Sekolah Satu Atap Wujudkan Mimpi Warga Segeram
A
A
A
NATUNA - Kampung Segeram, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Dengan cadangan minyak dan gas buminya melimpah, tidak lantas membuat kampung ini maju. Justru sebaliknya, ketertinggalan dan keterbatasan menyelimuti warga kampung ini. Untuk menuju Kampung Segeram harus ditempuh melalui Ranai mengendarai speedboat selama satu jam yang sudah terparkir di Pelabuhan Binjai.
Perahu akan melewati barisan hijaunya hutan bakau. Semakin melaju ke tengah laut dapat dijumpai bagan-bagan apung milik nelayan. Perjalanan akan melewati Pulau Sedanau yang terkenal akan ikan Napoleon-nya. Ikan yang sudah cukup terkenal hingga mancanegara itu. Fasilitas yang ada di kampung ini pun sangat terbatas.
Tidak ada listrik yang mengaliri kampung ini. Kebutuhan listrik didapatkan dari tenaga surya dan mesin diesel. Selain itu, di kampung ini juga baru ada 1 sekolah dasar (SD) yang berdiri pada 2002 dan 1 sekolah menengah pertama (SMP) yang baru saja berdiri 2018 lalu.
Kedua sarana pendidikan inilah yang kini menjadi tumpuan warga Kampung Segeram untuk mewujudkan mimpi mereka. Kepala Sekolah Zufrianto mengatakan, ada 14 siswa yang sekolah di SD dan 8 siswa di SMP. Mereka dididik oleh 8 guru SMP dan 6 guru SD.
“Meski tinggal di pulau terluar, semangat mereka untuk sekolah tidak pernah luntur. Namun, kami ada tantangan yang mesti dihadapi yakni jaringan internet dan listrik karena masih pakai diesel,” ungkap Zufrianto saat menerima kunjungan Mendikbud Muhadjir Effendy kemarin.
Di Segeram, jika tidak ada SD/SMP satu atap ini maka anak-anak mesti menumpang hidup di rumah saudaranya di Ranai ataupun Sedanau. Radika Wulandari, murid kelas II SMP, mengaku bahwa sebelum ada sarana sekolah di kampungnya, dirinya terpaksa menumpang saudara di Ranai untuk bersekolah di sana.
Dari Kampung Segeram ke Ranai jika dengan mengendarai motor maka bisa ditempuh selama tiga jam. Jalurnya pun harus menembus hutan dan minim lampu penerangan. Sedangkan kalau ke Sedanau maka harus naik perahu kayu yang disebut Pompong selama 45 menit.
Radika yang bercita-cita menjadi guru olahraga pun berharap pemerintah mau membangun SMA di daerahnya, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menumpang di rumah saudara untuk menuntut ilmu.
“Saya ingin jadi guru olahraga karena suka bermain voli. Saya ingin kembali lagi ke sini (Segeram) karena mau mengajari mereka voli,” kata Radika yang mengaku ayahnya hanya seorang pencari kayu di hutan. Lain lagi cerita Wahyu Kurniawan. Bocah yang juga hobi bermain voli ini mengaku bercita-cita ingin menjadi dokter.
Alasannya sederhana. Wahyu mengaku tidak pernah menemui tenaga medis berseragam putih di kampungnya untuk warga berobat. Jika warga sakit, mereka harus ke bidan. Ketua RW Faisal yang juga berprofesi sebagai pembuat Pompong, mengatakan belum pernah ada pejabat yang berkunjung ke Segeram.
Baru Mendikbud inilah yang sudi berkunjung. Melalui Mendikbud pun, Faisal menyatakan terima kasihnya karena telah membangun sekolah satu atap. Dengan sekolah ini, maka membantu warga untuk tidak pindah kabupaten lain lantaran ingin anaknya tetap bersekolah.
Melalui Mendikbud juga, dia menitipkan pesan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa memperbaiki jalan penghubung ke kabupaten lain yang kondisinya rusak parah. Dia juga ingin aliran listrik bisa masuk kampungnya. Mendikbud Muhadjir mengatakan, Kemendikbud telah membangun sekolah satu atap di daerah yang secara geografis sulit dijangkau.
Sampai saat ini secara nasional sudah ada 4.172 sekolah satu atap yang dibangun di seluruh pelosok. Sekolah yang dibangun untuk kawasan 3T merupakan sekolah satu atap dan berasrama. Sekolah satu atap biasanya hanya untuk jenjang SD dan SMP.
Karena itu, untuk jenjang SMA, Mendikbud menyatakan solusinya adalah dengan belajar Paket C. “Sekolah satu atap selain digunakan untuk siswa SD dan SMP, bisa dilanjutkan penggunaannya untuk warga yang belajar paket,” tandasnya. Dalam kesempatan itu, Mendikbud memberikan bantuan gawai seperti komputer tablet dan server untuk sekolah satu atap di Segeram.
Meski tidak ada listrik, ujarnya, namun sekolah masih bisa menggunakan tenaga surya dan diesel sebagai energi alternatif. “Untuk proses pembelajarannya, konten pembelajaran akan ditanam langsung di komputer sehingga pembelajaran digital bisa digunakan secara offline,” ungkapnya. (Neneng Zubaidah)
Dengan cadangan minyak dan gas buminya melimpah, tidak lantas membuat kampung ini maju. Justru sebaliknya, ketertinggalan dan keterbatasan menyelimuti warga kampung ini. Untuk menuju Kampung Segeram harus ditempuh melalui Ranai mengendarai speedboat selama satu jam yang sudah terparkir di Pelabuhan Binjai.
Perahu akan melewati barisan hijaunya hutan bakau. Semakin melaju ke tengah laut dapat dijumpai bagan-bagan apung milik nelayan. Perjalanan akan melewati Pulau Sedanau yang terkenal akan ikan Napoleon-nya. Ikan yang sudah cukup terkenal hingga mancanegara itu. Fasilitas yang ada di kampung ini pun sangat terbatas.
Tidak ada listrik yang mengaliri kampung ini. Kebutuhan listrik didapatkan dari tenaga surya dan mesin diesel. Selain itu, di kampung ini juga baru ada 1 sekolah dasar (SD) yang berdiri pada 2002 dan 1 sekolah menengah pertama (SMP) yang baru saja berdiri 2018 lalu.
Kedua sarana pendidikan inilah yang kini menjadi tumpuan warga Kampung Segeram untuk mewujudkan mimpi mereka. Kepala Sekolah Zufrianto mengatakan, ada 14 siswa yang sekolah di SD dan 8 siswa di SMP. Mereka dididik oleh 8 guru SMP dan 6 guru SD.
“Meski tinggal di pulau terluar, semangat mereka untuk sekolah tidak pernah luntur. Namun, kami ada tantangan yang mesti dihadapi yakni jaringan internet dan listrik karena masih pakai diesel,” ungkap Zufrianto saat menerima kunjungan Mendikbud Muhadjir Effendy kemarin.
Di Segeram, jika tidak ada SD/SMP satu atap ini maka anak-anak mesti menumpang hidup di rumah saudaranya di Ranai ataupun Sedanau. Radika Wulandari, murid kelas II SMP, mengaku bahwa sebelum ada sarana sekolah di kampungnya, dirinya terpaksa menumpang saudara di Ranai untuk bersekolah di sana.
Dari Kampung Segeram ke Ranai jika dengan mengendarai motor maka bisa ditempuh selama tiga jam. Jalurnya pun harus menembus hutan dan minim lampu penerangan. Sedangkan kalau ke Sedanau maka harus naik perahu kayu yang disebut Pompong selama 45 menit.
Radika yang bercita-cita menjadi guru olahraga pun berharap pemerintah mau membangun SMA di daerahnya, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menumpang di rumah saudara untuk menuntut ilmu.
“Saya ingin jadi guru olahraga karena suka bermain voli. Saya ingin kembali lagi ke sini (Segeram) karena mau mengajari mereka voli,” kata Radika yang mengaku ayahnya hanya seorang pencari kayu di hutan. Lain lagi cerita Wahyu Kurniawan. Bocah yang juga hobi bermain voli ini mengaku bercita-cita ingin menjadi dokter.
Alasannya sederhana. Wahyu mengaku tidak pernah menemui tenaga medis berseragam putih di kampungnya untuk warga berobat. Jika warga sakit, mereka harus ke bidan. Ketua RW Faisal yang juga berprofesi sebagai pembuat Pompong, mengatakan belum pernah ada pejabat yang berkunjung ke Segeram.
Baru Mendikbud inilah yang sudi berkunjung. Melalui Mendikbud pun, Faisal menyatakan terima kasihnya karena telah membangun sekolah satu atap. Dengan sekolah ini, maka membantu warga untuk tidak pindah kabupaten lain lantaran ingin anaknya tetap bersekolah.
Melalui Mendikbud juga, dia menitipkan pesan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa memperbaiki jalan penghubung ke kabupaten lain yang kondisinya rusak parah. Dia juga ingin aliran listrik bisa masuk kampungnya. Mendikbud Muhadjir mengatakan, Kemendikbud telah membangun sekolah satu atap di daerah yang secara geografis sulit dijangkau.
Sampai saat ini secara nasional sudah ada 4.172 sekolah satu atap yang dibangun di seluruh pelosok. Sekolah yang dibangun untuk kawasan 3T merupakan sekolah satu atap dan berasrama. Sekolah satu atap biasanya hanya untuk jenjang SD dan SMP.
Karena itu, untuk jenjang SMA, Mendikbud menyatakan solusinya adalah dengan belajar Paket C. “Sekolah satu atap selain digunakan untuk siswa SD dan SMP, bisa dilanjutkan penggunaannya untuk warga yang belajar paket,” tandasnya. Dalam kesempatan itu, Mendikbud memberikan bantuan gawai seperti komputer tablet dan server untuk sekolah satu atap di Segeram.
Meski tidak ada listrik, ujarnya, namun sekolah masih bisa menggunakan tenaga surya dan diesel sebagai energi alternatif. “Untuk proses pembelajarannya, konten pembelajaran akan ditanam langsung di komputer sehingga pembelajaran digital bisa digunakan secara offline,” ungkapnya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)