Student Loan Bantu Raih S-2 dan S-3
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat yang ingin melanjutkan studi ke jenjang pendidikan program master (S-2) atau doktor (S-3) sekarang tidak perlu pusing soal pendanaan.
Melalui Undang-Undang Nomor 12/2012 Pasal 76 butir 2 (c) tentang Pinjaman Dana Tanpa Bunga, mereka bisa meminjam uang kuliah (student loan) ke perbankan. Pinjaman melalui bank ini bervariasi antara tanpa bunga hingga keringanan bunga 4-5% bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan hingga ke tingkat S-2 dan S-3.
Program ini di luncurkan Kementrerian Riset, Tekno logi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) beberapa waktu lalu. Pinjaman yang disebut sebagai student loan ini meski baru menyasar calon mahasiswa S-2 dan S-3 dinilai telah menjadi gebrakan baru di dunia pendidikan.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti Intan Ahmad mengungkapkan, langkah pemerintah yang ingin membantu meringankan beban mahasiswa harus digarap secara serius dan penuh dengan kehati-hatian. Karena bagaimanapun pinjaman ini menurutnya menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi mahasiswa.
Dia berharap mahasiswa selaku debitor dapat konsisten dalam menyelesaikan studinya dan melunasi pinjaman di waktu yang tepat.
“Semua itu (student loan) tergantung pada ketentuan dari bank apakah memberi tawaran yang disetujui calon mahasiswa atau tidak. Karena pada dasarnya program ini sama halnya untuk melatih jiwa kewirausahaan seseorang, karena orang yang meminjam untuk usaha modal itu akan berusaha dapat mengembalikan pinjamannya tepat waktu,” ujar Intan kepada KORAN SINDO.
Menurut dia, untuk pinjaman bank yang memungut bunga, mahasiswa dapat memanfaatkan pinjaman dengan terlebih dulu melihat tawaran berapa persen biaya bunga yang dibebankan.
Hal itu harus diperhitungkan dengan matang agar tidak mengganggu penghasilan yang didapatkan setiap bulan mengingat mahasiswa S-2 dan S-3 umumnya adalah para pekerja.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Yomanius Untung menilai, kebijakan student loan akan sangat membantu mahasiswa karena mahasiswa yang tengah mengejar gelar master dan doktor membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menyelesaikan studi.
Selain meringankan beban mahasiswa, kata Untung, kebijakan itu pun diyakininya mampu mendongkrak angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi (PT) di Jabar. Untung optimistis, kebijakan tersebut mampu meningkatkan APK PT Jabar hingga 25% dari APK PT saat ini yang hanya 21%.
Pihaknya pun berharap, Bank Jabar Banten (Bank BJB) sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi Jabar, termasuk bank-bank lainnya, segera mengucur kan kredit serupa bagi para mahasiswa di Jabar.
Untung juga yakin, Bank BJB dan bank-bank lain akan segera mengucurkan student loan . “Kalau itu sudah menjadi instruksi Presiden, saya kira bakal banyak bank yang memberikan kredit bagi mahasiswa. Apalagi dana bank juga kan bersumber dari uang rakyat,” jelasnya.
Disinggung apakah program serupa dibutuhkan para mahasiswa S-1 di Jabar, Untung mengatakan, untuk saat ini mahasiswa S-1 masih terbantu oleh berbagai program beasiswa, baik yang diberikan Pemerintah Provinsi Jabar, pemerintah kabupaten/kota maupun kementerian.
Terlebih beasiswa bagi mahasiswa S-1 tersebut umumnya terus-menerus diberikan hingga mahasiswa yang bersangkutan menyelesaikan studinya.
Sementara itu Direktur Utama Bank BRI Suprajarto mengatakan, adanya produk kredit pendidikan dari BRI berupa Briguna diharapkan dapat mendorong perilaku kredit konsumtif mulai berpindah ke hal-hal yang bersifat produktif seperti pendidikan. “Melalui fasilitas ini kami juga menunjukkan komitmen untuk mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia,” tuturnya.
Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia Arman Nefi setuju dengan konsep dan tujuan pinjaman biaya kuliah. Baginya program ini harus didukung dengan memperhatikan ketentuan dan harus jelas. Yang terpenting menurut dia, pinjaman pendidikan ini jangan sampai memberatkan mahasiswa. Arman melihat, di negara maju sudah cukup baik walaupun tetap ada catatan kekurangannya.
Pemerintah dapat mencontoh program yang sukses di negara maju. “Di negara maju program seperti ini sudah dapat diterapkan karena aturannya sudah stabil dan kesadaran masyarakat di negara-negara maju tentang pendidikan itu dinilai sebagai salah satu bentuk investasi SDM jangka panjang,“ jelasnya.
Program seperti ini menurut Amran juga belum tentu menarik bagi mahasiswa zaman sekarang. Ia menggambarkan pengalaman beberapa waktu lalu di saat pemerintah melalui perbankan nasional memberikan kucuran pinjaman pendidikan dengan beban bunga rendah.
Namun sayangnya mahasiswa lebih memilih untuk mencari program beasiswa sehingga mereka tidak terbebani dengan kewajiban pengembalian uang kuliah. “Kalau pemerintah konsisten melaksanakan program ini, apalagi dengan bunga 0% atau bunga yang sangat rendah sekali, kemungkinan program student loan akan berkembang. Tapi petanyaan sebaliknya adalah, apakah program ini menarik untuk dunia perbankan,” tutur Amran.
Butuh Aturan Jelas
Rektor Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan, program seperti ini membutuhkan skema yang jelas. Dia mengaku saat ini masih menunggu bagaimana skema dari pemerintah dan bank, apakah mahasiswa langsung mengajukan pinjaman ke bank atau pinjaman calon mahasiswa akan dijamin sepenuhnya oleh pemerintah.
Termasuk di antaranya dengan persyaratan ijazah mahasiswa yang akan disimpan di bank atau universitas selama proses cicilan berlangsung. Mantan staf khusus presiden itu mengaku lebih memilih beasiswa diperbanyak daripada sistem student loan ke bank.
Terlebih lagi bank memberikan bunga komersial yang memberatkan mahasiswa yang baru lulus dan belum men dapat kan penghasilan yang baik dan layak. “Tentu saja ke depan masalah ini kemungkinan akan ada perbedaan antara program studi (prodi) yang punya peluang lapangan kerja tinggi, lebih murah dibanding dengan prodi filsafat atau agama,” ungkapnya.
Selain beasiswa, kerja sama dengan perusahaan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat yang ingin melanjutkan studi, tetapi terkendala biaya. Menurutnya banyak kampus dan pihak swasta yang memiliki kategori dan tawaran untuk program beasiswa, contohnya di Universitas Paramadina yang beberapa mahasiswanya hanya bayar uang kuliah 25%.
Adapun selebihnya biaya kuliah ditanggung perusahaan terkait yang memberikan beasiswa, tetapi yang bersangkutan tetap terikat dengan perusahaan tersebut sampai kuliah selesai.
“Semua gagasan untuk student loan tentunya bagus, tapi kalau jadi program nasional saya merasa masih banyak cara lain. Corporate social responsbility perusahaan dapat dimobilisasi untuk memberi kemudahan bagi anak bangsa yang ingin kuliah,” tambahnya. (Ananda Nararya/ Agung Bakti Sarasa)
Melalui Undang-Undang Nomor 12/2012 Pasal 76 butir 2 (c) tentang Pinjaman Dana Tanpa Bunga, mereka bisa meminjam uang kuliah (student loan) ke perbankan. Pinjaman melalui bank ini bervariasi antara tanpa bunga hingga keringanan bunga 4-5% bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan hingga ke tingkat S-2 dan S-3.
Program ini di luncurkan Kementrerian Riset, Tekno logi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) beberapa waktu lalu. Pinjaman yang disebut sebagai student loan ini meski baru menyasar calon mahasiswa S-2 dan S-3 dinilai telah menjadi gebrakan baru di dunia pendidikan.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti Intan Ahmad mengungkapkan, langkah pemerintah yang ingin membantu meringankan beban mahasiswa harus digarap secara serius dan penuh dengan kehati-hatian. Karena bagaimanapun pinjaman ini menurutnya menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi mahasiswa.
Dia berharap mahasiswa selaku debitor dapat konsisten dalam menyelesaikan studinya dan melunasi pinjaman di waktu yang tepat.
“Semua itu (student loan) tergantung pada ketentuan dari bank apakah memberi tawaran yang disetujui calon mahasiswa atau tidak. Karena pada dasarnya program ini sama halnya untuk melatih jiwa kewirausahaan seseorang, karena orang yang meminjam untuk usaha modal itu akan berusaha dapat mengembalikan pinjamannya tepat waktu,” ujar Intan kepada KORAN SINDO.
Menurut dia, untuk pinjaman bank yang memungut bunga, mahasiswa dapat memanfaatkan pinjaman dengan terlebih dulu melihat tawaran berapa persen biaya bunga yang dibebankan.
Hal itu harus diperhitungkan dengan matang agar tidak mengganggu penghasilan yang didapatkan setiap bulan mengingat mahasiswa S-2 dan S-3 umumnya adalah para pekerja.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Yomanius Untung menilai, kebijakan student loan akan sangat membantu mahasiswa karena mahasiswa yang tengah mengejar gelar master dan doktor membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menyelesaikan studi.
Selain meringankan beban mahasiswa, kata Untung, kebijakan itu pun diyakininya mampu mendongkrak angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi (PT) di Jabar. Untung optimistis, kebijakan tersebut mampu meningkatkan APK PT Jabar hingga 25% dari APK PT saat ini yang hanya 21%.
Pihaknya pun berharap, Bank Jabar Banten (Bank BJB) sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi Jabar, termasuk bank-bank lainnya, segera mengucur kan kredit serupa bagi para mahasiswa di Jabar.
Untung juga yakin, Bank BJB dan bank-bank lain akan segera mengucurkan student loan . “Kalau itu sudah menjadi instruksi Presiden, saya kira bakal banyak bank yang memberikan kredit bagi mahasiswa. Apalagi dana bank juga kan bersumber dari uang rakyat,” jelasnya.
Disinggung apakah program serupa dibutuhkan para mahasiswa S-1 di Jabar, Untung mengatakan, untuk saat ini mahasiswa S-1 masih terbantu oleh berbagai program beasiswa, baik yang diberikan Pemerintah Provinsi Jabar, pemerintah kabupaten/kota maupun kementerian.
Terlebih beasiswa bagi mahasiswa S-1 tersebut umumnya terus-menerus diberikan hingga mahasiswa yang bersangkutan menyelesaikan studinya.
Sementara itu Direktur Utama Bank BRI Suprajarto mengatakan, adanya produk kredit pendidikan dari BRI berupa Briguna diharapkan dapat mendorong perilaku kredit konsumtif mulai berpindah ke hal-hal yang bersifat produktif seperti pendidikan. “Melalui fasilitas ini kami juga menunjukkan komitmen untuk mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia,” tuturnya.
Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia Arman Nefi setuju dengan konsep dan tujuan pinjaman biaya kuliah. Baginya program ini harus didukung dengan memperhatikan ketentuan dan harus jelas. Yang terpenting menurut dia, pinjaman pendidikan ini jangan sampai memberatkan mahasiswa. Arman melihat, di negara maju sudah cukup baik walaupun tetap ada catatan kekurangannya.
Pemerintah dapat mencontoh program yang sukses di negara maju. “Di negara maju program seperti ini sudah dapat diterapkan karena aturannya sudah stabil dan kesadaran masyarakat di negara-negara maju tentang pendidikan itu dinilai sebagai salah satu bentuk investasi SDM jangka panjang,“ jelasnya.
Program seperti ini menurut Amran juga belum tentu menarik bagi mahasiswa zaman sekarang. Ia menggambarkan pengalaman beberapa waktu lalu di saat pemerintah melalui perbankan nasional memberikan kucuran pinjaman pendidikan dengan beban bunga rendah.
Namun sayangnya mahasiswa lebih memilih untuk mencari program beasiswa sehingga mereka tidak terbebani dengan kewajiban pengembalian uang kuliah. “Kalau pemerintah konsisten melaksanakan program ini, apalagi dengan bunga 0% atau bunga yang sangat rendah sekali, kemungkinan program student loan akan berkembang. Tapi petanyaan sebaliknya adalah, apakah program ini menarik untuk dunia perbankan,” tutur Amran.
Butuh Aturan Jelas
Rektor Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan, program seperti ini membutuhkan skema yang jelas. Dia mengaku saat ini masih menunggu bagaimana skema dari pemerintah dan bank, apakah mahasiswa langsung mengajukan pinjaman ke bank atau pinjaman calon mahasiswa akan dijamin sepenuhnya oleh pemerintah.
Termasuk di antaranya dengan persyaratan ijazah mahasiswa yang akan disimpan di bank atau universitas selama proses cicilan berlangsung. Mantan staf khusus presiden itu mengaku lebih memilih beasiswa diperbanyak daripada sistem student loan ke bank.
Terlebih lagi bank memberikan bunga komersial yang memberatkan mahasiswa yang baru lulus dan belum men dapat kan penghasilan yang baik dan layak. “Tentu saja ke depan masalah ini kemungkinan akan ada perbedaan antara program studi (prodi) yang punya peluang lapangan kerja tinggi, lebih murah dibanding dengan prodi filsafat atau agama,” ungkapnya.
Selain beasiswa, kerja sama dengan perusahaan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat yang ingin melanjutkan studi, tetapi terkendala biaya. Menurutnya banyak kampus dan pihak swasta yang memiliki kategori dan tawaran untuk program beasiswa, contohnya di Universitas Paramadina yang beberapa mahasiswanya hanya bayar uang kuliah 25%.
Adapun selebihnya biaya kuliah ditanggung perusahaan terkait yang memberikan beasiswa, tetapi yang bersangkutan tetap terikat dengan perusahaan tersebut sampai kuliah selesai.
“Semua gagasan untuk student loan tentunya bagus, tapi kalau jadi program nasional saya merasa masih banyak cara lain. Corporate social responsbility perusahaan dapat dimobilisasi untuk memberi kemudahan bagi anak bangsa yang ingin kuliah,” tambahnya. (Ananda Nararya/ Agung Bakti Sarasa)
(nfl)