Institut Berstandar Swiss, Sentuhan Kekeluargaan ala Indonesia
A
A
A
GERIMIS jatuh perlahan di Kastanienbaum, desa kecil di tepi Danau Lucerne. Hawa dingin juga enggan berlalu meskipun April adalah pertanda datangnya musim semi. Tapi grussige Wetter, cuaca yang membuat orang lebih suka meringkuk di tempat tidur sepanjang hari, tidak membuat antusias Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman Darmansyah Hadad lenyap.
Sebaliknya dubes yang baru bertugas di Heidiland itu, tekun mengikuti penjelasan Presiden Direktur International Management Institute (IMI/ Sekolah Tinggi Manajemen Perhotelan Swiss) Heinz Buerki. Di belakang Heinz dan Muliaman, terdapat puluhan mahasiswa IMI, sekelompok masyarakat Indonesia dan juga Wendradi Dodi Sarah Bey, istri Muliaman.
Heinz mengenakan baju batik lengan panjang kuning emas, juga ditemani istri, serta anak, menantu hingga cucu. “IMI bukan hanya sekolah perhotelan biasa, ada sentuhan kekeluargaan, dan pembentukan kepribadian,“ tutur Heinz, ketika KORAN SINDO menyinggung ikut sertanya semua keluarga besarnya dalam acara dinas.
Semua sekolah perhotelan di Swiss, kata Heinz, hampir sama kurikulumnya. IMI, imbuhnya, di tengah persaingan ketat itu, harus memiliki keunggulan. “Karena sekolah ini masih dimiliki keluarga, maka sentuhan kekeluargaan juga penting,“ katanya.
Blusukan di IMI, Muliaman tak hanya disuguhi informasi faktual, tapi juga pemandangan khas Swiss. Pilatus dan Rigi, dua gunung di Swiss Tengah, bisa dipandang sepuasnya dari ruang makan, kamar kos, hingga ruang kelas IMI. Danau Lucerne hanya selemparan batu jaraknya. Habis penat belajar, bisa berenang di danau terbesar keempat di Swiss itu. Dodi Sarah Bey, sesekali memainkan ponselnya, memotret keindahan alam Swiss dari balik jendela.
“Institusi semacam ini penting untuk Indonesia, karena di sana sedang digalakkan kampanye sepuluh Bali baru,“ kata Muliaman. Tentu, jika resort semacam Lombok, Yogyakarta, Tanjung Lesung, atau Manado berlajan lancar, dibutuhkan tenaga profesional.
IMI merupakan salah satu Sekolah Tinggi Perhotelan di Swiss, di antara belasan lembaga yang sama di Swiss. Keunikannya adalah masih dimiliki keluarga Buerki, sementara sekolah serupa yang lain, sudah dikuasai konsorsium internasional. “Jika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan, kami membantunya secara personal, tidak hanya dipandang sebagai hubungan antara sekolah dan siswa,“ kata Ferry Firmansyah, salah satu Direktur IMI yang berkebangsaan Indonesia.
Heinz Buerki sendiri menikah dengan wanita Indonesia, serta memiliki menantu dari Semarang. Ikatan batin dengan Tanah Air ini juga diterapkan di IMI. Saban tahun, istrinya mengundang makan malam mahasiswa asal Indonesia. “Saya enggak ikutan, dengan ibu, mereka bisa mengeluarkan unek-uneknya, seperti di Indonesia,“ katanya. Saat ini, ada 13 mahasiswa asal Indonesia yang menuntut ilmu di sekolah ini. Siswa lainnya berasal dari berbagai belahan dunia.
Taufik Rodhi, salah satu orang tua murid, mengaku puas dengan sentuhan pendidikan IMI. “Lumayan bagus, anak saya yang pernah sekolah di sana, bisa bekerja sesuai keahliannya,“ kata mantan diplomat di Swiss ini.
Krisna Diantha
Koresponden Koran Sindo, Swiss
Sebaliknya dubes yang baru bertugas di Heidiland itu, tekun mengikuti penjelasan Presiden Direktur International Management Institute (IMI/ Sekolah Tinggi Manajemen Perhotelan Swiss) Heinz Buerki. Di belakang Heinz dan Muliaman, terdapat puluhan mahasiswa IMI, sekelompok masyarakat Indonesia dan juga Wendradi Dodi Sarah Bey, istri Muliaman.
Heinz mengenakan baju batik lengan panjang kuning emas, juga ditemani istri, serta anak, menantu hingga cucu. “IMI bukan hanya sekolah perhotelan biasa, ada sentuhan kekeluargaan, dan pembentukan kepribadian,“ tutur Heinz, ketika KORAN SINDO menyinggung ikut sertanya semua keluarga besarnya dalam acara dinas.
Semua sekolah perhotelan di Swiss, kata Heinz, hampir sama kurikulumnya. IMI, imbuhnya, di tengah persaingan ketat itu, harus memiliki keunggulan. “Karena sekolah ini masih dimiliki keluarga, maka sentuhan kekeluargaan juga penting,“ katanya.
Blusukan di IMI, Muliaman tak hanya disuguhi informasi faktual, tapi juga pemandangan khas Swiss. Pilatus dan Rigi, dua gunung di Swiss Tengah, bisa dipandang sepuasnya dari ruang makan, kamar kos, hingga ruang kelas IMI. Danau Lucerne hanya selemparan batu jaraknya. Habis penat belajar, bisa berenang di danau terbesar keempat di Swiss itu. Dodi Sarah Bey, sesekali memainkan ponselnya, memotret keindahan alam Swiss dari balik jendela.
“Institusi semacam ini penting untuk Indonesia, karena di sana sedang digalakkan kampanye sepuluh Bali baru,“ kata Muliaman. Tentu, jika resort semacam Lombok, Yogyakarta, Tanjung Lesung, atau Manado berlajan lancar, dibutuhkan tenaga profesional.
IMI merupakan salah satu Sekolah Tinggi Perhotelan di Swiss, di antara belasan lembaga yang sama di Swiss. Keunikannya adalah masih dimiliki keluarga Buerki, sementara sekolah serupa yang lain, sudah dikuasai konsorsium internasional. “Jika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan, kami membantunya secara personal, tidak hanya dipandang sebagai hubungan antara sekolah dan siswa,“ kata Ferry Firmansyah, salah satu Direktur IMI yang berkebangsaan Indonesia.
Heinz Buerki sendiri menikah dengan wanita Indonesia, serta memiliki menantu dari Semarang. Ikatan batin dengan Tanah Air ini juga diterapkan di IMI. Saban tahun, istrinya mengundang makan malam mahasiswa asal Indonesia. “Saya enggak ikutan, dengan ibu, mereka bisa mengeluarkan unek-uneknya, seperti di Indonesia,“ katanya. Saat ini, ada 13 mahasiswa asal Indonesia yang menuntut ilmu di sekolah ini. Siswa lainnya berasal dari berbagai belahan dunia.
Taufik Rodhi, salah satu orang tua murid, mengaku puas dengan sentuhan pendidikan IMI. “Lumayan bagus, anak saya yang pernah sekolah di sana, bisa bekerja sesuai keahliannya,“ kata mantan diplomat di Swiss ini.
Krisna Diantha
Koresponden Koran Sindo, Swiss
(nfl)