Mulai Tergerusnya Nilai Toleransi Sejak Dini
A
A
A
HARI Pendidikan Nasional, 2 Mei, rasanya menjadi momen buat pemerintah untuk mengkaji sistem pendidikan. Bukan semata karena sistem yang sekarang belum mumpuni, tapi nilai toleransi harus sudah dikedepankan.
Bukan tanpa alasan. Di media sosial belum lama ini banyak postingan bagaimana seorang anak menangis karena dicap kafir oleh teman-temannya. Kejadian di Jakarta itu bukan satu-satunya, sebab di Bali, Made Tasya Nuarta sempat enggan sekolah lantaran salah seorang guru bernama Yayan menganggap dirinya memakan uang haram karena profesi ayahnya yang seorang pematung. Padahal, kenang Made, sekolah itu memiliki murid berlatar belakang beragam suku, agama dan ras atau SARA.
Gejala merasuknya perilaku intoleransi di sekolah ini ditangkap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor. Menurut Maria, gejala itu sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja menguat setelah ada Pilkada DKI Jakarta 2017. "Fenomena isu rasial dan agama terkait Pilkada DKI Jakarta itu jadi tontonan warga sehari-hari, dan berefek pada anak-anak yang belum punya filter," paparnya.
Jelas intoleransi yang sudah merebak sejak anak-anak sangat berbahaya di negeri majemuk ini. Orang tua, guru dan masyarakat diharapkan tidak lagi melibatkan anak dalam konflik politik di pilkada atau forum-forum politik praktis.
Malah lewat suvei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) dan Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) terungkap hal yang mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan pada siswa SMU Negeri di Jakarta dan Bandung pada 2015 menyebutkan sejumlah 8,5% siswa setuju agar dasar negara diganti dengan agama dan 9,8% siswa mendukung gerakan Islamic State of Syria and Iraq (ISIS). Meski jumlah persentasenya berada di bawah 10%, tetapi fakta ini mengkhawatirkan, mengingat sekolah negeri sangat menekankan pendidikan kebangsaan.
Bagaimana seharusnya mengembalikan kesadaran perbedaan itu bukan suatu ancaman. Simak ulasan lengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi No.9/VI/2017, yang terbit Senin (1/5/2017)
Bukan tanpa alasan. Di media sosial belum lama ini banyak postingan bagaimana seorang anak menangis karena dicap kafir oleh teman-temannya. Kejadian di Jakarta itu bukan satu-satunya, sebab di Bali, Made Tasya Nuarta sempat enggan sekolah lantaran salah seorang guru bernama Yayan menganggap dirinya memakan uang haram karena profesi ayahnya yang seorang pematung. Padahal, kenang Made, sekolah itu memiliki murid berlatar belakang beragam suku, agama dan ras atau SARA.
Gejala merasuknya perilaku intoleransi di sekolah ini ditangkap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor. Menurut Maria, gejala itu sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja menguat setelah ada Pilkada DKI Jakarta 2017. "Fenomena isu rasial dan agama terkait Pilkada DKI Jakarta itu jadi tontonan warga sehari-hari, dan berefek pada anak-anak yang belum punya filter," paparnya.
Jelas intoleransi yang sudah merebak sejak anak-anak sangat berbahaya di negeri majemuk ini. Orang tua, guru dan masyarakat diharapkan tidak lagi melibatkan anak dalam konflik politik di pilkada atau forum-forum politik praktis.
Malah lewat suvei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) dan Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) terungkap hal yang mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan pada siswa SMU Negeri di Jakarta dan Bandung pada 2015 menyebutkan sejumlah 8,5% siswa setuju agar dasar negara diganti dengan agama dan 9,8% siswa mendukung gerakan Islamic State of Syria and Iraq (ISIS). Meski jumlah persentasenya berada di bawah 10%, tetapi fakta ini mengkhawatirkan, mengingat sekolah negeri sangat menekankan pendidikan kebangsaan.
Bagaimana seharusnya mengembalikan kesadaran perbedaan itu bukan suatu ancaman. Simak ulasan lengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi No.9/VI/2017, yang terbit Senin (1/5/2017)
(bbk)