Mencetak Generasi Emas lewat Pendidikan Karakter

Kamis, 19 Oktober 2017 - 13:25 WIB
Mencetak Generasi Emas lewat Pendidikan Karakter
Mencetak Generasi Emas lewat Pendidikan Karakter
A A A
JAKARTA - Indonesia bercita-cita melahirkan generasi cemerlang yang mampu bersaing secara global. Jalan menuju cita-cita itu telah diretas, yakni dengan menerapkan pendidikan karakter kepada generasi muda.

Lewat pendidikan karakter, Indonesia berharap akan mencetak generasi emas pada 2045. Generasi emas adalah generasi yang diharapkan menjadi perintis perubahan dalam membentuk kehidupan dan peradaban bangsa yang lebih baik. Generasi emas yang dicita-citakan ini adalah generasi yang bermodalkan kecerdasan komprehensif, yakni produktif, inovatif, interaksi sosial yang baik, dan berperadaban unggul.

Cita-cita melahirkan Generasi Emas 2045 bukan rumusan tanpa perhitungan. Indonesia didukung dengan bonus demografi karena dalam rentang 2012-2035 jumlah penduduk usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua.

Pemerintah pun bergerak cepat. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 September 2017, program ini resmi berlaku. Dalam amanat perpres tersebut, setiap sekolah, baik negeri maupun swasta, memiliki hak sama untuk menerapkan program yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental di bidang pendidikan ini.

Lalu, apa urgensi pendidikan karakter kaitannya dengan generasi emas? Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Arie Budhiman menjelaskan, pendidikan karakter sangat penting dalam upaya membangun kualitas individu para calon generasi.

Pendidikan karakter akan menjadi jawaban atas dinamika perubahan masa depan sekaligus memberi bekal keterampilan yang dibutuhkan pada abad 21. Ada perbedaan mendasar antara model pendidikan yang berlaku sekarang dengan model PPK. Melalui PPK, sekolah tidak lagi mengharuskan siswanya terus menerus belajar di dalam kelas, tapi mendorong mereka menumbuhkembangkan karakter positifnya melalui kegiatan ko-kurikuler, ekstrakurikuler.

"Kita mengembalikan pendidikan karakter melalui harmonisasi sejumlah unsur, yakni olah hati yang menyangkut etik, olah rasa menyangkut estetik, olah pikir yang berkaitan dengan literasi, dan olahraga berkaitan dengan kinestetik," katanya.

(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
PPK bukan program yang muncul secara mendadak. Apa yang telah dirumuskan hari ini merupakan keberlanjutan dari pembahasan yang sudah mulai dikembangkan sejak 2010. Sebelum Perpres PPK terbit, kebijakan penerapan pendidikan karakter ini juga harus melewati jalan berliku yang disertai pro-kontra tajam di masyarakat. Sejumlah pihak, termasuk ormas keagamaan, menolak program yang sebelumnya familier dengan istilah full day school atau sekolah lima hari ini.

Kekhawatirannya, pendidikan agama siswa di madrasah yang diperoleh di luar jam sekolah akan terabaikan jika seluruh sekolah diwajibkan ikut program ini. Namun, Perpres 87/2017 menjawab semua kekhawatiran itu. Program PPK memang dinyatakan wajib diterapkan di semua sekolah, tapi pihak sekolah dan komite sekolah/madrasah tetap diberi pilihan, apakah ingin sekolah lima hari atau tetap enam hari seperti sebelumnya.

Mendikbud Muhadjir Effendy menjamin program PPK tidak akan mengubah kurikulum yang ada sebagaimana dikhawatirkan sebagian kalangan. Untuk menjelaskan apa itu PPK, dia lantas memerinci empat prinsip yang terkandung di dalamnya. Prinsip pertama, PPK adalah manajemen pendidikan berbasis sekolah. Manajemen ini memberikan tanggung jawab kepada sekolah untuk mengelola kegiatan belajar siswa, baik berlangsung di dalam kelas, lingkungan masyarakat, dan dalam keluarga. Intinya, konsep belajar anak diganti, tidak hanya belajar di kelas, melainkan juga konsep lain yang menyenangkan, yakni mencari ilmu di luar sekolah.

"Sekolah harus bertanggung jawab atas apa saja yang dipelajari siswanya. Tri pusat pendidikan itu (keluarga, masyarakat, dan sekolah) tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Harus saling terkait dan bersinergi," kata Mendikbud.

Prinsip kedua, PPK adalah merangsang metode atau cara belajar siswa aktif. Apa yang dulu dikenal dengan CBSA, Catat Buku Sampai Abis, ditumpas dengan PPK. Dengan program ini guru harus aktif memberi pelajaran yang mampu merangsang anak didik untuk bertanya. Dengan begitu model belajar-mengajar tidak lagi monoton satu arah.

Prinsip ketiga, kurikulum berbasis luas sehingga sumber belajar tidak terbatas hanya pada sekolah, buku, atau pun guru. Di sekitar sekolah terdapat berbagai sumber-sumber belajar yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Ke depan, penilaian siswa juga tidak lagi hanya berupa angka-angka dari intrakurikuler (mata pelajaran wajib) saja, tapi juga memiliki catatan perkembangan kepribadian. Kecerdasan siswa tidak lagi hanya diukur dari capaian akademik, melainkan bentuk kecerdasan lainnya. Mendikbud sangat berharap agar setiap siswa setelah lulus pendidikan menengah juga memiliki semacam portofolio yang dihimpun dari rekaman kepribadian itu. Contohnya, jika anak di madrasah diniyah telah berhasil menyelesaikan juz amma, pencapaian itu haruslah dicatat oleh guru dalam rekam kepribadiannya.

Prinsip keempat yang dikedepankan dalam penerapan PPK adalah individualisasi setiap peserta didik. Guru perlu membantu setiap anak untuk mengaktualkan potensi diri yang dimilikinya. Pengamat Pendidikan Abad 21, Indra Charismiadji berpendapat, pendidikan karakter sangat penting bagi bangsa ini. Bahkan, pada masa awal Indonesia berdiri, Presiden Soekarno sudah getol menyuarakan pentingnya pendidikan karakter.

“Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa lemahnya karakter membuat kita mudah diadu domba dan dimanfaatkan oleh bangsa atau kelompok tertentu. Sampai sekarang problem itu masih sangat kental,” ungkapnya.

Indra memandang pendidikan karakter memang sangat penting dalam abad 21. Mengapa penting, sebab keterampilan abad 21 isinya lebih banyak ke hal bersifat pembentukan karakter. Misalnya, bagaimana generasi kritis dalam berpikir, kreatif, komunikatif, dan juga kolaboratif. Metode pendidikan yang sudah populer di berbagai negara, STEM (Science, Technology, Engineering, and Math) mesti diterapkan di Indonesia jika mau mengejar target generasi emas yang dicanangkan pemerintah.

Lalu, apakah PPK yang saat ini dikembangkan akan mampu menjawab masalah itu, dia menyebut ada sejumlah tantangan yang bakal dihadapi. PPK menurut dia, masih menjadi program Kemendikbud, sedangkan lembaga ini tidak mempunyai otoritas menjalankan program. Dampaknya, PPK bisa jadi sangat sulit dijalankan jika ada daerah ataupun sekolah dengan otonomi daerahnya memilih untuk tidak menjalankan.

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih menyambut baik Perpres PPK karena mengatur ketentuan sekolah bekerja sama dengan madrasah diniyah awaliyah (MDA). "Jadi sangat menghargai kearifan lokal," katanya.

Namun, dia meminta agar konsep pendidikan karakter ini lebih dimatangkan dengan mem-breakdown kebijakannya secara lebih rinci dan sistematis. Selain itu, juga perlu ada evaluasi berkala dalam penerapan kebijakan ini dengan terus meningkatkan kepesertaan daerah dalam pengambilan keputusan. Komisi X DPR juga siap terus mendukung pemerintah dengan menaikkan anggaran pendidikan dari Rp39 triliun menjadi Rp40,09 triliun dalam RAPBN 2018 yang mana di dalamnya termasuk untuk program PPK.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8076 seconds (0.1#10.140)