pembantaian massal 1965-1966, kita tidak berbicara tentang mendukung PKI dan lainnya, tetapi berbicara Indonesia sebagai negara hukum. Untuk itu, penyelesaian hukum kasus pembantaian massal harus dituntaskan," tegasnya.
Permintaan maaf oleh negara memang diperlukan. Namun maaf saja tidak cukup. Harus ada langkah-langkah selanjutnya, seperti pemulihan hak-hak politik korban dan keluarganya, dan pemberian kompensasi terhadap korban.
Hal ini diungkapkan peneliti senior di Indo Survey dan Strategi Karyono Wibowo dalam seminar nasional, "Mengapa Pembantaian Massal Terjadi? Mengungkap Kejahatan Manusia Terbesar Abad ke-XX."
"Yang memulai pembantaian massal 1965-1966 adalah negara. Kalaupun ada keterlibatan dari kelompok masyarakat, karena ada provokasi dari tentara," katanya, di Auditorium Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Menurutnya, negara harus meminta maaf bukan hanya kepada para korban dan keluarganya, tetapi juga kepada rakyat Indonesia, karena telah melakukan pembiaran atas tragedi itu. Selanjutnya, negara harus memberikan kompensasi terhadap mereka.
"Negara terlibat, dan negara harus meminta maaf kepada korban dan rakyat Indonesia. Negara juga harus merehabilitasi nama baik korban, dan memberikan kompensasi kepada mereka," terangnya.
Lebih jauh, dia melihat peristiwa pembantaian massal di Indonesia pada 1965-1966 sebagai akibat dari perang dingin yang terjadi antara kubu kapitalis yang diwakili Amerika Serikat (AS) dan kubu sosialis yang diwakili Uni Soviet.
"Indonesia adalah korban dari perang dingin. Sasaran utama dari Gerakan 30 September (G30S) adalah menggulingkan Soekarno. G30S terjadi karena adanya kepentingan neokolonialisme dan neoimperialisme," tegasnya.
Dia menambahkan, dalam banyak buku sejarah, masalah pembantaian massal sudah banyak diulas. Namun, tidak ada kata sepakat mengenai berapa jumlah korban dalam pembantaian itu. Dari yang paling kecil 78.000 jiwa, 500.000 jiwa, hingga tiga juta.
Dalam seminar itu, sejarawan Peter Kesenda juga berkesempatan hadir. Lebih dalam, dia mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi pendorong terjadinya pembantaian massal di Indonesia. Salah satunya adalah propaganda militer.
"Negara telah melakukan fitnah yang sangat keji dengan mengatakan jenazah para jenderal disayat, matanya dicongkel dan kelaminnya dipotong. Padahal hasil autopsi terhadap jenazah para jenderal tidak ada luka sayatan itu," terangnya.
Sejak tersebarnya propaganda militer itu, pembunuhan terjadi di mana-mana, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera. Jumlah korban di daerah itu sangat banyak. Tetapi ironisnya di Jawa Barat justru sedikit.
"Konflik horisontal di wilayah pedesaan dipicu oleh masalah tanah antara PKI yang tidak punya tanah dengan tuan tanah yang diwakili para kiai di pondok pesantren. Korbannya bukan hanya PKI, tetapi loyalis Soekarno dan orang Tionghoa," jelasnya.
Dia menggambarkan peristiwa yang terjadi saat itu sangat mengerikan. Saat tinggal di Surabaya, dia suka melihat banyak karung dihanyutkan. Pada masa itu dia sempat bertanya kepada temannya tentang isi karung itu.
"Saat itu saya bertanya kepada teman saya, siapa yang membuang karung-karung itu dan apa isinya. Lalu teman saya itu menjawab bahwa karung-karung itu berisi mayat PKI dan saya diminta tidak membahas masalah itu lagi," bebernya.
Dia berharap, dengan seminar ini peristiwa kelam serupa tidak akan terjadi di masa yang akan datang dengan cara memaafkan tetapi tidak melupakan. Tetapi maaf saja tidak cukup, harus ada proses hukum untuk menuntaskan peristiwa itu.
Senada dengan dua pembicara sebelumnya, perwakilan dari KontraS Tioria Pretty S yang juga hadir menyatakan, sebagai negara hukum Indonesia harus bersikap besar dengan menyelesaikan kasus pembantaian massal di tahun 1965-1966.
"Berbicara tentang pembantaian massal 1965-1966, kita tidak berbicara tentang mendukung PKI dan lainnya, tetapi berbicara Indonesia sebagai negara hukum. Untuk itu, penyelesaian hukum kasus pembantaian massal harus dituntaskan," tegasnya.
Permintaan maaf oleh negara memang diperlukan. Namun maaf saja tidak cukup. Harus ada langkah-langkah selanjutnya, seperti pemulihan hak-hak politik korban dan keluarganya, dan pemberian kompensasi terhadap korban.
(san)