Cegah Jadi Pelaku Hoaks, Guru Perlu Pelatihan Critical Thinking

Senin, 14 Januari 2019 - 10:35 WIB
Cegah Jadi Pelaku Hoaks,...
Cegah Jadi Pelaku Hoaks, Guru Perlu Pelatihan Critical Thinking
A A A
JAKARTA - Penyebaran hoaks atau berita bohong yang dilakukan oknum guru dinilai melanggar kode etik. Karena itu diusulkan ada pelatihan berpikir kritis bagi guru sehingga guru pun bisa lebih profesional dan intelektual.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, penyebaran berita bohong atau pun ujaran kebencian itu dilarang dilakukan oleh semua pihak, termasuk guru. Apalagi, guru adalah profesi yang profesional sehingga mereka pun terikat kode etik dan perilaku sehingga dia pun menyayangkan jika hal itu bisa terjadi.

“Guru sesuai dengan undang-undang mereka terikat dengan kode etik dan perilaku. Mereka pasti sudah tahu bahwa menyebar hoaks itu pelanggaran kode etik dan perilaku,” kata Muhadjir kepada KORAN SINDO kemarin.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini mengatakan, meski mengetahui perbuatannya melanggar kode etik, namun masih saja ada guru yang melakukan hal tersebut. Pemerintah pun sulit memantau media antarpersonal. Tetapi, lewat media sosial (medsos) sangat mudah terpantau karena bia sanya ada elemen masyarakat yang melaporkannya.

Guru Besar Universitas Negeri Malang ini mengapresiasi inisiatif masyarakat sebab hal itu pertanda bagus bahwa masyarakat peduli dan menaruh harapan besar terhadap guru sekaligus menandakan bahwa profesi guru semakin dihargai.

Sementara itu, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Supriano menjelaskan bahwa pihaknya sudah memasukkan rencana pelatihan berpikir kritis kepada guru. Pelatihan ini dimaksudkan agar guru semakin profesional tidak hanya dari segi akademik, namun juga personal.

Terpisah, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, rentetan kasus oknum guru termasuk dosen yang menyebarluaskan berita hoaks membuat keprihatinan yang mendalam bagi FSGI.

Guru dan dosen sejatinya adalah intelektual yang lekat dengan nilai-nilai akademis, ilmiah, objektif, rasional, dan kritis. “Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, guru berpikir dan bertindak tidak rasional dan tidak kritis lagi,” katanya.

Karena itu, dia berpendapat, pelatihan keterampilan berpikir tingkat tinggi sudah mendesak dilakukan. Di dalam pelatihan itu nanti harus terdapat keterampilan berpikir kritis atau critical thinking bagi para guru.

Dia menjelaskan, berpikir kritis tidak hanya ditujukan kepada siswa untuk menjawab soal ujian nasional (UN), tetapi juga bagi para guru. Keterampilan berpikir tingkat tinggi ini sering disebut dengan high order thinking skills (HOTS).

“Adanya oknum guru yang suka menyebarkan berita hoaks dan hate speech ini mengin dikasikan jika keterampilan berpikir kritis ini belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan oleh para guru di ruang kelas sehari-hari,” katanya.

Dia mengatakan, merebaknya penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di masyarakat, bahkan dilakukan oknum terdidik seperti guru, menandakan kemampuan literasi guru juga masih rendah. Gerakan literasi sekolah yang diinisiasi pemerintah selama ini lebih menargetkan siswa sebagai pelaku literasi di sekolah dengan skema pembiasaan membaca sebelum belajar dan budaya membaca di sekolah.

Tapi, yang sebenarnya jauh lebih urgen adalah literasi digital yang bersifat kritis bagi guru. Lebih lanjut dia mengatakan, guru tidak hanya dituntut rajin membaca buku di luar buku teks pembelajaran, tetapi wajib memiliki keterampilan literasi terhadap penggunaan media sosial.

“Guru seharusnya tidak mudah percaya dengan apa yang disuguhkan oleh internet, tetapi mekanisme berpikir kritis dan verifikatif harusnya lebih dulu dilakukan. Jika ada berita yang belum valid kebenarannya, maka harus bisa dipastikan dulu. Guru jangan mudah membagikan tautan web tanpa memahami konten berita,” tandasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.3559 seconds (0.1#10.140)