Bersosialisasi dengan Mainan Tradisional

Minggu, 29 Juli 2018 - 13:11 WIB
Bersosialisasi dengan Mainan Tradisional
Bersosialisasi dengan Mainan Tradisional
A A A
Dunia anak memang dunia bermain, tetapi tidak ada salahnya jika melalui bermain anak juga belajar. Maka dibutuhkan mainan yang edukatif.

Siapa sangka ternyata mainan ataupun permainan tradisional yang dianggap jadul malah banyak memberikan dampak positif bagi anak.Saat ini mainan tradisional kembali mendapat perhatian dari orang tua untuk dikenalkan kepada buah hatinya.

Chandra Meutia dari Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia menjelaskan, timnya sedang mengaktifkan kembali mainan tradisional untuk membangun tumbuh kembang anak. Jangan lupa, mainan tradisional juga bisa mengenalkan budaya bangsa karena alat musik khas daerah bisa dijadikan mainan anak.

“Yaitu untuk menstimulasi kecerdasan anak melalui tiga cara, visual, auditori atau musik dan fisik. Kreativitas anak juga dapat diasah karena mainan dapat dibuat dari bambu, kayu, pelepah pisang, dan daun kelor,” ujar Chandra yang sedang mengikuti Pameran Internasional Mainan dan Anak di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta.

Hanya dibutuhkan kreativitas, inovasi yang tinggi untuk membuat mainan tradisional sampai bisa menjadi mainan yang benar, berkualitas, dan aman. Dengan demikian tujuan dari mainan tersebut tercapai, yakni untuk mencerdaskan anak.

Chandra berkeliling Indonesia mengunjungi perajin di daerah atau UKM untuk bersama-sama melek pengetahuan tidak hanya menjadi plagiat. Harus bisa berinovasi sendiri membuat mainan yang bahan-bahannya dapat ditemukan di lingkungan sendiri.

“Misalnya perajin bambu bisa membuat alat musik, balok dari bambu atau mainan edukasi berupa bambu berbagai ukuran untuk diisi air. Kalau kita sudah mengerti dan paham mengenai kebutuhan anak, semua bisa jadi mainan edukatif,” ungkapnya.

Pemilik mainan edukatif Chateda ini sudah sampai Papua untuk menemui perajin. Biasanya yang ditemui perajin kerajinan tangan bukan perajin mainan karena tentu saja jarang ditemukan perajin mainan. Chandra melihat potensi alam sekitar yang dapat dijadikan bahan.

Misalnya di Papua banyak bahan pelepah daun tanaman asli di sana. Merek mau mencoba untuk membuat mainan sederhana seperti mobil klotokan yang dimainkan dengan cara mendorong lalu keluar suara juga kincir angin yang jika digoyangkan akan mengeluarkan suara.

“Setelah itu saya melihat skill mereka, hasil serta motivasi. Kalau satu visi-misi, kami ajak gabung,” ujarnya. Berkecimpung di dunia mainan edukatif sejak 1999 membuat Chandra paham dalam membuat mainan untuk tujuan edukasi tidak bisa sembarangan.

Sebelum menjadi pengusaha mainan, memang terlebih dahulu dia aktif di dunia anak dan berkomitmen untuk bukan hanya menjadi penjual, tetapi pendidik melalui mainan. Harus tahu dulu pendidikan anak usia dini itu bagaimana sehingga mainan bisa sesuai menyasar ajaran anak.

Chandra belajar mengenai perkembangan anak, kesesuaian usia sehingga bisa menstimulus seluruh pancaindra. “Kalau saya punya konsultan sendiri saat membuat mainan, tidak asal. Bikin contoh lalu dimainkan dulu oleh beberapa anak, trialerror dulu gitu ke anak-anak,” paparnya.

Chandra juga menyarankan orang tua maupun guru berperan aktif memilih mainan yang sesuai untuk anak. Mainan anak yang benar antara lain mempertimbangkan seperti apa bahan baku yang dipakai, teknik permainannya, atau keamanannya sehingga dengan bermain anak jadi belajar.

Dari hal kecil, melalui sebuah mainan, orang tua dan guru pun juga bisa menjelaskan banyak hal. “Misalnya main balok selain dapat dibuat berbagai bentuk atau disusun setinggi tingginya, bisa dijelaskan juga balok itu terbuat dari apa? Kayu. Kayu itu dari mana? Dari pohon.

Lalu pohon itu ciptaan siapa? Ciptaan Tuhan. Semua dapat dikaitkan juga dengan kecerdasan spiritual,” ungkap Chandra. Mainan tradisional dan edukatif tentu sangat relevan dengan masa kini. Karena hal itu bisa mendidik anak untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, inovasi, juga proses alamiah.

Mainan sekarang juga dapat digunakan untuk belajar bagi mereka yang sudah berada di bangku sekolah. Demikian diuraikan Mulia Anton, Direktur PT Visi Kreasi Internasional, distributor mainan edukasi tiga brand ternama Thinkfun, Gigo, dan Artec.

Mulia lebih dulu membuat lembaga rumah edukasi yang mewadahi anak belajar melalui mainan. Mereka sedang mengembangkan STEAM, yaitu Science, Technology, Engineering, Art, dan Mathematic , melalui berbagai mainan dari Gigo. Gigo merupakan perusahaan mainan edukatif asal Taiwan.

Bermacam-macam bentuk yang dapat dirangkai menjadi sebuah benda. Misalnya rangka jam yang mengajarkan bagaimana sebuah jam bekerja. Jarum jam berdetak yang nantinya dapat menggerakkan jarum lainnya. Mulia juga menunjukkan bagaimana setiap bagian kecil dari Gigo dapat digabung dan dibuat seperti bidang miring untuk belajar ilmu alam bagaimana gravitasi itu ada.

“Untuk anak usia dini juga ada seperti belajar angka, alat pertukangan, insinyur pesawat atau mobil,” ujarnya. Rumah edukasi kerap berkeliling ke sekolah di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Semarang. Baru dua tahun mereka aktif mengajari guru-guru menggunakan mainan untuk belajar.

“Agar lebih menarik diadakan lomba setiap tahunnya. Lomba merakit mainan edukatif Gigo dan mampu menjelaskan. Lomba ini dibuat secara kelompok untuk lebih meningkatkan interaksi dengan teman,” papar Mulia.

Dia berharap mainan dapat memudahkan guru dan murid untuk melakukan kegiatan belajar walaupun sebenarnya dia mengaku dengan bahan apa pun bisa dibuat untuk belajar. Memang materi yang digunakan Mulia sudah modern karena berasal dari luar negeri walaupun sebenarnya menggunakan cara tradisional.

Mulia memilih Gigo karena kualitas plastik yang digunakan sangat baik. “Berharap bisa menggunakan produk dalam negeri namun masih susah kita memproduksi plastik untuk kualitas bagus dan dalam bentuk yang kecil,” ungkapnya.

Menguji kreativitas anak juga ada dalam Pameran Internasional Mainan dan Anak. Mereka menggelar lomba Sembo Block anak. Sembo merupakan brick atau yang dikenal dengan lego, tetapi keluaran dari SY, perusahaan mainan dari China.

Lomba yang digelar pada hari ketiga pameran ini mengajak anak usia 8-14 tahun untuk mewakili sekolahnya. Satu tim terdiri atas dua orang yang harus membuat sebuah benda yang sudah diperlihatkan terlebih dahulu. “Penilaian dilihat dari kecepatan dan kerapian.

Memang seperti membuat replika, namun tidak harus mirip sekali,” ujar Yovita Iskandar, PR & Media Relations Fourteen Events. Kompetisi ini diharapkan dapat menarik minat pengunjung untuk datang ke pameran, juga tentunya untuk mengasah kreativitas. Brick memang terbukti dapat membuat anak merakit apa pun sesuai dengan imajinasi mereka.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6720 seconds (0.1#10.140)