Demi Standar Luar Negeri

Minggu, 15 April 2018 - 10:07 WIB
Demi Standar Luar Negeri
Demi Standar Luar Negeri
A A A
JAKARTA - SEKOLAH swasta yang memiliki label internasional tumbuh semakin pesat. Bila di masa lalu sekolah internasional hanya untuk anak-anak diplomat dan anak ekspatriat, kini siapa pun yang memiliki kondisi ekonomi sangat baik bisa ikut bersekolah bersama mereka.

Sekitar empat tahun silam, tepatnya 1 Desember 2014, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 31/ 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia mengharuskan sekolah yang mengklaim internasional mengganti nama menjadi satuan pendidikan kerjasama (SPK).

Sekolah di Indonesia memang bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang dipilih sesuai dengan kurikulum yang cocok dengan sekolah mereka. Lisensi ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit di tambah persyaratan fasilitas sekolah sesuai dengan lembaga pendidikan tersebut.

Tidak mengherankan jika biaya sekolah SPK ini berbanding jauh dengan sekolah swasta lainnya atau pun sekolah milik negara. Meskipun begitu banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang sangat besar agar anaknya mendapatkan pendidikan layaknya sekolah di Eropa atau Amerika.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad mengatakan, ada kecenderungan meningkatnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya kesekolah SPK dengan berbagai alasan beberapa tahun ini. Hamid menjelaskan, SPK berfungsi sebagai alternatif layanan pendidikan bagi mereka yang memerlukan layanan di atas standar nasional pendidikan.

“Kemendikbud memang belum pernah melakukan survei tentang hal ini. Namun dari beberapa pertemuan, orang tua memilih SPK karena alasan kualitas pendidikan, kenyamanan dan keamanan serta persiapan kelanjutan studi anak mereka di luar negeri,” ujar Hamid.

Hamid menegaskan, sekolah SPK bukan sarana komersialisasi pendidikan. Jika ada sekolah SPK yang tidak sesuai dengan janji yang diberikan kepada siswa dan orang tua, Kemendikbud berhak menutup sekolah tersebut. Hamid juga berharap, sekolah SPK menjadi contoh sekolah lain dalam memberikan layanan berkualitas. Mengenalkan inovasi dan kreasi pembelajaran abad ke-21.

Bahkan nantinya dia berharap sekolah SPK diharapkan dapat bekerja sama dan menularkan keunggulannya ke sekolah-sekolah lain di negeri ini. Hingga kini jumlah sekolah SPK seperti yang tertulis dalam situs resmi Kemendikbud hingga Maret 2016 menerbitkan sebanyak 178 surat izin SPK tingkat SD, 157 SPK tingkat SMP, dan 94 SPK tingkat SMA.

Kemungkinan jumlah SPK semakin bertambah setiap tahunnya. Pengamat pendidikan Said Hamid Hasan merasa heran dengan standar untuk menentukan kualitas sekolah SPK. Menurutnya, standar apa yang dibuat negara lain tentunya tidak sama dengan standar pendidikan yang ada di Indonesia.

“Kalau penguasaan m atematika mungkin bisa (sesuai kurikulum), tetapi bagaimana dengan IPA, IPS, juga Bahasa Indonesia bukankah harus diukur dengan standar Indonesia?” tanyanya. Menurutnya pendidikan untuk anak bangsa harus didukung oleh karakter bangsanya.

Oleh karena itu Said berpendapat, kualitas pendidikan yang harus dikembangkan ada lah kualitas untuk hidup sebagai bangsa Indonesia yang berpikir dan berwawasan Indonesia. Dia juga menekankan pentingnya memiliki wawasan sebagai warga ASEAN, Asia, dan dunia.

Ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia (PSSI) Haifa Segeir menegaskan, hadirnya se kolah SPK bertujuan memberikan kontribusi aktif pada pendidikan di Indonesia. Dia mencontohkan hal yang dilakukan PSSI bekerja sama dengan dinas Provinsi DKI Jakarta tahun lalu.

Pihaknya mengundang kepala sekolah dan guru dari sekitar 115 SMA negeri di Jakarta yang akan mengikuti pelatihan mengenai sistem pengajaran dan berbagi materi kurikulum. “Sekolah SPK sepertisister school kita, bersinergi dengan sekolah negeri untuk berkolaborasi agar bisa berkontribusi untuk pendidikan Indonesia,“ ujar Haifa yang juga pengurus Singapore Intercultural School (SIS) Jakarta.

Dia menjelaskan, sekolah SPK tidak pernah mengklaim lebih baik dari sekolah nasional. Sekolah SPK hanya memfasilitasi apa saja kebutuhan yang belum diakomodasi kurikulum nasional.

Agar sekolah di Indonesia dapat bekerja sama untuk dapat mengambil kurikulum dari lembaga pendidikan di luar negeri, setiap sekolah harus mengikuti syarat seperti memiliki laboratorium, perpustakaan, kelas yang harus dilengkapi dengan peralatan keselamatan hingga ruangan khusus untuk penyimpanan soal ujian.

Semua telah disesuaikan dengan standar sekolah bertaraf internasional. Misalnya yang dilakukan sekolah Bosowa Bina Insani Bogor yang baru empat tahun menyediakan program internasional untuk SD, SMP, dan SMA. Mereka memilih kurikulum lembaga pendidikan Cambridge.

Tahun 2013-2014 persiapan dilakukan agar fasilitas se suai dengan standar Cambridge. Middle Head Level International Program Bosowa Bina Insani Agus Ahmad Irvan menjelaskan, di sekolah ini siswa internasional belajar dengan tiga kurikulum, yakni Cambridge, Kemendikbud, dan kurikulum Bina Insani.

“Kehadiran kelas internasional di Bina Insani menjawab permintaan banyak orang tua yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri atau pun baru kembali ke Indonesia. Bina Insani dipilih karena termasuk sekolah SPK yang juga sekolah Islam,” papar Agus. Banyak pindahan dari sekolah SPK lainnya karena melihat pendidikan agama yang juga harus diperhatikan.

Lantas apakah sekolah SPK melunturkan nilai budaya dan nasionalisme? Haifa meyakini bahwa hal itu sangat tidak mungkin. Menurutnya seseorang salah persepsi bila beranggapan demikian. Sekolah SPK tetap memberikan pengajaran mengenai kebudayaan dan rasa cinta Tanah Air, bahkan terhadap siswa warga negara asing (WNA).

Ditambah lagi dengan aturan Kemendikbud bahwa setiap sekolah SPK wajib memberikan tiga pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Siswa WNA pun diajari kebudayaan tradisional, adat istiadat hingga Bahasa Indonesia.

Seperti yang rutin digelar Jakarta Intercultural School (JIS), mereka mem perkenalkan budaya dan kultur Indonesia kepada siswa melalui berbagai acara dan program kolaborasi seperti Indonesia Week.

Siswa belajar bermacam tarian Indonesia, alat musik dari berbagai daerah di Indonesia, mengenal makanan setempat, memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus dengan upacara bendera serta lomba-lomba khas tujuh belasan semisal lomba makan kerupuk, tarik tambang. Selain soal akademis, banyak hal yang dipelajari di sekolah SPK.

Dina Sekar Vusparatih, Kepala Program Edukasi Indonesia JIS, menjelaskan, ada mata pelajaran Bisnis, termasuk partisipasi siswa dalam kegiatan social entrepreneurship.“Jadi ada klub siswa yang fokus pada microfinancing bagi UMKM di sekitar lingkungan sekolah yang membutuhkan,” ujarnya.

Bagi Fanny Fardhani, 28, seorang dokter umum, dia merasakan manfaat memilih sekolah di SPK. Fanny mengenyam pendidikan di SMP dan SMA Madania, Bogor, dari tahun 2002 hingga 2008. Fanny beruntung saat ibundanya dengan tiba-tiba memintanya untuk sekolah di Madania.

Hasilnya dirasakan saat mengambil kuliah kedokteran dengan buku dan jurnal menggunakan bahasa Inggris. “Sudah terbiasa karena selama di SMP-SMA setiap hari harus menggunakan bahasa Inggris dari berbicara sama guru, text book,ujian, buat makalah dan semua. Jadi agak lebih percaya diri juga kalau harus presentasi dengan bahasa inggris,” ungkap Fanny. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4190 seconds (0.1#10.140)