Parfi-STIAMI Kerja Sama Kajian Akademis Regulasi Perfilman
A
A
A
JAKARTA - Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) 56.
Ketua Umum Parfi 56 Marcella Zalianty mengatakan, Parfi 56 sepakat bekerja sama dengan Institut STIAMI dalam bidang program di bidang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pendampingan dan konsultasi pajak para artis, dan bantuan tenaga pengajar, serta program pemagangan.
Parfi memberikan bantuan tenaga ahli di bidang ekonomi kreatif perfilman untuk menjadi pengajar di STIAMI. Sebaliknya dari STIAMI bisa memberikan bantuan berupa riset dan kajian akademis terkait permasalah regulasi undang-undang, tenaga kerjaan, dan keprofesian dari pelaku peran.
Bagi Parfi, kata Marcela, kerja sama ini bisa menguatkan upaya Parfi yang tengah berjuang membuat sebuah regulasi yang bisa melindungi pekerja film dan bisa menjadikan film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Kami menggandeng Institut STIAMI karena Parfi memerlukan dukungan berupa kajian akdemis terkait segala aspek dunia perfilman. Mulai dari masalah perlindungan hak-hak pekerja film, masalah perpajakan, hingga penyusunan regulasi bidang perfilman nasional,” kata Marcella Zalianty ditemui KORAN SINDO seusai penandatanganan kerja sama yang dilakukan bersamaan dengan wisuda periode Semester Genap Tahun Akademik 2017-2018 Institut STIAMI di Balai Samudera, Jakarta Utara, Kamis (30/8/2018).
Institut STIAMI mewisuda 667 lulusan terdiri atas mahasiswa Program Diploma Tiga sebanyak 300 lulusan, Program Sarjana sebanyak 358 lulusan dan Program Pascasarjana sebanyak sembilan lulusan.
Menurut Marcella, selain membahas aspek perlindungan bagi pekerja film dan regulasi bidang perfilman, Parfi juga sedang berusaha menciptakan standarisasi profesi keartisan film Indonesia. Sebab kondisi saat ini artis film bisa berasal dari kalangan mana saja tanpa dibatasi strata pendidikan, ekonomi dan kelas sosial.
Meski pun begitu tetap diperlukan sebuah standarisasi agar tidak terlalu mudah pemberian predikat artis film terhadap seseorang yang kontribusinya belum ada di dunia perfilman nasional.
“Kami juga melakukan sosialisasi tentang bidang perfilman yang masuk dalam kategori Industri kreatif, menjadi sebuah profesi yang menjanjikan di masa mendatang. Kami ajak mahasiswa-mahasiswa untuk mengetahui dan mempelajari pekerjaan di bidang perfilman dari berbagai sudut, bukan hanya ke soal artis saja,” tutur Marcela.
Selain itu, sambung dia, selama ini artis juga masih awan soal perpajakan sehingga hal tersebut terkadang terasa seakan menjadi beban bagi artis. Sebab seakan-akan penghasilan artis dikenakan potongan pajak, berlapis-lapis sehingga cukup terasa bisa mengurangi secara signifikan penghasilan artis film.
”Untuk itu kami minta bantuan ahli perpajakan dari Institut STIAMI untuk ikut membantu artis film dalam memahami soal perpajakan,” kata Marcella.
Sekretaris Rektorat Institut STIAMI Dedy Kusna Utama mengatakan, kerja sama yang dilakukan dengan PARFI terkait dengan 3 program studi (Prodi) yang ada di Institut STIAMI, yakni program studi (prodi) komunikasi, prodi pariwisata dan prodi bisnis.
“Ketiga prodi ini punya kohesitas (hubungan dengan Parfi). Selain itu, kami juga ingin mendorong kesadaran pajak. Sebab para artis PARFI mengakui agak kesulitan dalam melakukan pelaporan pajak karena kesibukan pekerjaannya. Mereka juga ingin ada perlakuan insentif pajak,” tutur Dedy.
Menurut Dedy, Institut STIAMI mencoba membantu dalam aspek edukasi kpeada artis tentang bagaimana membuat pelaporan pajak yang baik. “Kami coba ubah mindset yang tadinya pelaporan pajak seakan jadi beban, berubah jadi kewajiban,” kata Dedy.
Industri perfilman bisa mendorong ekonomi kreatif agar perekonomian bangsa semakin meningkat. Institut STIAMI mendorong bagaimana menciptakan karya-karya kreatif dimulai dari kajian akademis.
“Kemudian karena kampus mempunyai kebijakan publik, administrasi negara. Kampus punya legal standing dan domain pada kajian akademis untuk regulasi. Wilayah kami adalah membuat kajian naskah akademis untuk pembuatan sebuat regulasi. Kami bisa memberikan poin-poin berkaitan dengan policy atau kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan dunia artis film. Kampus berada di tengah-tengah agar sebuah regulasi bisa memberikan win-win solution baik bagi artis dan bagi negara,” tutur Dedy.
Ketua Umum Parfi 56 Marcella Zalianty mengatakan, Parfi 56 sepakat bekerja sama dengan Institut STIAMI dalam bidang program di bidang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pendampingan dan konsultasi pajak para artis, dan bantuan tenaga pengajar, serta program pemagangan.
Parfi memberikan bantuan tenaga ahli di bidang ekonomi kreatif perfilman untuk menjadi pengajar di STIAMI. Sebaliknya dari STIAMI bisa memberikan bantuan berupa riset dan kajian akademis terkait permasalah regulasi undang-undang, tenaga kerjaan, dan keprofesian dari pelaku peran.
Bagi Parfi, kata Marcela, kerja sama ini bisa menguatkan upaya Parfi yang tengah berjuang membuat sebuah regulasi yang bisa melindungi pekerja film dan bisa menjadikan film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Kami menggandeng Institut STIAMI karena Parfi memerlukan dukungan berupa kajian akdemis terkait segala aspek dunia perfilman. Mulai dari masalah perlindungan hak-hak pekerja film, masalah perpajakan, hingga penyusunan regulasi bidang perfilman nasional,” kata Marcella Zalianty ditemui KORAN SINDO seusai penandatanganan kerja sama yang dilakukan bersamaan dengan wisuda periode Semester Genap Tahun Akademik 2017-2018 Institut STIAMI di Balai Samudera, Jakarta Utara, Kamis (30/8/2018).
Institut STIAMI mewisuda 667 lulusan terdiri atas mahasiswa Program Diploma Tiga sebanyak 300 lulusan, Program Sarjana sebanyak 358 lulusan dan Program Pascasarjana sebanyak sembilan lulusan.
Menurut Marcella, selain membahas aspek perlindungan bagi pekerja film dan regulasi bidang perfilman, Parfi juga sedang berusaha menciptakan standarisasi profesi keartisan film Indonesia. Sebab kondisi saat ini artis film bisa berasal dari kalangan mana saja tanpa dibatasi strata pendidikan, ekonomi dan kelas sosial.
Meski pun begitu tetap diperlukan sebuah standarisasi agar tidak terlalu mudah pemberian predikat artis film terhadap seseorang yang kontribusinya belum ada di dunia perfilman nasional.
“Kami juga melakukan sosialisasi tentang bidang perfilman yang masuk dalam kategori Industri kreatif, menjadi sebuah profesi yang menjanjikan di masa mendatang. Kami ajak mahasiswa-mahasiswa untuk mengetahui dan mempelajari pekerjaan di bidang perfilman dari berbagai sudut, bukan hanya ke soal artis saja,” tutur Marcela.
Selain itu, sambung dia, selama ini artis juga masih awan soal perpajakan sehingga hal tersebut terkadang terasa seakan menjadi beban bagi artis. Sebab seakan-akan penghasilan artis dikenakan potongan pajak, berlapis-lapis sehingga cukup terasa bisa mengurangi secara signifikan penghasilan artis film.
”Untuk itu kami minta bantuan ahli perpajakan dari Institut STIAMI untuk ikut membantu artis film dalam memahami soal perpajakan,” kata Marcella.
Sekretaris Rektorat Institut STIAMI Dedy Kusna Utama mengatakan, kerja sama yang dilakukan dengan PARFI terkait dengan 3 program studi (Prodi) yang ada di Institut STIAMI, yakni program studi (prodi) komunikasi, prodi pariwisata dan prodi bisnis.
“Ketiga prodi ini punya kohesitas (hubungan dengan Parfi). Selain itu, kami juga ingin mendorong kesadaran pajak. Sebab para artis PARFI mengakui agak kesulitan dalam melakukan pelaporan pajak karena kesibukan pekerjaannya. Mereka juga ingin ada perlakuan insentif pajak,” tutur Dedy.
Menurut Dedy, Institut STIAMI mencoba membantu dalam aspek edukasi kpeada artis tentang bagaimana membuat pelaporan pajak yang baik. “Kami coba ubah mindset yang tadinya pelaporan pajak seakan jadi beban, berubah jadi kewajiban,” kata Dedy.
Industri perfilman bisa mendorong ekonomi kreatif agar perekonomian bangsa semakin meningkat. Institut STIAMI mendorong bagaimana menciptakan karya-karya kreatif dimulai dari kajian akademis.
“Kemudian karena kampus mempunyai kebijakan publik, administrasi negara. Kampus punya legal standing dan domain pada kajian akademis untuk regulasi. Wilayah kami adalah membuat kajian naskah akademis untuk pembuatan sebuat regulasi. Kami bisa memberikan poin-poin berkaitan dengan policy atau kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan dunia artis film. Kampus berada di tengah-tengah agar sebuah regulasi bisa memberikan win-win solution baik bagi artis dan bagi negara,” tutur Dedy.
(dam)