568.171 Siswa Paket Terancam Drop-out
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 568.171 siswa sekolah paket terancam berhenti sekolah (drop-out). Penyebabnya mereka tidak mendapat bantuan operasional yang menunjang berjalannya sekolah.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wartanto mengatakan, 568.171 siswa paket A, B, dan C ini awalnya tidak bersekolah.
Namun, mereka direkrut oleh pemerintah pusat untuk disekolahkan di sekolah paket sejak 2017. Masalah terjadi ketika mereka mendapat biaya pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP), namun lembaga pendidikannya kesulitan beroperasi lantaran tidak mendapat bantuan operasional pendidikan (BOP).
“Yang jadi masalah PIP dapat, tapi BOP tidak dapat, sehingga lembaga pendidikan nonformal khususnya pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) berteriak. Sudah direkrut, tapi biaya pembelajarannya tidak ada,” katanya di Kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.
Wartanto mengatakan, Kemendikbud sudah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan agar BOP itu bisa diadakan. Dia menjelaskan, usulan anggaran bantuan operasional bagi lembaga pendidikan nonformal ini Rp500 miliar sehingga per anak bisa mendapat satuan biaya Rp750.000 hingga Rp1,5 juta per tahun.
Jika dirinci, total 568.171 siswa usia sekolah yang tidak bersekolah ini terbagi atas siswa paket A 69.905 siswa, paket B 242.004, dan paket C 256.262 siswa yang seharusnya masuk PIP 498.266.
Sedangkan total siswa paket kesetaraan yang mencakup siswa berusia di atas 21 tahun untuk Paket A sebanyak 177.264, Paket B 441.021 orang, dan Paket C 433.308 siswa.
Siswa ber usia di atas 21 tahun tidak mendapat KIP. Menurut Wartanto, jika tidak ada bantuan operasional, siswa paket ini kemungkinan terancam berhenti dari PKBM dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Total PKBM sebanyak 11.000 unit, sementara SKB ada 311 unit.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, pemerintah harus memberikan bantuan biaya bagi siswa dan lembaga pendidikan nonformal ini.
Dia berpendapat tidak ada BOP ini karena kurangnya kementerian dalam menarasikan kebutuhan anggaran pada forum trilateral meeting, terutama kepada Kemenkeu. (Neneng Zubaidah)
Sekretaris Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wartanto mengatakan, 568.171 siswa paket A, B, dan C ini awalnya tidak bersekolah.
Namun, mereka direkrut oleh pemerintah pusat untuk disekolahkan di sekolah paket sejak 2017. Masalah terjadi ketika mereka mendapat biaya pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP), namun lembaga pendidikannya kesulitan beroperasi lantaran tidak mendapat bantuan operasional pendidikan (BOP).
“Yang jadi masalah PIP dapat, tapi BOP tidak dapat, sehingga lembaga pendidikan nonformal khususnya pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) berteriak. Sudah direkrut, tapi biaya pembelajarannya tidak ada,” katanya di Kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.
Wartanto mengatakan, Kemendikbud sudah berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan agar BOP itu bisa diadakan. Dia menjelaskan, usulan anggaran bantuan operasional bagi lembaga pendidikan nonformal ini Rp500 miliar sehingga per anak bisa mendapat satuan biaya Rp750.000 hingga Rp1,5 juta per tahun.
Jika dirinci, total 568.171 siswa usia sekolah yang tidak bersekolah ini terbagi atas siswa paket A 69.905 siswa, paket B 242.004, dan paket C 256.262 siswa yang seharusnya masuk PIP 498.266.
Sedangkan total siswa paket kesetaraan yang mencakup siswa berusia di atas 21 tahun untuk Paket A sebanyak 177.264, Paket B 441.021 orang, dan Paket C 433.308 siswa.
Siswa ber usia di atas 21 tahun tidak mendapat KIP. Menurut Wartanto, jika tidak ada bantuan operasional, siswa paket ini kemungkinan terancam berhenti dari PKBM dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Total PKBM sebanyak 11.000 unit, sementara SKB ada 311 unit.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, pemerintah harus memberikan bantuan biaya bagi siswa dan lembaga pendidikan nonformal ini.
Dia berpendapat tidak ada BOP ini karena kurangnya kementerian dalam menarasikan kebutuhan anggaran pada forum trilateral meeting, terutama kepada Kemenkeu. (Neneng Zubaidah)
(nfl)