Menyeimbangkan Tiga Skills

Kamis, 28 Maret 2019 - 11:14 WIB
Menyeimbangkan Tiga...
Menyeimbangkan Tiga Skills
A A A
REVOLUSI Industri 4.0 menjadikan tren otomasi dan pertukaran data terkini sebagai fenomena global. Menyongsong era baru ini pemerintah pun telah melakukan sejumlah kebijakan.

Ada tiga skills atau kemampuan dasar harus dihidupkan secara seimbang di setiap insan agar ke depan muncul generasi yang mampu menghadapi Revolusi Industri 4.0 tersebut.

Ketiga kemampuan dasar yang mesti dikembangkan itu, pertama ialah life skills yang membekali untuk bisa memahami dirinya dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Kedua, learning and innovation skills yang membekali untuk selalu kreatif, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah kompleks, mampu berkola borasi, serta berkomunikasi secara efektif. Ketiga, yaitu literacy skills yang membekali dengan berbagai pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi.

Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Inovasi dan Daya Saing Ananto Kusuma Seta menjelaskan, pemerintah pun langsung tancap gas agar anak-anak mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pen didikan tinggi (PT) bisa memiliki ketiga skills tersebut. Kebijakan itu sudah terealisasi di lapangan.

Menurut Ananto, kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ialah penguatan pendidikan karakter (PPK). “Kebijakan PPK ada untuk menumbuh kembangkan life skills siswa sejak dini. Inilah esensi dari pendidikan itu, yakni memanusiakan manusia,” katanya.
PPK diperlukan untuk membangun dan membekali para calon generasi emas Indonesia 2045 da lam menghadapi dinamika per ubahan di masa depan dengan keterampilan abad 21.
Berdasarkan data Kemendikbud, target sekolah yang melaksanakan PPK pada 2019 mencapai 218.989 sekolah. Dia mengatakan, revolusi industri itu tidak diam di satu masa melainkan akan segera berpindah ke 5.0, 6.0, dan seterusnya. Di sini makna dan peran PPK ini penting, sebab yang perlu dijaga dan tak akan pernah berubah adalah nilainilai kemanusiaan ini.

“Generasi yang mengenal jati dirinya akan mampu mengendalikan kemajuan dan teknologi sebagai tools untuk men capai tujuan. Sebaliknya, generasi yang kehilangan jati dirinya, maka teknologi yang akan mengenda likan hidupnya,” katanya. Kebijakan kedua ialah melalui penguatan higher order thinking skills (HOTS).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi buah pikiran dari taksonomi berpikir Bloom ini menumbuhkan kemampuan yang terangkum dalam 4C. Ananto menuturkan, 4C adalah creativity, critical thinking and complex problem solving, collaboration, communication. Asesment HOTS ini telah diuji kepada siswa melalui Ujian Nasional (UN) dan Ases men Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).

Asesment HOTS pada UN ini sempat membuat heboh pada 2018 lalu, sebab masyarakat menilai soal HOTS ini terlalu sulit dan dilakukan secara tiba-tiba. Pada hal soal yang diuji HOTS ini hanya terdiri 10% dari total soal. Sementara AKSI diterapkan di beberapa sekolah percontohan sebagai sistem penilaian nasional meski Indonesia secara rutin mengikuti survei yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA).

Sementara kebijakan ketiga, yakni penguatan literasi melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dia menjelaskan, penguatan GLN ini terkait di enam sektor, yakni literasi baca tulis, literasi sains, literasi data, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewarganegaraan. Ananto menjelaskan, pemerintah juga merevitalisasi pendidikan vokasi untuk menyiapkan generasi terampil yang ino va tif dan berjiwa enterpreneur.

Mengenai revitalisasi pendidikan vokasi ini Kemendikbud melakukan sejumlah program untuk mendorong sekolah menengah ke ju ruan (SMK) dapat menye diakan tenaga kerja terampil yang siap kerja di berbagai sektor prioritas nasional, seperti pertanian, industri, pariwisata, bahkan ekonomi kreatif.

Menurut Ananto, pekerjaan yang bersifat rutin, manual, dan kognitif akan digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, lulusan pendidikan harus disiapkan dengan kecakapan agar bisa mencipta peluang kerja baru. Pedagogi pembelajaran pun mulai dari SD mulai digeser ke konsep knowledge based learning ke project based learning.

“Siswa diajarkan untuk bisa memecahkan masalah yang ada di sekitarnya secara berkelompok dengan pendekatan inter disiplin. Pembelajaran ini akan merangsang tumbuhnya inovasi, kreativitas, empati, leadership, dan kolaborasi sejak dini,” katanya.

Dia menjelaskan, jenis pekerjaan yang belum bisa digantikan oleh mesin atau robot adalah jenis pekerjaan bersifat analitik dan interpersonal, seperti seniman dan budayawan. Karena itu, Indonesia harus mampu mengapitalisasi kekuatan seni dan budaya Indonesia untuk jadi kekuatan daya saing bangsa di Era Industri 4.0. “Inilah skills yang dibekalkan untuk generasi muda Indonesia ke depan,” katanya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ke mendikbud Didik Suhardi menjelaskan, pihaknya mengembangkan Rumah Belajar sebagai salah satu sarana mendekatkan teknologi pada sistem pembelajaran di sekolah. Rumah Belajar berisi konten bahan belajar yang bisa diakses oleh semua guru dan siswa mulai dari PAUD hingga SMA secara gratis.

Didik menyampaikan bahwa portal itu sudah diakses lebih dari 12 jutaan pengunjung. Namun, katanya, bahwa pembelajaran yang paling baik ialah melalui guru, sebab guru adalah role model yang menginspirasi, sementara teknologi hanyalah alat bantu memudahkan pembelajaran di kelas saja.

Sementara itu, di sisi pendidikan tinggi, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan, perguruan tinggi harus mengubah pola pikir dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan cara lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian, bisa dihasilkan terobosan dan inovasi sistem pendidikan dan pembelajaran. Menristekdikti mengatakan, Revolusi Industri 4.0 juga telah mengubah sistem pembelajaran yang ada.

Oleh karena itu, perkembangan teknologi harus diikuti dengan inovasi dalam sistem pembelajaran. Perguruan tinggi Indonesia harus bergerak cepat agar tidak tertinggal dari negara lain. “Kalau tidak melakukan itu, kita akan tertinggal dari negara lain dan paling dibutuhkan adalah kreativitas,” ujarnya.

Menristekdikti menekankan, perguruan tinggi harus mampu menghadirkan program studi atau prodi berorientasi pada kebutuhan pasar kerja ke depan. “Contoh prodi visioner yang su dah berdiri misalnya, prodi rekayasa kebakaran, prodi pengelolaan perkebunan kopi, prodi bisnis jasa makanan, logistic management, dan prodi politik Indonesia terapan.

Begitu pun dengan bidang ekonomi, penting untuk menguasai programming, cloud computing, mahasiswa didorong untuk memiliki talent, jangan hanya diajar kan mencari pekerjaan,” ujarnya.

Nasir menambahkan, pemerintah akan mendukung melalui instrumen regulasi bagi perguruan tinggi di se laraskan dengan era Industri 4.0. “Peningkatan publikasi internasional kita dorong salah satunya dengan Science and Technology Index (SINTA).

Riset tidak lagi sendiri-sendiri, tapi bagaimana ber kolaborasi dan bersinergi dengan peneliti dunia, serta harus juga bisa menghasilkan inovasi (hak paten),” kata Nasir. Pengamat pendidikan, Asep Saefuddin berpendapat, untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 tidak hanya bergantung pada kecakapan teknologi.

Namun, tergantung pada mutu sumber daya manusia, regulasi, sistem pendidikan, dan juga kerja sama antara universitas, pemerintah, dan sektor bisnis swasta. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menyarankan sistem pendidikan di Tanah Air harus bisa mendekatkan antara kurikulum dengan kebutuhan industri.

Sementara itu, pakar pendidikan Indra Charismiadji menjelaskan, dalam semua sendi kehidupan pun serba digital. Bahkan menjadi petani pun sekarang hasil jualnya berbasis digital. “Yang harus dikembangkan, yakni kemampuan berpikir, kemampuan menciptakan. Kita bicara HOTS dan juga Internet of Things (IoT),” katanya.

KORAN SINDO-Neneng Zubaidah
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9998 seconds (0.1#10.140)