Izin Operasi Perguruan Tinggi Asing Harus Dibatasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah RI perlu memberikan batasan jika akan memberikan izin operasi perguruan tinggi (PT) asing di Indonesia.
Salah satunya izin pendirian PT hanya untuk kampus berbasis riset, bukan sekadar mencari mahasiswa. Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saipuddin kemarin. Dia juga menegaskan, penempatan kampus asing itu idealnya dilakukan di daerah perbatasan yang sumber daya alamnya belum teroptimalkan.
“Misalnya PT asing yang kuat integrated farming di NTT dan NTB sehingga PT itu harus investasi untuk inovasi, knowledge creation, serta mengajak PT lokal dan nasional untuk berkolaborasi,” kata Asep.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini juga meminta pihak-pihak yang merasa keberatan dengan wacana ini untuk berpikiran luas, yakni berpikir bahwa program ini adalah untuk keperluan nasional. Terlebih, jika pemerintah ingin masuknya PT asing sebagai grand design pendidikan tinggi berbasis Revolusi Industri 4.0 dan mengarahkan Indonesia menuju Knowledge Based Society.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman berpendapat, kebijakan tentang PT asing beroperasi di Indonesia memang bisa menjadi ancaman dan tantangan bagi kampus swasta dan negeri.
Terutama akan menjadi ancaman bagi perguruan tinggi yang kurang baik menjaga standar mutu dalam akses mahasiswa dan kepercayaan pemangku kepentingan pendidikan.
Namun, kebijakan ini juga akan tetap menjadi tantangan bagi perguruan tinggi bermutu. Sebab PT asing bisa menjadi mitra strategis dalam pengembangan prestasi dosen dan mahasiswa sekaligus meningkatkan kapasitas kampus. Selain itu, juga menjadi lawan latih bagi kampus dalam pengembangan mutu dan layanan yang berstandar internasional.
“Bukankah di era Revolusi Industri 4.0 perguruan tinggi perlu melakukan inovasi yang disrupsi untuk mendukung daya saing bangsa,” katanya. Dirjen Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo menambahkan, masuknya PT asing akan menangkap calon mahasiswa yang selama ini memilih kuliah ke luar negeri untuk tetap di Indonesia.
Misalnya, yang setiap tahunnya ada 80.000 orang menghabiskan uang untuk kuliah di Australia, maka nanti mereka bisa tetap di Indonesia dengan kuliah di kampus yang memiliki kualitas sama dengan di Australia. Sebelum itu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) menyatakan penolakannya terhadap rencana pendirian PT asing di Indonesia.
Ketua Aptisi Budi Djatmiko mengatakan, jika PT asing boleh dibuka di Indonesia, maka akan mematikan kampus swasta. Sebab PT asing akan memakan calon mahasiswa untuk PTS kelas atas. Lalu PTS kelas menengah yang kehilangan pasarnya akhirnya mengincar target mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) kecil hingga PTS kecil pun mati.
“Perguruan tinggi asing datang akan berdampak pada matinya PTS kecil. Yang besar akan memurahkan biaya. Nantimenengahjugaakanturun, lalu yang kecil juga hingga akhirnya mati,” katanya ketika dihubungi.
Budi sebetulnya tidak mempermasalahkan jika pemerintah mau membiarkan kampus swasta bersaing dengan kampus asing. Asalkan kampus swasta lokalnya harus diperkuat terlebih dahulu. Faktanya, pemerintah belum maksimal memperkuat dan membantu kampus swasta.
Karena itu, jika pemerintah mengizinkan PT asing beroperasi pada saat PTS-PTS di Indonesia belum kuat, maka akan membunuh PTS-PTS itu sendiri. Budi mengungkapkan, total bantuan pemerintah ke PTS baru7% dari total APBN. Jumlah 7% itu pun mesti dibagi lagi kepada 4.000 lebih PTS.
“Pemerintah belum membina sepenuh hati (PTS-PTS), tiba-tiba memberi kesempatan orang asing untuk beroperasi. Kami siap debat terbuka dengan pemerintah terkait hal ini,” katanya.
Dia menjelaskan, jika alasan pemerintah ingin meningkatkan kualitas, makabukan dengan cara mengizinkan beroperasinya PT asing.
Dia lebih memilih mengadopsi sistem kampus luar negeri yang bagus untuk diimplementasikan di Indonesia ketimbang mendirikan PT asing. “Atau undang sebanyak-banyaknya dosen dari kampus berkelas dunia untuk menjadi dosen tamu supaya ilmu terbaik bisa diserap di sini,” kata Budi.
Alasan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang rendah, yakni 30%, juga menurutnya tidak masuk akal. Dia mengungkapkan, kondisi itu karena memang masyarakat tidak mampu kuliah. Dengan begitu, jika mau PT asing masuk tanpa membunuh kampus lokal karena ketiadaan calon mahasiswa, maka APK-nya dinaikkan terlebih dahulu.
Jika APK tinggi, itu berarti jumlah masyarakat yang mau kuliah tinggi. “Jadi 70% nggak kuliah itu bukan bangkunya yang tidak ada. Ini karena mereka tidak mampu beli,” katanya. (Neneng Zubaidah)
Salah satunya izin pendirian PT hanya untuk kampus berbasis riset, bukan sekadar mencari mahasiswa. Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saipuddin kemarin. Dia juga menegaskan, penempatan kampus asing itu idealnya dilakukan di daerah perbatasan yang sumber daya alamnya belum teroptimalkan.
“Misalnya PT asing yang kuat integrated farming di NTT dan NTB sehingga PT itu harus investasi untuk inovasi, knowledge creation, serta mengajak PT lokal dan nasional untuk berkolaborasi,” kata Asep.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini juga meminta pihak-pihak yang merasa keberatan dengan wacana ini untuk berpikiran luas, yakni berpikir bahwa program ini adalah untuk keperluan nasional. Terlebih, jika pemerintah ingin masuknya PT asing sebagai grand design pendidikan tinggi berbasis Revolusi Industri 4.0 dan mengarahkan Indonesia menuju Knowledge Based Society.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman berpendapat, kebijakan tentang PT asing beroperasi di Indonesia memang bisa menjadi ancaman dan tantangan bagi kampus swasta dan negeri.
Terutama akan menjadi ancaman bagi perguruan tinggi yang kurang baik menjaga standar mutu dalam akses mahasiswa dan kepercayaan pemangku kepentingan pendidikan.
Namun, kebijakan ini juga akan tetap menjadi tantangan bagi perguruan tinggi bermutu. Sebab PT asing bisa menjadi mitra strategis dalam pengembangan prestasi dosen dan mahasiswa sekaligus meningkatkan kapasitas kampus. Selain itu, juga menjadi lawan latih bagi kampus dalam pengembangan mutu dan layanan yang berstandar internasional.
“Bukankah di era Revolusi Industri 4.0 perguruan tinggi perlu melakukan inovasi yang disrupsi untuk mendukung daya saing bangsa,” katanya. Dirjen Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo menambahkan, masuknya PT asing akan menangkap calon mahasiswa yang selama ini memilih kuliah ke luar negeri untuk tetap di Indonesia.
Misalnya, yang setiap tahunnya ada 80.000 orang menghabiskan uang untuk kuliah di Australia, maka nanti mereka bisa tetap di Indonesia dengan kuliah di kampus yang memiliki kualitas sama dengan di Australia. Sebelum itu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) menyatakan penolakannya terhadap rencana pendirian PT asing di Indonesia.
Ketua Aptisi Budi Djatmiko mengatakan, jika PT asing boleh dibuka di Indonesia, maka akan mematikan kampus swasta. Sebab PT asing akan memakan calon mahasiswa untuk PTS kelas atas. Lalu PTS kelas menengah yang kehilangan pasarnya akhirnya mengincar target mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) kecil hingga PTS kecil pun mati.
“Perguruan tinggi asing datang akan berdampak pada matinya PTS kecil. Yang besar akan memurahkan biaya. Nantimenengahjugaakanturun, lalu yang kecil juga hingga akhirnya mati,” katanya ketika dihubungi.
Budi sebetulnya tidak mempermasalahkan jika pemerintah mau membiarkan kampus swasta bersaing dengan kampus asing. Asalkan kampus swasta lokalnya harus diperkuat terlebih dahulu. Faktanya, pemerintah belum maksimal memperkuat dan membantu kampus swasta.
Karena itu, jika pemerintah mengizinkan PT asing beroperasi pada saat PTS-PTS di Indonesia belum kuat, maka akan membunuh PTS-PTS itu sendiri. Budi mengungkapkan, total bantuan pemerintah ke PTS baru7% dari total APBN. Jumlah 7% itu pun mesti dibagi lagi kepada 4.000 lebih PTS.
“Pemerintah belum membina sepenuh hati (PTS-PTS), tiba-tiba memberi kesempatan orang asing untuk beroperasi. Kami siap debat terbuka dengan pemerintah terkait hal ini,” katanya.
Dia menjelaskan, jika alasan pemerintah ingin meningkatkan kualitas, makabukan dengan cara mengizinkan beroperasinya PT asing.
Dia lebih memilih mengadopsi sistem kampus luar negeri yang bagus untuk diimplementasikan di Indonesia ketimbang mendirikan PT asing. “Atau undang sebanyak-banyaknya dosen dari kampus berkelas dunia untuk menjadi dosen tamu supaya ilmu terbaik bisa diserap di sini,” kata Budi.
Alasan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang rendah, yakni 30%, juga menurutnya tidak masuk akal. Dia mengungkapkan, kondisi itu karena memang masyarakat tidak mampu kuliah. Dengan begitu, jika mau PT asing masuk tanpa membunuh kampus lokal karena ketiadaan calon mahasiswa, maka APK-nya dinaikkan terlebih dahulu.
Jika APK tinggi, itu berarti jumlah masyarakat yang mau kuliah tinggi. “Jadi 70% nggak kuliah itu bukan bangkunya yang tidak ada. Ini karena mereka tidak mampu beli,” katanya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)