Sistem Zonasi Solusi Masalah Pendidikan dengan Pendekatan Mikroskopik

Minggu, 23 Juni 2019 - 06:00 WIB
Sistem Zonasi Solusi...
Sistem Zonasi Solusi Masalah Pendidikan dengan Pendekatan Mikroskopik
A A A
JAKARTA - Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan sistem zonasi memicu keresahan kalangan orang tua murid. Bahkan sebagian di antara mereka meminta sistem yang telah berjalan tiga tahun ini dievaluasi. Namun Kemendikbud bersikukuh melanjutkan program itu karena menganggap pendekatan tersebut tepat menyelesaikan berbagai soal pendidikan.

Bagaimana argumentasinya? Berikut ini wawancara KORANSINDO dan SINDOnews dengan Mendikbud Muhadjir Effendy di rumah dinasnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, kemarin.

Sistem zonasi ini menuai protes masyarakat. Bagaimana respons Anda?

Saya kira kalau ada komplain, ada reaksi dari masyarakat itu kita anggap hal wajar saja. Karena ini hal baru, kalau ada yang belum pas akan kita sesuaikan dan seterusnya. Dan PPDB berbasis zonasi ini bukan tahun ini (diberlakukan). Ini sudah tahun ketiga dan sudah mengalami proses penyempurnaan-penyempurnaan dari waktu ke waktu dan sudah kita antisipasi kemungkinan munculnya ketidakpuasan dan selalu saja ada itu. Dan saya terus berusaha antisipasi setiap persoalan yang ada itu.

Di media sosial muncul banyak meme seperti tentang adanya jasa pindah rumah ke lokasi dekat sekolah negeri. Sepertinya publik sudah begitu kesal dengan sistem zonasi?

Tidak apa-apa kalau guyonan. Kalau lucu kita bisa tertawa. Kalau tidak buat ketawa ya kita lihat saja. Saya tidak melihat sesuatu hal yang istimewa dengan ini. Ya saya kira semua kebijakan tidak ada yang bisa memuaskan semua. Tapi seorang yang mendapat amanah dari pemerintah, apalagi membantu presiden itu, kan tugas menteri menerjemahkan visi presiden. Menteri tidak boleh buat visi sendiri dan presiden selalu menekankan keberpihakan terhadap wong cilik. Pihak yang selama ini kurang mendapatkan peluang yang cukup untuk mendapatkan akses.

Dan juga untuk membangun dari wilayah pinggir yang jangan hanya diartikan parsial tempatnya di pinggir. Tapi mereka yang tersingkir. Mereka yang mengalami segregasi atau ketersingkiran itu juga harus diperjuangkan. Saya punya staf yang mengisahkan ada anaknya yang berteman satu kelas sejak SD dan kemudian masuk SMP. Yang anaknya staf saya lolos di sekolah yang passing grade-nya tinggi, tapi sayang temannya ini tidak lolos sampai akhirnya dia sekolah di swasta yang jauhnya kira-kira 20 km. Dia setengah enam berangkat dan setengah enam lagi baru pulang. Akhirnya dia putus sekolah. Sekarang dia jadi tukang batu, sementara anak staf saya menjadi dokter gigi. Nah negara tidak boleh membiarkan kenyataan seperti ini.

Kita harus berpihak ke orang-orang yang tersegregasi, terpinggirkan ini. Karena ini adalah program kita membangun dari pinggiran. Bayangkan kalau ada anak karena dia dari keluarga tidak mampu dan karena itu nilai akademisnya rendah, dia harus sekolah sampai 20 km, sementara 100 meter dari tempatnya ada sekolah.

Soal kebijakan pasti harus berpihak pada keberpihakan. Tidak ada kebijakan yang betul-betul bisa memuaskan semuanya. Dan setiap kebijakan itu ada yang bisa didapat, tapi di situ ada pengorbanan. Karena itu saya mohon kesadarannya kepada semuanya bahwa negara itu harus melayani semuanya tanpa kecuali.

Saya juga melihat komentar di Facebook saya, misalnya ada yang mengeluh, “Wah anak saya sekolahnya kumpul dengan calon preman, calon penjahat, calon pencuri.” Saya kira itu suatu sikap mental yang tidak patut karena seolah-olah dia ingin negara memperhatikan anaknya yang nanti calon pejabat atau calon orang berhasil dan oleh karena itu dia tidak ikhlas dengan dicampur dengan anak yang dianggap akan jadi preman itu.

Saya kira kita harus mencoba berempati. Membayangkan bagaimana kalau dia sebagai orang tua anaknya disebut orang lain akan jadi calon preman, akan jadi calon penjahat. Dan ini adalah sikap mental yang harus diubah dan ini bagian dari target kita.

Memang sekarang masih banyak masyarakat yang berburu sekolah favorit dan itu hak dan karena itu masih kita beri ruang sekitar 5–15%. Tapi kalau yang sudah berprestasi di dalam zona itu sudah otomatis.
Dan saya tekankan sekali lagi bahwa zonasi ini tidak melulu untuk PPDB. Tapi semua persoalan pendidikan akan diselesaikan dengan zonasi. Dan sudah sebetulnya. Sekarang ini yang sedang kami persiapkan dan saya minta untuk dilaksanakan ialah rotasi guru.
Jadi guru tidak boleh lagi ada di satu sekolah, tapi harus tersebar. Apalagi ketidakmerataan guru setelah dipotret dengan pendekatan zonasi kentara sekali ada sekolah yang isinya sebagian besar PNS dan ada sebagian lagi guru honorer dan ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada kebijakan rotasi. Ada tour of duty dan tour of area itu.

Termasuk sarana-prasarana akan kita lihat nanti. Dengan zonasi kelihatan sekali sekolah yang sarana-prasarananya sangat tertinggal dan yang sudah sangat maju. Kenapa maju karena di sini ada sekumpulan keluarga kaya yang bisa memberikan kontribusi kepada sekolah dan anak-anak yang pintar-pintar karena hasil seleksinya seperti itu. Sementara ada sekolah yang kualitas akademisnya rendah karena dari keluarga tidak mampu karena itu ya sarana-prasaranaya menjadi tertinggal. Ini akan ditangani secara bertahap, tetapi tetap simultan.

Dalam pandangan Anda, mengapa sistem zonasi memicu persoalan di masyarakat?

Tadi itu jadi memang ada bebeapa daerah, terutama yang telat merespons peraturan yang ada. Dan aspirasi masyarakat yang masih belum berubah tentang sekolah favorit. Dan saya akui memang masih ada yang harus bekerja lebih keras untuk sosialisasi kepada masyarakat dan sebagainya.

Jadi banyak hal yang harus kita kerjakan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Dan saya berharap kerja sama dari semua pihak, terutama pemerintah daerah, karena sekarang anggaran pendidikan sebagian besar sudah di daerah. Sebanyak 64% dari total APBN yang dialokasikan untuk pendidikan, 20% itu ada di daerah. Sementara yang di pusat terutama yang diperoleh Kemendikbud itu hanya sekitar 7% lebih yang tentu saja tidak mungkin itu digunakan untuk membenahi pendidikan secara frontal tanpa dukungan dari provinsi dan kabupaten kota.

Sistem zonasi di Indonesia dinilai belum siap?

Kita ini tidak pernah siap. Bahkan merdeka dulu juga enggak siap. Kalau enggak dipaksa, kita juga enggak segera melakukan proklamasi. Jadi kalau saya sih, apa pun dikata, setelah kita nilai semua sudah dalam keadaan wajar ya kita lakukan.

Perlu saya beri tahu bahwa kebijakan zonasi ini muncul sebagai rekomendasi sebelum saya jadi menteri. Jadi sudah ada kajian yang cukup mendalam dari Kemendikbud melalui Kabalitbang. Dan salah satu hal yang dianggap tepat untuk melakukan solusi atau untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia itu ialah dengan berbasis zonasi. Hanya memang perlu keberanian untuk mengambil keputusan bahwa itu diterapkan atau tidak.

Kebetulan setelah saya diskusikan dengan beberapa staf ahli dan eselon 1 kita sepakat bahwa kita terapkan zonasi ini. Perlu saya tegaskan bahwa zonasi bukan hanya PPDB, tapi seluruh persoalan pendidikan akan didekati penyelesaiannya melalui sistem zonasi.

Salah satu ketidaksiapan yang jadi sorotan adalah ketidakseragaman kualitas sekolah yang ada di Indonesia?

Justru dengan pendekatan zonasi inilah yang kita usahakan akan kita selesaikan berbagai macam ketimpangan yang ada di kita agar standar minimum pelayanan pendidikan itu betul-betul segera bisa terealisasi. Karena kalau bukan dengan zonasi ini kita akan mendapatkan peta yang sangat buram, yang tidak cukup informatif untuk menyelesaikan persoalan itu. Sebab gambar yang didapat akan terlalu makro sehingga masalah-masalah itu itu tidak jelas, tidak tajam. Tapi setelah kita perkecil makroskopik menjadi mikroskopik, dipecah ke dalam zona, maka ibarat mikroskop itu bisa diketahui secara tajam. Jadi ibarat wajah jika dari jauh kelihatan halus, tampan tapi setelah di-close-up kelihatan masih ada bopeng bekas jerawatnya.

Itulah gunanya zonasi ini. Oh, ternyata pendidikan kita itu setelah di-close-up per bagian itu tampak ada ketimpangan sarana-prasarana yang tidak baik. Ada ketimpangan distribusi guru. Kemudian ada sekian siswa yang belum bisa masuk sekolah. Itu akan tergambar jelas dengan pendekatan mikroskopik melalui sistem zonasi ini.

Sebenarnya tujuan sistem zonasi ini untuk meningkatkan mutu pendidikan atau menyamaratakan kualitas pendidikan?

Sebetulnya di dalam UU Sisdiknas itu ada amanah yang harus dipenuhi, yaitu negara perlu membangun apa yang dimaksud dengan ekosistem pendidikan. Ekosistem pendidikan itu melibatkan 3 pihak yang saling terkait, memperkuat dan melengkapi.

Pertama keluarga atau orang tua, kedua sekolah atau guru, dan ketiga masyarakat tentu saja di situ para tokoh masyarakat, pegiat pendidikan di masyarakat. Ini harus bersinergi bersama membangun sebuah ekosistem pendidikan. Supaya ekosistem ini jalan dengan baik, siswanya juga harus yang berada di dalam ekosistem itu.

Karena jika siswanya berada di luar ekosistem itu nanti kondisinya tidak menguntungkan. Dan itulah langkah pertama yang saya lakukan ketika saya ditunjuk sebagai mendikbud itu. Yang saya buat pertama adalah Permendikbud Nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah, yaitu suatu payung hukum yang menjalin hubungan kerja sama antara keluarga, masyarakat dan sekolah ini. Termasuk bagaimana mereka bahu-membahu dan bergotong-royong untuk membangun pendidikan, khususnya yang berbasis sekolah, itu dengan menghidupkan kembali manajemen berbasis sekolah.

Itulah tujuan pertama. Kita ingin membangun ekosistem yang baik dengan pendekatan zonasi ini. Kemudian yang kedua, sebetulnya zoning system ini termasuk bentuk penyempurnaan ataupun koreksi terhadap sistem lama yang setelah kita lihat dalam waktu yang cukup lama ini telah terjadi penyimpangan atau ketidak sesuaian dari sebuah kebijakan. Yaitu adanya kastanisasi sekolah.
Ini yang berkali disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla bahwa dia merisaukan tentang adanya kastanisasi sekolah. Ada sekolah negeri yang isinya itu anak-anak dari keluarga berada, yang secara akademik sangat tinggi tetapi satu sisi ada yang sangat paradox yaitu ada sekolah yang kumpulannya anak dari keluarga miskin, gizinya rendah maka kualitas kepandaiannya menjadi rendah.

Dan ini sebetulnya akibat dari sistem ketika penerimaan peserta didik baru dengan menggunakan kriteria akademik murni sehingga terjadi pengelompokan dengan passing grade tertentu maka ada sekolah yang hanya menerima kumpulan anak pandai dan tanda petik itu biasanya dari kelarga berada. Kemudian jika nanti gagal di sekolah itu turun ke sekolah yang juga menawarkan passing grade yang lebih rendah kemudian jika gagal lagi ke sekolah yang passing gradenya lebih rendah lagi yang akhirnya itu ada sekolah yang tidak ada passing gradenya dan inilah kumpulan anak-anak yang tidak mampu.

Dan ini bertentangan dengan prinsip pelayanan publik. Prinsip barang publik yang menjadi tanggung jawab negara. Karena prinsip barang publik itu adalah tidak boleh ada hak-hak eksklusif kepada kalangan tertentu, tidak boleh ada persaingan berlebihan di dalam memanfaatkan barang publik, dan tidak boleh ada diskriminasi. Jadi harus inklusif. Bisa melayani semua.

Praktik kastanisasi inilah yang akan kita ubah dan berantas di dalam sistem zonasi ini. Oleh karena itu, kenapa kita lakukan antarjalur radius. Kemudian ada jalur prestasi, tetap diberikan, terutama dari luar. Kalau prestasi ini sebetulnya di dalam zona sudah otomatis seperti yang dilakukan Jabar itu diranking ya? Kalau memang sekolah negerinya daya tampungnya terbatas sehingga nanti yang di luar ranking didorong ke swasta, tapi negara juga arus bertanggung jawab membina sekolah swasta dimana anak itu berada.

Kemudian masih ada peluang keluarga yang dari luar zona yang ingin masuk anaknya melalui jalur prestasi. Yang kemarin 5% kuotanya, tetapi atas saran Bapak Presiden kemudian supaya diperlonggar, kita ubah, intervalnya dari 5–15%. Kemudian juga mereka yang baru pindah dari tempat lain kita akomodasi 5%. Jadi sebetulnya ini merupakan perpaduan, tidak zonasi murni seperti di negara yang sudah settled seperti yang saya sebut tadi.

Sistem zonasi ini masih berbeda-beda di setiap daerahnya. Seperti di Tangerang 1 siswa hanya bisa memilih satu sekolah, sedangkan di Depok bisa memilih dua sekolah. Bagaimana bisa?

Di dalam penetapan zonasi itu kan awalnya Kemendikbud sudah membuat zonasi bayangan. Zonasi sementara. Jadi kalau Cakra Khan punya lagu Kekasih Bayangan, Kemendikbud punya zonasi bayangan. Kemudian kita sampaikan ke kepala dinas seluruh Indonesia untuk dikaji apakah zona ini sudah cocok sesuai lapangan.

Kita buat itu dari data yang kita miliki bersumber dari data pokok pendidikan (Dapodik). Adapun yang tahu persis medan itu ialah kepala dinas setempat. Dan itu sudah berlangsung selama 6 bulan. Jadi Permendikbud tentang zonasi No 51/2018 sudah kita terbitkan pada Desember 2018. Artinya ada 6 bulan kita untuk menyosialisasi, mendialogkan dan mendiskusikan dengan dinas-dinas mana yang paling sesuai dan tepat.

Jika ada zonasi yang kita tetapkan, lalu menurut dinas setempat belum tepat ya kita harus mengubah. Kan juga zonasi ini luwes. Tidak berbasis wilayah administratif. Bisa antar wilayah bahkan bisa antarprovinsi. Jadi jika Tangsel misalnya minta dukungan DKI bisa saja ada kerja sama Pemkot Tangsel dengan kota di DKI itu untuk minta sebagian siswa Tangsel untuk sekolah di zona DKI.

Jadi, dan itu sudah banyak yang melakukan itu di beberapa daerah. Sekali lagi zonasi tidak murni berbasis wilayah administrastif pemerintahan. Tapi berdasarkan keberadaan sekolah, jumlah sekolah, kemudian populasi siswa dan keberadaan guru, sarana prasarana sehingga selama 6 bulan masih dimungkinkan adanya perubahan zonasi.

Oleh karena itu ketika kita buat skenario 1.600 zonasi kemudian terjadi perubahan ada 2.600 lebih zona diseluruh Indonesia. Itu artinya ada proses penyesuaian perbaikan usulan dari kabupaten kota. Misal, menurut kita wilayahnya dekat itu, tetapi dilapangan dibelah sungai dan tidak ada jembatan makanya yang dekat jadi jauh sehingga harus ada perubahan. Jadi kita sudah beri waktu 6 bulan kesempatan kepada semua pihak terutama sekolah dan dinas pendidikan untuk melakukan penyesuaian kebijakan zonasi ini.


Input data siswa ada yang berlangsung berhari-hari karena SDM untuk menginput ini yang terbatas. Bagaimana solusinya?

Saya kira tidak semua. Hanya beberapa yang memang mengalami kendala. Bayangkan kita punya 2.600 zonasi. Tapi yang bermasalah tidak sampai 10%. Yang muncul ya. Saya tidak tahu yang tidak muncul. Mestinya selama 6 bulan sudah bisa disiapkan dengan baik.

Bahkan di beberapa daerah sesuai dengan arahan saya (orang tua) melakukannya (pendaftaran) tidak perlu mendaftar. Justru sekolah yang proaktif mendatangi rumah untuk mendata berapa populasi siswa di tempat itu dan sekarang mereka sudah tidak ribet lagi soal daftar-daftar seperti itu. Karena 6 bulan. 6 bulan waktu yang cukup menurut saya kalau dinas dan sekolah serius merespons.

Cuma saya memang agak menyesal karena banyak sekali daerah yang kemarin rakor dengan dinas provinsi itu ternyata masih banyak daerah yang surat keputusan bupati ataupun gubernurnya belum ditandatangani, Padahal mestinya dalam waktu 6 bulan perkiraan saya di Januari atau Februari atau paling lambat Maret sudah bisa final peraturan itu sehingga bisa disosialisasi ke masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang komplain.


Jadi siapa yang harus dievaluasi dalam hal keterlambatan ini?

Saya tidak bisa menyalahkan ke banyak hal, tetapi menurut saya sebaiknya hal yang semacam itu yang harus diperbaiki ke depan. Sebab saya sudah mengingatkan. Karena kita sudah sosialisasi sejak lama dan pertemuan sudah berkali-kali dengan dinas.

Bahkan di beberapa kesempatan saya sendiri yang memimpin rapat. Saya sendiri yang mendatangi. Termasuk pemanfaatan data yang ada di Dukcapil Kemendagri. Saya undang Dirjen Dukcapil ke kantor dan berdiskusi dengan staf kami dan saya pimpin sendiri dan kita sepakat mendukung kebijakan zonasi dengan menggunakan data Dukcapil di masing-masing daerah. Selain itu juga sudah ada surat edaran bersama antara Mendikbud dan Mendagri tentang pentingnya zonasi ini.


Apakah tahun depan ini masih akan diberlakukan sistem yang sama atau kombinasi dengan rayonisasi?

Saya kira tidak ada itu istilah kombinasi atau tidak kombinasi. Sebetulnya juga masih ada ruangan yang cukup untuk penyesuaian dari waktu ke waktu. Tapi kalau saya pribadi sebagai mendikbud rasanya tidak ada keinginan kita untuk ubah strategi yang kita tata ini karena sudah tiga tahun dan banyak sekali manfaat yang sudah bisa kita peroleh dari pendekatan ini dan tinggal bagaimana disempurnakan dari waktu ke waktu tadi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1966 seconds (0.1#10.140)