PTS di Papua-Papua Barat Siapkan Regulasi Pencegahan Kekerasan Seksual
A
A
A
DENPASAR - Perguruan tinggi swasta (PTS) di Papua dan Papua Barat berharap menjadi leading sector sebagai institusi pendidikan tinggi yang memiliki regulasi internal dalam hal pencegahan tindak kekerasan, khususnya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Mereka memahami kampus terbaik tidak hanya dilihat dari mutu pendidikan saja, tetapi juga kepastian keamanan bagi mahasiswa dan mahasiswi.
Demikian ditegaskan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah XIV Papua-Papua Barat, Suriel S Mofu di sela Rapat Kerja Wilayah Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta di Lingkungan LLDikti Wilayah XIV Papua-Papua Barat di Denpasar, Kamis (9/5/2019), yang dihadiri sebanyak 63 pimpinan PTS baik rektor, ketua sekolah tinggi maupun pimpinan yayasan.
Salah satu pemateri dalam rapat tersebut, yaitu Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar, yang menyampaikan tentang pentingnya pergutuan tinggi untuk memiliki regulasi pencegahan kekerasan seksual. Regulasi dimaksud berupa peraturan internal baik yang dikeluarkan pimpinan yayasan maupun kampus, baik itu rektor atau ketua sekolah tinggi masing-masing.
Kepala LLDikti XIV Papua-Papua Barat, Suriel S Mofu mengatakan rapat kerja wilayah kali pertama yang melibatkan LPSK. Harapannya, kalangan perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat bisa mendapatkan informasi tentang tugas LPSK.
“Kami ingin kampus menjadi rumah yang aman dan nyaman. Warganya merasa terlindungi sehingga perlu aturan yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi,” ujar Mofu dalam rilis yang diterima SINDOnews, Jumat (10/5/2019).
Menurut dia, kampus tidak hanya menghasilkan lulusan dengan intelektualitas yang tinggi tetapi juga harus berakhlak mulia, memiliki sifat yang baik dan mampu menjadi teladan. “Setelah mendapatkan materi LPSK, ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dari rapat ini, antara lain akan dilakukan kerja sama dalam bentuk MoU antara perguruan tinggi di Papua-Papua Barat dengan LPSK,” jelas Mofu.
Rekomendasi lainnya, lanjut Mofu, PTS di Papua-Papua Barat akan melahirkan produk peraturan pimpinan perguruan tinggi yang diimplementasi di kampus masing-masing. Ini bertujuan melindungi civitas akademika dari tindak kekerasan dalam bentuk apapun, khususnya seksual.
“Pimpinan PTS sambut baik usulan kerja sama dan butuh bimbingan teknis dari LPSK,” katanya.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar mengatakan, regulasi yang jelas dari para pimpinan perguruan tinggi sangat diperlukan sebagai pondasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di kampus, khususnya seksual. Selain itu, diperlukan pula kode etik yang jelas bagi para dosen dan tenaga pendidikan, serta pedoman perilaku bagi mahasiswa dan mahasiswi.
Livia melanjutkan, pedoman pencegahan tindak kekerasan itu meliputi apa yang dimaksud dengan kekerasan akademik, pelecehan seksual, pelecehan akibat kekuasaan/penyalahgunaan kekuasan dan masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh pelecehan itu. Kemudian diatur pula mengenai sistem pencegahan, layanan konseling, dan langkah-langkah penanganan jika terjadi kasus.
Dia juga menekankan pentingnya meningkatkan partisipasi civitas akademika agar tidak permisif terhadap kekerasan akibat ketidaksetaraan relasi, antara dosen-mahasiswi/mahasiswa; dosen senior-dosen junior; pejabat struktural–pejabat nonstruktural. Yang juga penting, kepada siapa dapat melaporkan apabila terjadi hal tidak menyenangkan di kampus dan bagaimana kasus itu ditindaklanjuti.
Hal lain, kata Livia, diperlukan student center dengan kemampuan untuk menerima pelaporan yang juga dapat memberikan konseling darurat, serta meningkatkan sistem keamanan di kampus dengan tenaga pengamanan yang dapat memberikan bantuan yang cepat. “Regulasi yang dikembangkan nanti tidak hanya berorientasi pada penanganan pelaku, tetapi juga menghormati hak-hak korban,” tutur dia.
Demikian ditegaskan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah XIV Papua-Papua Barat, Suriel S Mofu di sela Rapat Kerja Wilayah Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta di Lingkungan LLDikti Wilayah XIV Papua-Papua Barat di Denpasar, Kamis (9/5/2019), yang dihadiri sebanyak 63 pimpinan PTS baik rektor, ketua sekolah tinggi maupun pimpinan yayasan.
Salah satu pemateri dalam rapat tersebut, yaitu Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar, yang menyampaikan tentang pentingnya pergutuan tinggi untuk memiliki regulasi pencegahan kekerasan seksual. Regulasi dimaksud berupa peraturan internal baik yang dikeluarkan pimpinan yayasan maupun kampus, baik itu rektor atau ketua sekolah tinggi masing-masing.
Kepala LLDikti XIV Papua-Papua Barat, Suriel S Mofu mengatakan rapat kerja wilayah kali pertama yang melibatkan LPSK. Harapannya, kalangan perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat bisa mendapatkan informasi tentang tugas LPSK.
“Kami ingin kampus menjadi rumah yang aman dan nyaman. Warganya merasa terlindungi sehingga perlu aturan yang ditetapkan pimpinan perguruan tinggi,” ujar Mofu dalam rilis yang diterima SINDOnews, Jumat (10/5/2019).
Menurut dia, kampus tidak hanya menghasilkan lulusan dengan intelektualitas yang tinggi tetapi juga harus berakhlak mulia, memiliki sifat yang baik dan mampu menjadi teladan. “Setelah mendapatkan materi LPSK, ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dari rapat ini, antara lain akan dilakukan kerja sama dalam bentuk MoU antara perguruan tinggi di Papua-Papua Barat dengan LPSK,” jelas Mofu.
Rekomendasi lainnya, lanjut Mofu, PTS di Papua-Papua Barat akan melahirkan produk peraturan pimpinan perguruan tinggi yang diimplementasi di kampus masing-masing. Ini bertujuan melindungi civitas akademika dari tindak kekerasan dalam bentuk apapun, khususnya seksual.
“Pimpinan PTS sambut baik usulan kerja sama dan butuh bimbingan teknis dari LPSK,” katanya.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar mengatakan, regulasi yang jelas dari para pimpinan perguruan tinggi sangat diperlukan sebagai pondasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di kampus, khususnya seksual. Selain itu, diperlukan pula kode etik yang jelas bagi para dosen dan tenaga pendidikan, serta pedoman perilaku bagi mahasiswa dan mahasiswi.
Livia melanjutkan, pedoman pencegahan tindak kekerasan itu meliputi apa yang dimaksud dengan kekerasan akademik, pelecehan seksual, pelecehan akibat kekuasaan/penyalahgunaan kekuasan dan masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh pelecehan itu. Kemudian diatur pula mengenai sistem pencegahan, layanan konseling, dan langkah-langkah penanganan jika terjadi kasus.
Dia juga menekankan pentingnya meningkatkan partisipasi civitas akademika agar tidak permisif terhadap kekerasan akibat ketidaksetaraan relasi, antara dosen-mahasiswi/mahasiswa; dosen senior-dosen junior; pejabat struktural–pejabat nonstruktural. Yang juga penting, kepada siapa dapat melaporkan apabila terjadi hal tidak menyenangkan di kampus dan bagaimana kasus itu ditindaklanjuti.
Hal lain, kata Livia, diperlukan student center dengan kemampuan untuk menerima pelaporan yang juga dapat memberikan konseling darurat, serta meningkatkan sistem keamanan di kampus dengan tenaga pengamanan yang dapat memberikan bantuan yang cepat. “Regulasi yang dikembangkan nanti tidak hanya berorientasi pada penanganan pelaku, tetapi juga menghormati hak-hak korban,” tutur dia.
(kri)