Sistem Zonasi untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan zonasi yang diterapkan sejak tahun 2016 menjadi pendekatan baru yang dipilih pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.
Karena itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengimbau agar pemerintah daerah dapat turut memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait kebijakan zonasi. Mendikbud kembali menegaskan bahwa pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saja, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan.
“Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” tandas Muhadjir Effendy dalam rilis yang diterima KORAN SINDO, kemarin.
Menurut dia, penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat. Karena itu, redistribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan akan menggunakan pendekatan zonasi. Hal ini, ujarnya, diharapkan dapat mempercepat pemerataan kualitas pendidikan.
Menurut Mendikbud, setiap sekolah harus mendapatkan guru-guru dengan kualitas yang sama baiknya. Rotasi guru di dalam zona menjadi keniscayaan sesuai dengan amanat undang-undang. “Pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona itu. Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi,” ujarnya.
Meski demikian, Mendikbud menyampaikan bahwa penetapan zona itu prinsipnya fleksibel dan melampaui batas-batas wilayah administratif. Misalkan, dikarenakan kendala akses ataupun daya tampung sekolah, maka sangat dimungkinkan pelebaran zona sesuai situasi dan kondisi di lapangan. “Karena itu, Kemendikbud tidak mengatur sampai detail. Sehingga pemerintah daerah dapat menyusun petunjuk teknis dengan lebih baik,” tandasnya.
Jadi, lanjutnya, jika memang daerah ada kondisi tertentu, maka bisa disesuaikan. Cukup ada perjanjian kerja sama antar pemerintah daerah mengenai hal ini. Pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru, menurut dia, dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.
“Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya,” ujarnya.
Sebab, pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. “Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non discrimination,” ungkapnya.
Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya. Mendikbud mencontohkan, kisah peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah.
Anak itu harus berangkat pukul 05.30 pagi dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya. “Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini kan tidak benar,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan, saat ini memang masyarakat Indonesia dalam kondisi masih menolak dengan tinggi kebijakan PPDB sistem zonasi. Namun, dia menilai tujuan sistem zonasi untuk menghapus sekolah unggulan atau favorit harus didukung semua pihak.
“'Tugas pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mengedukasi masyarakat terkait perlunya sistem zonasi ini untuk memeratakan kualitas pendidikan,”' katanya pada konferensi pers di kantor KPAI, Jakarta, kemarin.
Retno menjelaskan, perlu diinformasikan tentang kondisi sekolah biasa dan unggulan itu saat ini bedanya sangat tinggi. Dia sebagai guru dan kepala sekolah selama 24 tahun telah melihat bahwa sekolah unggulan memiliki akses ke fasilitas hingga bantuan dari daerah dan pusat lebih banyak. Sementara sekolah yang tidak unggul luput dari perhatian.
Melalui sistem zonasi, katanya, maka semua sekolah nantinya akan menjadi berkualitas dan unggulan. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mendorong pemerintah daerah untuk meratakan sarana prasarana dan juga guru berkualitas. Retno mengungkapkan, kualitas sekolah sudah lebih merata meski sistem zonasi baru berjalan tiga tahun.
Perbaikan kualitas ini, ujarnya, mengacu pada Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) Kemendikbud 2018 yang mendata bahwa cukup banyak pergeseran pada daftar sekolah terbaik di provinsi. Dia meyakini, beberapa tahun ke depan kualitas sekolah akan semakin merata sejalan dengan semakin baiknya penerapan zonasi dalam PPDB.
“Mengukir prestasi tidak mengenal sekolah negeri atau swasta, tidak juga sekolah favorit atau bukan. Prestasi lebih banyak di tentukan oleh semangat belajar dan ketekunan,” katanya.
Dari sisi perlindungan anak, dia menerangkan, KPAI memandang sistem zonasi sejalan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Sebab, makin dekatnya anak ke sekolah tidak akan membuat anak kelelahan di jalan. Selain itu, anak juga bisa sarapan tepat waktu sehingga pencernaanya pun sehat. Selain itu juga menghindari kekerasan karena teman main anak di rumah dan di sekolah sebagian besar sama dan orangtuanya saling mengenal.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy menilai ada beberapa kelemahan yang masih terlihat dalam sistem zonasi ini. Yakni, Kemendikbud dan dinas pendidikan di daerah kurang gencar dalam menyosialisasikan permendikbud yang baru sehingga masih menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu juga Kemendikbud kurang berkoordinasi dengan Kemendagri dalam penerapan sistem zonasi, sehingga beberapa kepala daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut. (Neneng Zubaidah)
Karena itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengimbau agar pemerintah daerah dapat turut memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait kebijakan zonasi. Mendikbud kembali menegaskan bahwa pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saja, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan.
“Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” tandas Muhadjir Effendy dalam rilis yang diterima KORAN SINDO, kemarin.
Menurut dia, penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat. Karena itu, redistribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan akan menggunakan pendekatan zonasi. Hal ini, ujarnya, diharapkan dapat mempercepat pemerataan kualitas pendidikan.
Menurut Mendikbud, setiap sekolah harus mendapatkan guru-guru dengan kualitas yang sama baiknya. Rotasi guru di dalam zona menjadi keniscayaan sesuai dengan amanat undang-undang. “Pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona itu. Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi,” ujarnya.
Meski demikian, Mendikbud menyampaikan bahwa penetapan zona itu prinsipnya fleksibel dan melampaui batas-batas wilayah administratif. Misalkan, dikarenakan kendala akses ataupun daya tampung sekolah, maka sangat dimungkinkan pelebaran zona sesuai situasi dan kondisi di lapangan. “Karena itu, Kemendikbud tidak mengatur sampai detail. Sehingga pemerintah daerah dapat menyusun petunjuk teknis dengan lebih baik,” tandasnya.
Jadi, lanjutnya, jika memang daerah ada kondisi tertentu, maka bisa disesuaikan. Cukup ada perjanjian kerja sama antar pemerintah daerah mengenai hal ini. Pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru, menurut dia, dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.
“Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya,” ujarnya.
Sebab, pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. “Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non discrimination,” ungkapnya.
Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya. Mendikbud mencontohkan, kisah peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah.
Anak itu harus berangkat pukul 05.30 pagi dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya. “Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini kan tidak benar,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan, saat ini memang masyarakat Indonesia dalam kondisi masih menolak dengan tinggi kebijakan PPDB sistem zonasi. Namun, dia menilai tujuan sistem zonasi untuk menghapus sekolah unggulan atau favorit harus didukung semua pihak.
“'Tugas pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mengedukasi masyarakat terkait perlunya sistem zonasi ini untuk memeratakan kualitas pendidikan,”' katanya pada konferensi pers di kantor KPAI, Jakarta, kemarin.
Retno menjelaskan, perlu diinformasikan tentang kondisi sekolah biasa dan unggulan itu saat ini bedanya sangat tinggi. Dia sebagai guru dan kepala sekolah selama 24 tahun telah melihat bahwa sekolah unggulan memiliki akses ke fasilitas hingga bantuan dari daerah dan pusat lebih banyak. Sementara sekolah yang tidak unggul luput dari perhatian.
Melalui sistem zonasi, katanya, maka semua sekolah nantinya akan menjadi berkualitas dan unggulan. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mendorong pemerintah daerah untuk meratakan sarana prasarana dan juga guru berkualitas. Retno mengungkapkan, kualitas sekolah sudah lebih merata meski sistem zonasi baru berjalan tiga tahun.
Perbaikan kualitas ini, ujarnya, mengacu pada Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) Kemendikbud 2018 yang mendata bahwa cukup banyak pergeseran pada daftar sekolah terbaik di provinsi. Dia meyakini, beberapa tahun ke depan kualitas sekolah akan semakin merata sejalan dengan semakin baiknya penerapan zonasi dalam PPDB.
“Mengukir prestasi tidak mengenal sekolah negeri atau swasta, tidak juga sekolah favorit atau bukan. Prestasi lebih banyak di tentukan oleh semangat belajar dan ketekunan,” katanya.
Dari sisi perlindungan anak, dia menerangkan, KPAI memandang sistem zonasi sejalan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Sebab, makin dekatnya anak ke sekolah tidak akan membuat anak kelelahan di jalan. Selain itu, anak juga bisa sarapan tepat waktu sehingga pencernaanya pun sehat. Selain itu juga menghindari kekerasan karena teman main anak di rumah dan di sekolah sebagian besar sama dan orangtuanya saling mengenal.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy menilai ada beberapa kelemahan yang masih terlihat dalam sistem zonasi ini. Yakni, Kemendikbud dan dinas pendidikan di daerah kurang gencar dalam menyosialisasikan permendikbud yang baru sehingga masih menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu juga Kemendikbud kurang berkoordinasi dengan Kemendagri dalam penerapan sistem zonasi, sehingga beberapa kepala daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut. (Neneng Zubaidah)
(nfl)