Aturan Penggantian Guru Pensiun Digodok

Selasa, 11 Desember 2018 - 11:42 WIB
Aturan Penggantian Guru Pensiun Digodok
Aturan Penggantian Guru Pensiun Digodok
A A A
JAKARTA - Pengangkatan guru setiap tahunnya dinilai penting lantaran banyak guru yang masuk masa pensiun.

Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang menjadi dasar formasi pengangkatan guru. Saat ini, pemerintah masih menggodok aturan itu. Setiap tahun selalu ada guru yang memasuki masa pensiun.

Namun, pemerintah daerah (pemda) tidak boleh mengangkat guru sehingga sekolah mengambil alih pengangkatan guru untuk mengganti guru yang pen siun tersebut. Pengangkatan guru pengganti oleh sekolah ini sering kali tidak sesuai kriteria. Untuk mengatasi kekurangan guru ini maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang mengusahakan adanya peraturan presiden yang mengatur guru pengganti pensiun.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy berpendapat bahwa kebijakan moratorium pengangkatan guru seharusnya jangan dipakai lagi sebab setiap tahun jumlah guru pasti berkurang karena pensiun. “Harus ada (peraturan) yang mengatur tentang mengganti guru pensiun, meninggal, dan mengundurkan diri,” katanya pada diskusi pendidikan “Menata Guru dengan Sistem Zonasi: Mulai dari Mana” di kantor Kemendikbud, Jakarta, kemarin.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini menjelaskan, keinginan pengangkatan guru ini tidak hanya untuk mengganti guru pensiun, tetapi juga sebagai dasar hukum dan bahan pemetaan untuk mengganti guru yang meninggal dunia atau mengundurkan diri, serta untuk mengisi ruang kelas atau sekolah baru.

“Untuk guru, tentu saja kami berupaya betul untuk mencari solusinya. Kalau Kemendikbud maunya yang honorer itu tuntas secepatnya. Lebih cepat lebih baik dan kita membangun era baru yang lebih tersistem,” jelasnya.

Mendikbud juga menjelaskan tentang sistem zona yang bakal menuai pro dan kontra. Namun, dia menyebut bahwa pemberlakuan sistem ini untuk percepatan dan pemerataan pendidikan. “Sistem zona pendidikan adalah kebijakan strategis jangka panjang untuk percepatan dan pemerataan pendidikan yang berkualitas,” katanya.

Menurut Muhajir, zonasi ini adalah untuk merestorasi pendidikan, menjamin pemerataan akses pendidikan, mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik, menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri.

Selain itu, sistem ini membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru, serta mendorong kreativitas pen didik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen. “Sistem ini juga mencegah penumpukan guru berkualitas dalam suatu wilayah atau sekolah tertentu,” ujarnya.

Terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyampaikan bahwa sampai saat ini pihaknya sudah meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan guru honorer. Alasannya jelas, yakni keberadaan guru honorer ini sangat penting dan jumlahnya paling banyak.

Sementara terkait kebijakan penzonaan, lanjut Unifah, hal itu akan menempatkan ekosistem pendidikan di satu pusat pemerintahan untuk menaikkan delapan standar pendidikan. Namun, sistem penzonaan ini, katanya, tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika berurusan dengan pemindahan guru.

“Maka harus dibenahi sistem pembagian kewenangan dalam pendidikan. Pendidikan dasar dipegang di kabupaten/ kota, pendidikan tinggi di Kemenristek- Dikti, keagamaan di Kemenag. Semua jalan sendiri. Selama belum diikat dalam sistem yang jelas maka potret buram akan terus terjadi,” katanya.

Unifah menyatakan bahwa selama guru menjadi kewenangan daerah maka akan sulit melaksanakan pemerataan daerah dengan penzonaan.

Selain itu, penzonaan tidak bisa diterapkan sepenuhnya di daerah yang sulit sehingga diperlukan otonomi yang lebih luas.

Pengamat pendidikan Robertus Budi Setiono mengakui bahwa untuk memutasi guru demi pemerataan memang sulit dilakukan. Namun, hal ini sebenarnya bisa dilakukan sama seperti sistem korporasi perusahaan yang memindahkan pegawai yang berkinerja bagus untuk membantu anak perusahaan lain. “Memang tidak gam pang, apalagi untuk sebesar bangsa Indonesia,” katanya.

Anggota Dewan Pendidikan Kota Jakarta Timur ini menjelaskan, mendidik guru juga bukan pekerjaan mudah. Namun, pekerjaan yang sulit ini akan menjadi mudah bila semua pihak terkait membantu.

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjiafudian mengatakan, ketimpangan guru memang masih ditemui di daerah. Banyak sekolah yang hanya memiliki satu guru PNS, sementara ada sekolah yang kelebihan guru. Alasannya karena guru enggan dipindahkan ke kota lain. “Harus ada pemetaan guru agar jangan sampai distribusi ini terkesan terburu-buru. Baik dari sisi jumlah, komposisi guru PNS dan non-PNS, dan bidang keahlian,” katanya. (Neneng Zubaidah/ Kiswondari)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7992 seconds (0.1#10.140)