Mahasiswa Indonesia Tertinggal di Teknologi, Unggul di Talent
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi Indonesia meski tertinggal dalam bidang teknologi dibandingkan dengan negara lain namun unggul dalam hal talent atau bakat.
“Hal tersebut apabila diukur dari 3 indeks: talent, toleran dan teknologi. Indonesia unggul dalam aspek talent. Jadi semua calon wisudawan dan wisudawati perguruan tinggi sebetulnya mereka adalah pribadi-pribadi yang berbakat,” kata Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Universitas Krisnadwipayana dan dosen tamu University Utara Malaysia Dr Abdullah Sumrahadi MSi kepada pers, di sela acara Wisuda di Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Menurut dia, persoalannya adalah bagaimana dunia kerja mampu merespons talent-talent para sarjana lulusan perguruan tinggi tersebut. Sehingga hubungan antara penerima kerja dan perguruan tinggi tidak hanya sekadar menjadi receiver dan sender, namun lebih dari itu yakni mampu menciptakan peluang baru.
“Sekarang ini kalau bicara entrepreneur adalah dimana penekanan revolusi dalam pendidikan tinggi adalah bagaimana merevolusi mindset mahasiswa bergeser dari semula berpikir lulus kuliah harus melamar pekerjaan tapi berubah menjadi berpola pikir bagaimana menjadi entrepreneur. Kalau seseorang menjadi entrepreneur maka otomatis dalam jiwa mereka sudah terdidik menjadi seorang pemimpin,” kata Sumrahadi.
Dia mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan perguruan tinggi adalah meredesain kurikulum. Dimana saat ini Unkris sudah menyiapkan 3 line kurikulum. Yakni, pertama menyiapkan seseorang menjadi akademisi atau ilmuwan yang tangguh, kedua menyiapkan seseorang yang profesional dan yang ketiga menyiapkan seseorang menjadi entrepreneur.
“Harapan kepada wisudawan dan wisudawati adalah mereka bisa berbuat sesuai keilmuan yang diperoleh. Mereka harus bisa menerapkan tidak hanya ilmu tapi juga mengaplikasikan teknologi, seni dan kebudayaan,” kata Sumrahadi.
Selain itu, kata dia, persoalan lain di Indonesia adalah pendidikan di Indonesia memiliki dualisme sistem. Dimana yang satu menumpukan diri kepada keahlian, sedangkan yang satunya lagi kepada keterampilan.
“Nah kalau kita melihat tren di luar negeri, contohnya di negara negara Eropa, program S1, S2 dan S3 itu sepi peminat. Justru yang tertarik pada S1, S2, dan S3 malah mahasiswa internasional. Sedangkan orang-orang domestik atau orang-orang lokal sendiri lebih senang sekolah politeknik atau sekolah vokasi,” ungkap Sumrahadi yang pernah menjadi dosen di sejumlah negara.
Dia menjelaskan, dalam sekolah vokasi, begitu seseorang belajar sesuatu sedikit maka dia bisa langsung hands on. “Misalnya dia ingin belajar tentang virtual reality, jadi mereka langsung tertuju pada bidang itu yang langsung dia tekuni. Sedangkan hal-hal lain seperti lifeskill itu dipelajari dari masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,” kata dia.
Sementara itu, Rektor Unkris Dr H Abdul Rivai SE MSi mengatakan, salah satu tantangan masa depan yang harus dihadapi Unkris adalah revolusi 4.0. Ciri revolusi 4.0 adalah punahnya sejumlah jenis pekerjaan yang dapat digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifial.
“Meskipun begitu ada pekerjaan yang tidak mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan manusia yakni, jenis pekerjaan yang membutuhkan kecakapan sosial yang tinggi. Kecakapan sosial sifatnya lebih mendalam dan intrinsik melekat dengan individu sehingga tidak mungkin dapat digantikan oleh kecerdasan buatan,” kata Rivai.
Di sisi lain, dalam rangka menyiapkan diri dari hal-hal uncertainty kemajuan teknologi tersebut maka Unkris menciptakan kurikulum yang responsif dengan perkembangan zaman. “Älhamdulillah pada tahun 2019 ini Fakultas Teknik berhasil menambah 2 program studi baru yakni, Program Studi Sistem Informasi Program Sarjana dan Program Studi Manajemen Teknologi Program Magister,” kata dia.
Ada pun dalam wisuda kali ini Unkris berhasil meluluskan 462 sarjana strata 1, kemudian 154 magister atau strata 2 dan 1 orang doktor atau S3. Jadi total mahasiwa yang diwisuda sebanyak 617 orang.
“Hal tersebut apabila diukur dari 3 indeks: talent, toleran dan teknologi. Indonesia unggul dalam aspek talent. Jadi semua calon wisudawan dan wisudawati perguruan tinggi sebetulnya mereka adalah pribadi-pribadi yang berbakat,” kata Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Universitas Krisnadwipayana dan dosen tamu University Utara Malaysia Dr Abdullah Sumrahadi MSi kepada pers, di sela acara Wisuda di Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Menurut dia, persoalannya adalah bagaimana dunia kerja mampu merespons talent-talent para sarjana lulusan perguruan tinggi tersebut. Sehingga hubungan antara penerima kerja dan perguruan tinggi tidak hanya sekadar menjadi receiver dan sender, namun lebih dari itu yakni mampu menciptakan peluang baru.
“Sekarang ini kalau bicara entrepreneur adalah dimana penekanan revolusi dalam pendidikan tinggi adalah bagaimana merevolusi mindset mahasiswa bergeser dari semula berpikir lulus kuliah harus melamar pekerjaan tapi berubah menjadi berpola pikir bagaimana menjadi entrepreneur. Kalau seseorang menjadi entrepreneur maka otomatis dalam jiwa mereka sudah terdidik menjadi seorang pemimpin,” kata Sumrahadi.
Dia mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan perguruan tinggi adalah meredesain kurikulum. Dimana saat ini Unkris sudah menyiapkan 3 line kurikulum. Yakni, pertama menyiapkan seseorang menjadi akademisi atau ilmuwan yang tangguh, kedua menyiapkan seseorang yang profesional dan yang ketiga menyiapkan seseorang menjadi entrepreneur.
“Harapan kepada wisudawan dan wisudawati adalah mereka bisa berbuat sesuai keilmuan yang diperoleh. Mereka harus bisa menerapkan tidak hanya ilmu tapi juga mengaplikasikan teknologi, seni dan kebudayaan,” kata Sumrahadi.
Selain itu, kata dia, persoalan lain di Indonesia adalah pendidikan di Indonesia memiliki dualisme sistem. Dimana yang satu menumpukan diri kepada keahlian, sedangkan yang satunya lagi kepada keterampilan.
“Nah kalau kita melihat tren di luar negeri, contohnya di negara negara Eropa, program S1, S2 dan S3 itu sepi peminat. Justru yang tertarik pada S1, S2, dan S3 malah mahasiswa internasional. Sedangkan orang-orang domestik atau orang-orang lokal sendiri lebih senang sekolah politeknik atau sekolah vokasi,” ungkap Sumrahadi yang pernah menjadi dosen di sejumlah negara.
Dia menjelaskan, dalam sekolah vokasi, begitu seseorang belajar sesuatu sedikit maka dia bisa langsung hands on. “Misalnya dia ingin belajar tentang virtual reality, jadi mereka langsung tertuju pada bidang itu yang langsung dia tekuni. Sedangkan hal-hal lain seperti lifeskill itu dipelajari dari masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,” kata dia.
Sementara itu, Rektor Unkris Dr H Abdul Rivai SE MSi mengatakan, salah satu tantangan masa depan yang harus dihadapi Unkris adalah revolusi 4.0. Ciri revolusi 4.0 adalah punahnya sejumlah jenis pekerjaan yang dapat digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifial.
“Meskipun begitu ada pekerjaan yang tidak mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan manusia yakni, jenis pekerjaan yang membutuhkan kecakapan sosial yang tinggi. Kecakapan sosial sifatnya lebih mendalam dan intrinsik melekat dengan individu sehingga tidak mungkin dapat digantikan oleh kecerdasan buatan,” kata Rivai.
Di sisi lain, dalam rangka menyiapkan diri dari hal-hal uncertainty kemajuan teknologi tersebut maka Unkris menciptakan kurikulum yang responsif dengan perkembangan zaman. “Älhamdulillah pada tahun 2019 ini Fakultas Teknik berhasil menambah 2 program studi baru yakni, Program Studi Sistem Informasi Program Sarjana dan Program Studi Manajemen Teknologi Program Magister,” kata dia.
Ada pun dalam wisuda kali ini Unkris berhasil meluluskan 462 sarjana strata 1, kemudian 154 magister atau strata 2 dan 1 orang doktor atau S3. Jadi total mahasiwa yang diwisuda sebanyak 617 orang.
(pur)