Institut Pertanian Bogor Rebranding Sebutan Nama Kampus

Selasa, 12 Februari 2019 - 06:37 WIB
Institut Pertanian Bogor...
Institut Pertanian Bogor Rebranding Sebutan Nama Kampus
A A A
BOGOR - Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Arif Satria menjelaskan, upaya rebranding lembaga pendidikan yang dipimpinnya didasari karena hampir semua organisasi di dunia selalu melakukan audit brand atau mengecek kesehatan sebuah brand.
“Brand itu masih oke, enggak. Jadi, kalau brand itu masih sehat akan dipertahankan, tapi kalau kurang sehat, itu tentu harus diubah,” kata Arif.

Dalam mengubah sebutan nama kampus agar lebih sehat, pihaknya bekerja sama dengan konsultan ahli brand profesional. Mereka melakukan rebranding itu tidak sembarangan. Ini baru sebatas mengubah nama singkatan saja, belum logo.

“Jadi, dalam perubahan itu, kami melalukan riset yang membutuhkan waktu selama enam bulan dengan meminta tanggapan mahasiswa, orang tua, anak SMA, mitra, dan pemerintah. IPB itu seperti apa? Jadi, kami menyerap apa pandangan mereka,” katanya.

Dia menambahkan, setelah itu ciri-cirinya sebenarnya yang diubah pertama kali itu adalah tagline IPB, yakni searching and serving the best atau mencari dan memberikan yang terbaik. “Setelah 20 tahun, tepatnya sejak 1998, kami evaluasi tagline tersebut, ternyata tidak ada diferensiasinya dibandingkan organisasi lain. Apa yang membedakan IPB dengan kampus lain,” ujarnya.

Jadi memang, kata dia, tagline mencari dan memberikan yang terbaik itu sudah menjadi suatu keharusan semua orang sehingga terlalu generik, maka butuh tagline sesuai dengan identitas IPB itu sendiri.

“Nah, hasil survei itu ada suatu ciri yang semua menggambarkan realitas bahwa orang IPB itu, termasuk alumninya punya dua ciri penting, yaitu pertama integritas di mana orang IPB itu jika mengajar serius dan beretika. Kemudian kedua adalah inovasi, sudah banyak penghargaan yang kami peroleh karena inovasi,” ungkapnya.

Karena itu, wajar jika pihaknya kemudian mengubah tagline atau moto dari searching and serving the best menjadi inspiring innovation with integrity. Menurutnya, sejak lama IPB mengalami dualisme terjemahan nama kampus. Dia menyebut, pemilihan kata ‘university’ karena IPB menawarkan program studi lebih banyak dan luas, tidak sekadar aspek pertanian dan kelautan saja.

Arif juga mengatakan, hasil studi eksplorasi pemangku kepentingan memberikan masukan bahwa kata ‘pertanian’ di kampus itu telah diartikan sempit oleh calon mahasiswa dan orang tuanya. “Ada beberapa corporate brand yang menempuh strategi ini untuk memberi simplicity dalam pengucapannya. Tetapi, lebih solid dalam exporsure-nya dan menjelaskan janji brand-nya. Untuk itulah IPB mengubah brand,” ujarnya.

Walaupun terjemahan yang lebih sesuai adalah “Bogor Agricultural Institute”, sudah lama IPB menggunakan terminologi “Bogor Agricultural University” dalam bahasa Inggrisnya. Alasan mengapa dipilih kata University diawali dengan pemikiran bahwa telah lama IPB menawarkan program studi lebih banyak dan luas, lebih dari aspek pertanian dan kelautan saja.

Namun yang berubah dari brand IPB ini adalah jika awalnya “Bogor Agricultural University” terasa lebih panjang dan jika disingkat kurang elok, maka disederhanakan menjadi “IPB University”. “Yang jelas, kegiatan rebranding ini juga melihat kebutuhan baru para future students dan stakeholder lainnya.

Slogan lama 'Searching and Serving the Best' dirasakan sudah menjadi sebuah keharusan dan kekuatan Institusi. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat, maka IPB University merasakan kebutuhan untuk memiliki janji baru lebih distinctive, berbeda dari universitas lain,” katanya.

Hasil riset dan diskusi dengan para stakeholder kunci memperoleh sebuah rangkaian kata janji barunya, yaitu “Inspiring Innovation with Integrity”. ‘Integrity’ merupakan kata sangat sering direkatkan stakeholder terhadap IPB, baik itu menggambarkan lulusannya maupun pengajar dan mahasiswanya serta seluruh sivitas akademinya.

Kata berikutnya, ‘Innovation’ telah lama dibuktikan IPB dengan berbagai penghargaan yang diberikan oleh lembaga di dalam dan di luar negeri, tetapi masih kurang dikomunikasikan dengan baik. Sementara ‘Inspiring’ bermakna mencerahkan dan memberikan ide untuk berbuat sesuatu yang baik.

Menurutnya ada berbagai pendekatan untuk mengevaluasi kesehatan brand. Ada cara ‘jalan pintas’ vs ‘penelusuran secara saksama’. Oleh karena layanan dalam pendidikan tinggi ini bersifat jasa yang mempunyai multiple stakeholder, maka jalan pintas tidak direkomendasikan.

“Pendekatan Ethnography Marketing yang dipilih dalam riset ini merupakan jalan panjang penelusuran untuk memahami konsumen secara holistik dari berbagai sudut dan perspektif,” ujarnya.

Dalam hal ini IPB melalui profesional telah melakukan rangkaian penelusuran data primer maupun sekunder dengan berbagai teknik, yaitu workshop internal dengan tokoh kunci, wawancara mendalam dengan future students, orang tua, guru-guru di sekolah, dan tentu saja tidak lupa melibatkan tokoh kunci di institusi, baik itu dalam diskusi terpisah secara individu maupun diskusi terfokus dalam kelompok.

Hasil kajian ilmiah tentang perubahan brand IPB tersebut sudah disampaikan dalam berbagai pertemuan dengan stakeholder, termasuk dalam rapat senat akademik. Selanjutnya sebutan bahasa Inggris dan tagline baru ini akan disahkan melalui keputusan Majelis Wali Amanat (MWA) IPB.

Di tempat terpisah, terkait inovasi, IPB tahun ini melalui Direktorat Inovasi dan Kekayaan Intelektual IPB University menargetkan sekitar 60 inovasi yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Direktur Inovasi dan Kekayaan Intelektual IPB Syarifah Iis Aisyah dalam acara Pelatihan Penelusuran dan Penulisan Deskripsi Paten mengatakan, inovasi harus didorong untuk dapat memiliki hak paten. “Terlebih IPB saat ini sudah mengubah tagline menjadi inspiring innovation with integrity sehingga inovasi harus betul-betul dikelola dengan baik dan fokus,” ucapnya.

Menurutnya, melalui pelatihan ini para inventor bisa memiliki pemahaman tentang pelatihan dan kekayaan intelektual (KI), juga dapat deskripsi paten yang betul-betul sempurna. “Diharapkan selesai pelatihan mereka mempunyai suatu draf proposal yang bisa didaftarkan terutama untuk program dalam waktu dekat, yaitu raih HAKI dan uber HAKI,” katanya.

Selain itu, dia juga menyebutkan, masih menjadi tantangan dalam komersialisasi teknologi adalah perbedaan antara kebutuhan industri dan hasil riset perguruan tinggi. “Hasil riset yang masih skala laboratorium baru belum teruji, belum ada prototipe dan mempunyai risiko tinggi, juga kurangnya kepercayaan pelaku bisnis di Indonesia terhadap riset-riset yang dihasilkan perguruan tinggi,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2222 seconds (0.1#10.140)