Pemerintah Gratiskan Biaya Paten Peneliti
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah berencana menggratiskan biaya paten bagi peneliti selama lima tahun. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah paten di Indonesia.
Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati mengatakan, jika dulu untuk biaya paten dengan masa berlaku lima tahun itu berbayar, kini tidak ada biaya sama sekali. "Kita mereform regulasi mendasar untuk mendorong peneliti melakukan revenue melalui daftar paten. Kalau dia paten dia dapat untung dan institusi juga. Sehingga, dia bersemangat ternyata meneliti juga bisa dapat duit," ungkap Dimyati dalam Forum Tematik Bakohumas Kemenristekdikti bertemakan "Kebijakan dan Program Kemenristekdikti Dalam Mendukung Penguatan Riset dan Inovasi" di Jakarta, Sabtu (4/8/2018).
Dimyati menjelaskan, setelah gratis selama lima tahun maka masa perlindungan paten dari tahun keenam hanya dibebankan 10% dari nilai paten. Sedangkan masa perlindungan paten berlaku hingga 20 tahun.
Dimyati juga mengatakan, peneliti tidak akan terbebani dengan 10% biaya paten tersebut, sebab peneliti juga menerima royalti dari produk yang dihasilkan. Menurut dia, jumlah paten semakin meningkat. Dari hanya 2.700 paten, kini sudah mencapai 4.300. Kemenristekdikti, ujarnya, menargetkan hingga akhir tahun akan ada 5.200 paten yang didaftarkan.
"Paten itu dalam satu judul publikasi bisa (didaftarkan) lebih dari satu. Misalnya, publikasi handphone itu bisa paten aplikasi, paten bodi, paten layar, dan lainnya," paparnya.
Selain menggratiskan biaya pemeliharan, jelasnya, pemerintah juga memberikan insentif pendaftaran paten bagi peneliti. Insentif yang diberikan itu tergantung dari Kementerian Keuangan. Dia menggambarkan, jika nilai patennya sebesar Rp2 miliar, maka peneliti bisa mendapatkan insentif yang dihitung secara progresif sekitar Rp450 juta.
Selain insentif, pemerintah juga mengadakan sesi khusus testimoni orang yang sudah mendapatkan royalti dari patennya. Mereka akan dikumpulkan dan diminta bercerita tetang dampak positif mendapat royalti. "Dari mulut ke mulut ternyata lebih berefek. Jadi, selain upaya regulasi kita juga mendorong melalui insentif dan testimoni," paparnya.
Dimyati mengatakan, idealnya jika jumlah publikasi naik, maka begitu pula dengan jumlah riset. Sekarang ini, ujarnya, jumlah publikasi Indonesia mencapai 5.125 melampaui Thailand dan Singapura. Indonesia bertekad mengejar Malaysia yang sudah memiliki 5.999 publikasi. Namun, katanya, tidak semua publikasi dapat dipatenkan atau sebaliknya ada satu paten tetapi tidak bisa dipublikasikan.
Pemerintah, lanjutnya, saat ini berada dalam strategi memulihkan kepercayaan diri peneliti untuk lebih banyak lagi menghasilkan karya. Sebab, ujarnya, tren ke arah sana sudah terlihat meski naiknya masih di sisi jumlah, belum kualitas. "Strategi kedua kita adalah lakukan reformasi mendasar terkait regulasi untuk mengubah mindset," katanya.
Menurut dia, permasalahan di bidang riset terjadi karena dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan kualitas tidak semua peneliti di Indonesia bagus. Produktivitas peneliti pun masih rendah serta manajemen riset yang dilakukan peneliti pun tidak sejalan dengan yang dibutuhkan industri. Peneliti, ungkapnya, lebih banyak meneliti untuk mengejar jabatan fungsional saja, sehingga riset yang dilahirkan pun tidak bisa dihilirisasi.
Pengamat Pendidikan Tinggi dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berharap penggratisan biaya paten dapat terealisasi. Sebab, menurut dia, biaya untuk mendapatkan paten cukup besar. "Ini suatu yang positif sebab biaya mendapatkan paten cukup besar," katanya.
Menurut Said, persoalan paten selain mendapatkan pengakuan hak, adalah nilai ekonomis dan akademik dari temuan yang dipatenkan. "Misalnya saja teknologi 4G bukan kita yang dapat untungnya. Demikian juga paten lain yang diperoleh anak bangsa," ujarnya. Jika produksi temuan itu tidak dapat diproduksi di Indonesia oleh perusahaan Indonesia, lanjutnya, maka kebijakan tentang membebaskan biaya hak paten hanya memiliki pengaruh yang terbatas.
Apalagi, jika dengan kebijakan itu akan banyak hak paten dimiliki anak bangsa, maka akan banyak perusahaan asing yang memproduksi dan mengembangkan bisnisnya. Dengan demikian, ujarnya, maka mereka lah yang mendapatkan untung maksimal.
Pengamat Pendidikan Tinggi Edi Suandy Hamid berpendapat, kebijakan pembebasan biaya paten ini sangat bagus. Sebab, menurut dia, mengurus paten tidaklah mudah dan berbiaya cukup besar. Dengan tanpa biaya ini, katanya, maka bisa menstimulus ilmuwan untuk mematenkan karyanya. "Kita sangat butuh banyak paten dan masih jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Singapura," ungkapnya.
Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati mengatakan, jika dulu untuk biaya paten dengan masa berlaku lima tahun itu berbayar, kini tidak ada biaya sama sekali. "Kita mereform regulasi mendasar untuk mendorong peneliti melakukan revenue melalui daftar paten. Kalau dia paten dia dapat untung dan institusi juga. Sehingga, dia bersemangat ternyata meneliti juga bisa dapat duit," ungkap Dimyati dalam Forum Tematik Bakohumas Kemenristekdikti bertemakan "Kebijakan dan Program Kemenristekdikti Dalam Mendukung Penguatan Riset dan Inovasi" di Jakarta, Sabtu (4/8/2018).
Dimyati menjelaskan, setelah gratis selama lima tahun maka masa perlindungan paten dari tahun keenam hanya dibebankan 10% dari nilai paten. Sedangkan masa perlindungan paten berlaku hingga 20 tahun.
Dimyati juga mengatakan, peneliti tidak akan terbebani dengan 10% biaya paten tersebut, sebab peneliti juga menerima royalti dari produk yang dihasilkan. Menurut dia, jumlah paten semakin meningkat. Dari hanya 2.700 paten, kini sudah mencapai 4.300. Kemenristekdikti, ujarnya, menargetkan hingga akhir tahun akan ada 5.200 paten yang didaftarkan.
"Paten itu dalam satu judul publikasi bisa (didaftarkan) lebih dari satu. Misalnya, publikasi handphone itu bisa paten aplikasi, paten bodi, paten layar, dan lainnya," paparnya.
Selain menggratiskan biaya pemeliharan, jelasnya, pemerintah juga memberikan insentif pendaftaran paten bagi peneliti. Insentif yang diberikan itu tergantung dari Kementerian Keuangan. Dia menggambarkan, jika nilai patennya sebesar Rp2 miliar, maka peneliti bisa mendapatkan insentif yang dihitung secara progresif sekitar Rp450 juta.
Selain insentif, pemerintah juga mengadakan sesi khusus testimoni orang yang sudah mendapatkan royalti dari patennya. Mereka akan dikumpulkan dan diminta bercerita tetang dampak positif mendapat royalti. "Dari mulut ke mulut ternyata lebih berefek. Jadi, selain upaya regulasi kita juga mendorong melalui insentif dan testimoni," paparnya.
Dimyati mengatakan, idealnya jika jumlah publikasi naik, maka begitu pula dengan jumlah riset. Sekarang ini, ujarnya, jumlah publikasi Indonesia mencapai 5.125 melampaui Thailand dan Singapura. Indonesia bertekad mengejar Malaysia yang sudah memiliki 5.999 publikasi. Namun, katanya, tidak semua publikasi dapat dipatenkan atau sebaliknya ada satu paten tetapi tidak bisa dipublikasikan.
Pemerintah, lanjutnya, saat ini berada dalam strategi memulihkan kepercayaan diri peneliti untuk lebih banyak lagi menghasilkan karya. Sebab, ujarnya, tren ke arah sana sudah terlihat meski naiknya masih di sisi jumlah, belum kualitas. "Strategi kedua kita adalah lakukan reformasi mendasar terkait regulasi untuk mengubah mindset," katanya.
Menurut dia, permasalahan di bidang riset terjadi karena dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan kualitas tidak semua peneliti di Indonesia bagus. Produktivitas peneliti pun masih rendah serta manajemen riset yang dilakukan peneliti pun tidak sejalan dengan yang dibutuhkan industri. Peneliti, ungkapnya, lebih banyak meneliti untuk mengejar jabatan fungsional saja, sehingga riset yang dilahirkan pun tidak bisa dihilirisasi.
Pengamat Pendidikan Tinggi dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berharap penggratisan biaya paten dapat terealisasi. Sebab, menurut dia, biaya untuk mendapatkan paten cukup besar. "Ini suatu yang positif sebab biaya mendapatkan paten cukup besar," katanya.
Menurut Said, persoalan paten selain mendapatkan pengakuan hak, adalah nilai ekonomis dan akademik dari temuan yang dipatenkan. "Misalnya saja teknologi 4G bukan kita yang dapat untungnya. Demikian juga paten lain yang diperoleh anak bangsa," ujarnya. Jika produksi temuan itu tidak dapat diproduksi di Indonesia oleh perusahaan Indonesia, lanjutnya, maka kebijakan tentang membebaskan biaya hak paten hanya memiliki pengaruh yang terbatas.
Apalagi, jika dengan kebijakan itu akan banyak hak paten dimiliki anak bangsa, maka akan banyak perusahaan asing yang memproduksi dan mengembangkan bisnisnya. Dengan demikian, ujarnya, maka mereka lah yang mendapatkan untung maksimal.
Pengamat Pendidikan Tinggi Edi Suandy Hamid berpendapat, kebijakan pembebasan biaya paten ini sangat bagus. Sebab, menurut dia, mengurus paten tidaklah mudah dan berbiaya cukup besar. Dengan tanpa biaya ini, katanya, maka bisa menstimulus ilmuwan untuk mematenkan karyanya. "Kita sangat butuh banyak paten dan masih jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Singapura," ungkapnya.
(amm)