GMNI Berharap Kampus Jadi Tempat Ramah untuk Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Menyambut Internasional Women’s Day, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mendukung Kebijakan Three Ends yang digagas oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kebijakan Three Ends sendiri memfokuskan pada tiga hal yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, mengakhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.
DPP GMNI juga melihat adanya sebuah Sistem patriarkhi juga masih menguasai masyarakat kampus sehingga masih diskriminatif terhadap perempuan baik di kalangan dosen maupun mahasiswi.
Menurut ketua bidang pergerakan sarinah dan perlindungan anak DPP GMNI, Dia Puspitasari, akan merencanakan program berkelanjutan untuk membantu dalam permasalahan perempuan di lembaga pendidikan khususnya di kampus.
Hal tersebut dinamai dengan Program "Kampus Ramah Perempuan" (KRP) untuk membantu KPPA dalam menyelesaikan permasalahan perempuan khususnya di tataran kampus.
"Sebenarnya, latar belakang program 'Kampus Ramah Perempuan' atau KRP ini adalah
karena kondisi kampus yang belum berpihak pada kebutuhan dan kepentingan perempuan,"
ungkapnya, Kamis (8/3/2018).
Dia juga menambahkan bahwa Kampus Ramah Perempuan (KRP) ini digagas dengan orientasi bahwa dunia pendidikan harus peka dan responsive terhadap permasalahan perempuan.
"Oleh sebab itu, permasalahan perempuan hari ini harus menjadi tanggung jawab bersama antara negara termasuk kampus dan masyarakat," tegasnya
Untuk itu, KRP bisa dimulai dengan menghilangkan kekerasan verbal maupun tindakan-tindakan yang mencerminkan stereotype terhadap perempuan terutama oleh dosen saat proses perkuliahan.
"Selanjutnya, kita melihat masih adanya proses marginalisasi terhadap pedagang perempuan (PKL) yang dilarang berjualan di kampus. Adapun alasan perempuan tidak boleh bekerja terlalu malam, dan ini tentu merugikan perempuan terutama yang menjadi breadwinner (pencari nafkah utama) di keluarga. Sepatutnya kampus tidak boleh melakukan pemiskinan perempuan berdasar asumsi yang sterotipe," ujarnya
Dia Puspitasari menjelaskan, bahwa fenomena marginalisasi dan diskriminasi serta pemiskinan perempuan ini tentu tidak sesuai dengan Tri Dharma PT. Oleh sebab itu, Program KRP harus dihadirkan dengan mengintegrasikan perspektif pro gender equality dalam management kampus. Dimulai dari pembenahan kurikulum (content), struktur (organisasi) hingga budaya yang ramah perempuan.
"Lebih lanjut adanya sebuah masalah Subordinasi terhadap perempuan juga masalah serius di kampus. Hal ini bisa kita lihat dari struktur kepemimpinan di kampus. Ada dominasi laki-laki di struktur kepemimpinan baik di organisasi kampus maupun kemahasiswaan. Hanya ada 5 rektor perempuan di antara ratusan PTN Indonesia," tutupnya.
Kebijakan Three Ends sendiri memfokuskan pada tiga hal yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, mengakhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.
DPP GMNI juga melihat adanya sebuah Sistem patriarkhi juga masih menguasai masyarakat kampus sehingga masih diskriminatif terhadap perempuan baik di kalangan dosen maupun mahasiswi.
Menurut ketua bidang pergerakan sarinah dan perlindungan anak DPP GMNI, Dia Puspitasari, akan merencanakan program berkelanjutan untuk membantu dalam permasalahan perempuan di lembaga pendidikan khususnya di kampus.
Hal tersebut dinamai dengan Program "Kampus Ramah Perempuan" (KRP) untuk membantu KPPA dalam menyelesaikan permasalahan perempuan khususnya di tataran kampus.
"Sebenarnya, latar belakang program 'Kampus Ramah Perempuan' atau KRP ini adalah
karena kondisi kampus yang belum berpihak pada kebutuhan dan kepentingan perempuan,"
ungkapnya, Kamis (8/3/2018).
Dia juga menambahkan bahwa Kampus Ramah Perempuan (KRP) ini digagas dengan orientasi bahwa dunia pendidikan harus peka dan responsive terhadap permasalahan perempuan.
"Oleh sebab itu, permasalahan perempuan hari ini harus menjadi tanggung jawab bersama antara negara termasuk kampus dan masyarakat," tegasnya
Untuk itu, KRP bisa dimulai dengan menghilangkan kekerasan verbal maupun tindakan-tindakan yang mencerminkan stereotype terhadap perempuan terutama oleh dosen saat proses perkuliahan.
"Selanjutnya, kita melihat masih adanya proses marginalisasi terhadap pedagang perempuan (PKL) yang dilarang berjualan di kampus. Adapun alasan perempuan tidak boleh bekerja terlalu malam, dan ini tentu merugikan perempuan terutama yang menjadi breadwinner (pencari nafkah utama) di keluarga. Sepatutnya kampus tidak boleh melakukan pemiskinan perempuan berdasar asumsi yang sterotipe," ujarnya
Dia Puspitasari menjelaskan, bahwa fenomena marginalisasi dan diskriminasi serta pemiskinan perempuan ini tentu tidak sesuai dengan Tri Dharma PT. Oleh sebab itu, Program KRP harus dihadirkan dengan mengintegrasikan perspektif pro gender equality dalam management kampus. Dimulai dari pembenahan kurikulum (content), struktur (organisasi) hingga budaya yang ramah perempuan.
"Lebih lanjut adanya sebuah masalah Subordinasi terhadap perempuan juga masalah serius di kampus. Hal ini bisa kita lihat dari struktur kepemimpinan di kampus. Ada dominasi laki-laki di struktur kepemimpinan baik di organisasi kampus maupun kemahasiswaan. Hanya ada 5 rektor perempuan di antara ratusan PTN Indonesia," tutupnya.
(maf)