Jokowi dan MUI Perlu Tengahi Ketegangan NU dan Mendikbud
A
A
A
JAKARTA - Ketegangan antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi dan ormas besar Nahdlatul Ulama (NU) mengenai kebijakan sekolah 5 hari atau full day school (FDS) perlu segera diakhiri.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu menjembatani kedua belah pihak untuk mengakhiri polemik tersebut.
"Menurut saya harus ada tokoh, lembaga atau pihak yang menjadi jembatan karena banyak miskomunikasi," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih kepada Koran SINDO di Jakarta, kemarin.
"Jadi gaya menteri yang menyampaikan ide yang belum jadi keputusan memang begitu, di sisi lain masyarakat sedang sensitif dengan banyak hal meskipun sudah diklarifikasi menteri baik lewat DPR maupun media," imbuhnya.
Fikri menjelaskan, selama ini NU mendesak agar kebijakan FDS dibatalkan padahal, Mendikbud sudah menjelaskan bahwa yang ada hanya kebijakan 5 hari sekolah. Kebijakan ini bertujuan untuk memenuhi guru yang tidak bisa sertifikasi lantaran jam mengajar yang kurang.
Bahkan, Muhadjir di depan DPR menegaskan, bahwa dirinya dosa besar jika sedikit saja memiliki niatan menutup Madrasah Diniyah karena memahami bahwa itu sarana untuk pendidikan karakter.
Bahkan, lanjutnya, Muhadjir juga menjelaskan bahwa guru sekolah yang mengantarkan muridnya ke lembaga pendidikan karakter seperti Madrasah Diniyah, museum, kuil dan lembaga lainnya akan dihitung sebagai tugas mengajar.
Sehingga, semua variabel bisa terpenuhi. Saat rapat terakhir pada akhir Juli lalu, Komisi X juga meminta agar Mendikbud melakukan kerja sama dengan Madrasah Diniyah agar bisa mengucurkan anggarannya.
"Kita desak juga, meskipun itu kewenangan Menteri Agama. Jadi itu semua sudah diklarifikasi tapi masih ada respons yang berbeda, jangan-jangan masih ada beda persepsi. Karena ini masalah eksistensi," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Dan mengenai polemik substansi, menurut Fikri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi lembaga yang cocok untuk menengahi Mendikbud dan NU. Karena, MUI menjadi wadah dari berbagai ormas Islam di Indonesia dan apa yang diperdebatkan selama ini menyangkut agama.
"Karena MUI juga merupakan mitra dari Kemenag jadi pas menengahi," imbuhnya.
Fikri menambahkan, ini merupakan persoalan miskomunikasi yang serius. Dan persoalan ini muncul antara pembantu presiden yang mengurusi pendidikan dengan ormas besar keagamaan. Jadi sebagai pimpinan menteri, Presiden relevan menjembatani bersama dengan MUI untuk meluruskan persoalan substansialnya.
"Kami juga mendesak agar Perpres (Peraturan Presiden) segera diterbitkan, dan malau Permendikbud 23/2017 bermasalah jangan langsung diterapkan. Sifatnya juga opsional bagi daerah dan sekolah tertentu. Kalau ada pemda yang menolak itu tidak akan dipermasalahkan Mendikbud," tandasnya.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu menjembatani kedua belah pihak untuk mengakhiri polemik tersebut.
"Menurut saya harus ada tokoh, lembaga atau pihak yang menjadi jembatan karena banyak miskomunikasi," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih kepada Koran SINDO di Jakarta, kemarin.
"Jadi gaya menteri yang menyampaikan ide yang belum jadi keputusan memang begitu, di sisi lain masyarakat sedang sensitif dengan banyak hal meskipun sudah diklarifikasi menteri baik lewat DPR maupun media," imbuhnya.
Fikri menjelaskan, selama ini NU mendesak agar kebijakan FDS dibatalkan padahal, Mendikbud sudah menjelaskan bahwa yang ada hanya kebijakan 5 hari sekolah. Kebijakan ini bertujuan untuk memenuhi guru yang tidak bisa sertifikasi lantaran jam mengajar yang kurang.
Bahkan, Muhadjir di depan DPR menegaskan, bahwa dirinya dosa besar jika sedikit saja memiliki niatan menutup Madrasah Diniyah karena memahami bahwa itu sarana untuk pendidikan karakter.
Bahkan, lanjutnya, Muhadjir juga menjelaskan bahwa guru sekolah yang mengantarkan muridnya ke lembaga pendidikan karakter seperti Madrasah Diniyah, museum, kuil dan lembaga lainnya akan dihitung sebagai tugas mengajar.
Sehingga, semua variabel bisa terpenuhi. Saat rapat terakhir pada akhir Juli lalu, Komisi X juga meminta agar Mendikbud melakukan kerja sama dengan Madrasah Diniyah agar bisa mengucurkan anggarannya.
"Kita desak juga, meskipun itu kewenangan Menteri Agama. Jadi itu semua sudah diklarifikasi tapi masih ada respons yang berbeda, jangan-jangan masih ada beda persepsi. Karena ini masalah eksistensi," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Dan mengenai polemik substansi, menurut Fikri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi lembaga yang cocok untuk menengahi Mendikbud dan NU. Karena, MUI menjadi wadah dari berbagai ormas Islam di Indonesia dan apa yang diperdebatkan selama ini menyangkut agama.
"Karena MUI juga merupakan mitra dari Kemenag jadi pas menengahi," imbuhnya.
Fikri menambahkan, ini merupakan persoalan miskomunikasi yang serius. Dan persoalan ini muncul antara pembantu presiden yang mengurusi pendidikan dengan ormas besar keagamaan. Jadi sebagai pimpinan menteri, Presiden relevan menjembatani bersama dengan MUI untuk meluruskan persoalan substansialnya.
"Kami juga mendesak agar Perpres (Peraturan Presiden) segera diterbitkan, dan malau Permendikbud 23/2017 bermasalah jangan langsung diterapkan. Sifatnya juga opsional bagi daerah dan sekolah tertentu. Kalau ada pemda yang menolak itu tidak akan dipermasalahkan Mendikbud," tandasnya.
(maf)