Revolusi Digital Pendidikan Tinggi

Kamis, 20 Desember 2018 - 16:10 WIB
Revolusi Digital Pendidikan...
Revolusi Digital Pendidikan Tinggi
A A A
DUNIA telah merasakan dampaknya Revolusi Industri 1.0 yang ditandai dengan mekanisme pertanian, lalu Revolusi Industri 2.0 dengan penggunaan ban berjalan dan 3.0 yang dicirikan dengan robot dan otomatisasi, maka kini Revolusi Industri 4.0 telah mengubah dunia dengan sistem kerja robotik dan internet of things (IOT)-nya.

Pemerintah Indonesia tentu memiliki pekerjaan rumah sangat besar untuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang andal. Sebab jangan sampai fase Revolusi Industri 4.0 ini tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai konsumen teknologi semata. Digitalisasi ini pun akan turut memengaruhi wajah pendidikan tinggi di Indonesia.

Jika dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia saat ini hanya 30%. Persentase yang masih kalah jauh dengan beberapa negara Asia. Bagaimana pemerintah mempersiapkan semua hal ini.

Berikut petikan wawancara khusus dengan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir.

Seperti apa kesiapan kita memasuki era revolusi Industri 4.0?

Jadi begini, di dalam era disruptive innovation khususnya era industri 4.0 ada perubahan paradigma. Ada paradigma baru di dalam mengelola suatu kelembagaan khususnya di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kita itu tiba-tiba di era 4.0, kita tidak tahu sejarahnya apa. Kita harus tahu sejarahnya dulu. Jika bicara sejarah ini, maka pada abad 18 dikenal revolusi industri pertama. Pada saat sebelum revolusi Prancis muncul itu dikenal adanya mesin uap. Ini untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan saat itu, yaitu terkait untuk kain dan tekstil.

Pergerakan inilah yang memengaruhi perubahan teknologi saat itu. Tapi, pergerakan berikutnya dipengaruhi perkembangan jika terus memakai mesin uap untuk menggerakkan mesin tampaknya dari tahun ke tahun tidak memungkinkan. Akhirnya muncul listrik. Karena produksinya akan massal itu mendorong perubahan lagi, yaitu pada tahap dua revolusi industri 2.0. Itu berarti adanya produk massal dikaitkan dengan adanya energi atau listrik itu. Ini yang terjadi.

Bergerak ke abad 18, 19, ke 20 akhirnya di abad 20 pun mulai pergeseran masuk ke 2001 awal. Abad 2001 awal itu ada pergeseran yang signifikan, yaitu muncul sistem otomatisasi. Sistem otomatisasi inilah yang bergerak, yakni dari listrik yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin dan berlaku secara otomatisasi.

Akhirnya, muncul adanya robot. Ini robot awal dan komputer. Jadi, bagaimana mengoneksikan sistem ini antara sistem satu dan lainnya. Pabrik sudah memakai otomatisasi. Ini pergerakan jalan terus. Dari otomatisasi ini ternyata tidak cukup. Ini berpengaruh pada orang dan produk. Ini bergerak terus, ke depan nya muncul revolusi industri 4.0 yang lebih dikenal dengan cyber physical system. Sistem fisik tetapi di dalam siber. Barangnya tidak kelihatan, teta pi terjadi transaksi besar, yaitu adanya digital tadi.

Jadi, otomatisasi sudah meningkat, sistem robot pun yang lebih terintegrasi karena cyber physical system tadi. Ini terjadi dalam revolusi industri 4.0.

Lalu bagaimana dampaknya ke pendidikan tinggi?


Dengan adanya sistem digital ini ternyata memengaruhi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Yang pengaruhi ialah dulu kalau kuliah itu face to face. Kalau kita tidak bisa face to face, maka tidak bisa kuliah. Kalau absen 75%, kalau kurang itu tidak bisa ujian. Hal ini yang terjadi pada masa lalu sistem perkuliahan konvensional sudah berjalan terus-menerus.

Mahasiswa pun bisa mengetahui bahan kuliah melalui internet sehingga mahasiswa bisa bosan karena bahan yang disampaikan sudah mereka ketahui sebelumnya. Hal ini mendorong adanya perubahan dengan digital. Kuliah juga model digital. Jika digital mahasiswa pun aktif bisa melakukan kuliah meski tidak harus tatap muka.

Jika ini masif, mereka bisa kuliah setiap saat sesuai tempat dan kapan saja. Saya katakan ini anytime, anywhere, anyplace. Dengan model semacam ini kuliah face to face tidak di dalam kelas. Tapi, bisa di luar kelas, di kantor, ataupun bisa juga di rumah. Malam hari pun bisa, sebab waktu kuliah tidak dibatasi.

Dengan perubahan ini, masing-masing individu akan kuliah dengan cara berbeda-beda tetapi capaiannya sama karena mereka dipandu dosen dengan cara yang sama. Kalau ini dilakukan terus, nanti ruang kuliah pun tidak memerlukan lahan yang luas. Sekarang ini ruang membuka pendidikan tinggi itu diatur, yakni harus memiliki lahan 10 hektare (ha). Sekarang sudah dikurangi. Ruangan hanya perlu satu lantai saja.

Kampus hanya perlu menyediakan perangkat server, artificial intelligent , dan juga monitor karena perkuliahan bisa dilakukan di mana saja. Teknologi ini juga akan berdampak pada sistem kerja pegawai ke depan. Kalau saat ini jam kerja itu berlaku pukul 8 pagi hingga jam 4 sore. Ke depan ini belum terpikirkan, namun akan terjadi pergeseran jam kerja.

Kuliah digital pun akan mengubah rasio dosen dan mahasiswa. Jika saat ini rasio di jurusan eksakta 1:20 dan sosial 1:30, maka ke depan tidak akan terbatas. Bisa saja rasionya 1:1.000, tetapi dengan kualitas lulusan yang sama.

Bagaimana dengan ketersediaan akses dan fasilitas jaringan. Apakah ini bisa dilakukan sampai ke daerah terpencil?


Akses saat ini sudah sangat mudah bahkan berbasis satelit. Sekarang tugas pemerintah untuk memastikan bagaimana masyarakat di seluruh Indonesia bisa menikmati semua fasilitas yang ada di daerah lain. Sepadan antara Jakarta dan Papua. Saya melihat akses internet di Papua sudah baik. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memasang VSAT (very small aperture terminal) di masing-masing kabupaten. Kabelnya melalui Palapa Ring pun sudah tersambung. Kabel bawah laut di Papua pun sudah.

Revolusi industri 4.0 selain masalah kultur dan mindset itu ada aspek lain selain aturan-aturan atau regulasi yang tidak kompatibel. Faktanya aturan ini ada, tetapi sudah tidak dipakai?


Ini ada contoh di Kemenristekdikti. Dengan adanya perubahan 4.0, dulu untuk mengurusi kenaikan jabatan dosen harus mengirim berkas. Pada saat saya menjadi menteri itu dibanding tingginya orang lebih tinggi tumpukan barangnya. Itu terjadi betul. Kapasitas gedung itu kan terbatas sehingga ini akan menjadi beban. Belum nanti dokumennya ada yang hilang. Sekarang saya lakukan dengan digital, yaitu online.

Dengan online sekarang para dosen sudah bisa rasakan nikmatnya. Ada suatu perguruan tinggi di Jawa Tengah yang jika dokumennya harus dikirim kan ke Kopertis membutuhkan waktu dua-tiga jam. Biayanya antara Rp50.000 sampai Rp100.000. Belum lagi capeknya.

Meski sudah mengeluarkan biaya ternyata dokumennya juga belum bisa diproses dan ini membutuhkan waktu satu bulan, dua bulan, dan tiga bulan hanya di satu tempat ini saja. Sekarang dari rumahnya dia langsung bisa kirim dokumen ke sini, lalu di-review dan di-share.

Apabila sudah penuh, langsung dikirim ke pusat, lalu dievaluasi dan hasilnya lang sung turun sehingga dia tidak usah datang ke Jakarta. Saya tanya seorang profesor berapa lama dia mengurusi status guru besarnya. Dia menjawab 1,5 bulan dan tanpa uang karena dia tidak ke Jakarta. Dia belum pernah ke Kemenristekdikti, tapi dia sudah profesor.

Dulu itu prosesnya (jadi guru besar) dua tahun, tiga tahun, dan empat tahun. Sekarang hanya 1,5 bulan. Ini yang mau saya launching adalah cara mendirikan pendidikan tinggi. Ini yang sering lama kan. Saya mau diubah dan ternyata bisa.

Dulu proses mendirikan program studi (prodi) memakan waktu sekitar tiga tahun dan paling cepat dua tahun. Saya sekarang perbaiki sekitar enam bulan sampai satu tahun. Target saya ini dua minggu bisa selesai. Reformasi ini harus bisa dilaku kan. Jika ini dilakukan, saya bisa menekan orang ketemu orang. Sebab jika orang bertemu orang itu ujung-ujungnya masalah duit. Ini online semua. By system semua. Jadi dengan sistem ini orang tidak perlu datang ke sini, tapi tetap bisa terlayani.

Apakah ini juga termasuk untuk kebutuhan kekinian, yakni dengan adanya jurusan-jurusan yang menyesuaikan dengan kebutuhan masa depan?


Nah, program studi itu kan harus ada nomenklatur. Tidak ada nomenklatur itu tidak bisa mendirikan program studi. Sekarang tidak usah pakai nomenklatur. Silakan buka program studi, asal ada usernya. Lulusannya nanti untuk digunakan siapa, yang penting itu. Contoh kemarin ada yang mau buka program studi baru Optometri. Saya tanya mengajukan prodi ini sudah berapa lama. Dia menjawab sudah lima tahun. Masalahnya karena tidak ada nomenklaturnya. Terus ada yang mengajukan pula soal teknologi cerdas. Seperti koding, big data ini silakan saja yang penting ada usernya. Jurusan kelapa sawit sudah ada di Instiper Yogyakarta. Selain itu, juga ada jurusan kopi dan cokelat sehingga semua bisa lakukan lebih luas.

Program studi kekinian sesuai kebutuhan masa sekarang harus menyesuaikan. Karena itu, peraturan apa yang harus dilakukan agar fleksibilitasnya berjalan dengan baik, maka nomenklatur kita cabut supaya ilmu itu berkembang. Tidak terkotak lagi sehingga antara satu ilmu dan lainnya akan blended. Contohnya dulu kita mengenal teknik elektro dan teknik mesin. Lalu sekarang kita bicara industri itu antara mesin dan elektro sekarang menjadi satu.

Melalui chip, mekatronik. Bahkan mobil mewah itu dikendalikan dengan chip. Sekarang sudah ada prodi mekatronik. Urusan logistic, supply chain pun semua sudah berjalan. Jadi, sebenarnya di Kemenristekdikti kemajuan di dalam inovasi sangat luar biasa. Hal yang sangat mengejutkan ialah publikasi. Itu jadi momok di perguruan tinggi.

Tahun 2014 jumlah publikasi kita 2.500. Sedangkan pada 2015 jumlahnya 6.300. Sementara Thailand sudah di angka 9.500, Singapura 18.000, Malaysia 28.000, dan Indonesia hanya 6.200. Per November 2018, Malaysia sudah 26.700, Indonesia di angka 24.800, Singapura di angka 19.000 dan Thailand 14.000. Kita sudah mendekati Malaysia.

Harapan saya, 2019 nanti kita di atas Malaysia. Sebab kita punya potensi, yakni dosen kita banyak. Ukuran kita besar. Prediksi kasar saya bisa di angka 37.500. Itu hitungan sederhana jika berjalan baik. Sebanyak 37.500 publikasi jika kita bandingkan dengan Eropa masih jauh. Namun, kita di Asia Tenggara sudah di atas. Jumlah 37.500 publikasi itu setara dengan negara di Asia Barat. Riset itu adalah raw material untuk inovasi. Apapun baiknya inovasi tidak mungkin jika tidak ada riset. Makin tinggi riset inovasi akan muncul.

Jadi Kemenristekdikti mengharapkan antara riset, inovasi, dan perluasan prodi tadi akan semakin menyambung?


Ya mudah-mudahan.

Berarti nanti indeks daya saing akan tinggi?

Harapan saya daya saing sekarang itu skill (keterampilan) dan inovasi. Skill ini masalah lulusan pendidikan tinggi. Lulusan pendidikan tinggi ke depan tidak cukup hanya dengan ijazah. Namun, harus dengan sertifikat kompetensi. Kalau inovasi dari riset. Pasti jika hal itu naik maka daya saing itu akan naik.

Apakah penerapan sertifikat kompetensi sudah jalan?


Sudah jalan. Yang pertama, saya lakukan di dosen politeknik. Kalau dosennya saja tidak punya sertifikat, ya bagaimana. Akhirnya, saya didik mereka harus mendapat sertifikat kompetensi. Tahun 2018 ini kita kirim 800-an, 350 di kampus luar negeri dan 450 di dalam negeri. Mahasiswa sekarang saya kirim ke luar negeri, kuliah di luar negeri selama dua tahun, pulangnya harus mendapat ijazah dan mendapat sertifikat kompetensi.

Kemarin muncul gagasan untuk mengejar ketertinggalan di bidang-bidang tertentu, di antaranya lebih baik profesor dari luar negeri di suruh ke sini. Sudah jalan programnya?

Ini lagi kami bangun, ada meski masih kecil dengan nama World Class Profesor. Kami undang profesor luar negeri ke Indonesia. Ini sudah jalan dan menghasilkan publikasi internasional. Output-nya itu publikasi. Ke depan, saya ingin lulusan dari anak S1. Anak S1 daripada kuliah keluar negeri untuk apa. Mending yang luar negeri saya tarik ke Indonesia. Ini saya dengan Duta Besar (Dubes) Singapura sudah berkomunikasi. Saya akan taruh di Batam bersama ITB. Singapura jika berbicara ranking dunia ada NUS (National University of Singapore) yang sudah masuk 15 besar dunia. NTU (Nanyang Technological University) masuk 12.

Ini yang kami gandeng. Kedua, saya bentuk KEK (kawasan ekonomi khusus) untuk pendidikan. Rencananya di Tangerang karena infrastrukturnya sudah bagus. Cukup kuliah di situ, sebab kualitasnya sama seperti di luar negeri. Ini kami juga undang dengan Australia. Nanti kami coba undang semua. Mulai jalan 2019 nanti. Ini menyiapkan perpresnya dulu agar bisa jalan.

Berapa target kampus yang bisa masuk?


Target saya dua dulu. Terpenting bisa mendorong internasionalisasi pendidikan tinggi Indonesia itu supaya bisa bersaing dengan kualitas lebih baik.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2939 seconds (0.1#10.140)