Pecat dan Skorsing Mahasiswa, Rektor UNAS Dinilai Otoriter
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) Jakarta menilai Rektornya UNAS El Amri Bermawi sangat otoriter berkaitan dengan kelanjutan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 112 Tahun 2014.
Salah satu isi SK tersebut yakni pengesahan dan pemberlakuan jam malam di universitas tersebut. Efeknya, beberapa mahasiswa di-drop out (DO) dan diskorsing.
Perwakilan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UNAS Ponco Sulaksono menyatakan, pemberlakuan SK itu sangat tidak mewakili aspirasi dari kebanyakan mahasiswa. Surat itu dituding sebagai upaya penguatan kekuasan pihak rektorat yang dipimpin El Amri Bermawi.
SK yang merupakan perubahan dari SK sebelumnya itu bahkan tidak disosialisasi kepada seluruh elemen mahasiswa. Lewat sejumlah lembaga internal seperti Senat Mahasiswa (Sema), Badan Pengurus Mahasiswa (BPM) dan Unit Kerja Mahasiswa (UKM) sebenarnya sudah berupaya untuk melakukan audiensi. Semua ternyata sia-sia dan hanya menemui jalan buntu.
"Tindakan pihak rektor menandakan bahwa mahasiswa hanya akan dilihat dan dijadikan objek oleh para pimpinan kampus," tegas Ponco kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/8/2014)
Selain melakukan audiensi, gelombang protes turut dilakukan oleh mahasiswa, melalui aksi damai di kampus hingga aspirasi pribadi. Langkah ini pun nihil.
Bukan mendengar suara rakyatnya, rektorat malah melakukan tindakan represif dengan melayangkan teguran kepada mahasiswa yang protes. DO menjadi jalan atas ketidakpedulian rektorat.
“Empat kawan kami bahkan ada yang di-DO. Sedangkan yang diberikan skorsing ada tiga, termasuk saya," tandas Ponco yang juga tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Politik UNAS ini.
Yang membuat situasi semakin parah adalah pihak kampus menggandeng aparat kepolisian melakukan penahanan terhadap salah seorang mahasiswa UNAS, Agam. Dia kini ditahan di Polres Jakarta Selatan dengan alasan pengrusakan terhadap fasilitas kampus setelah dijemput di rumahnya kawasan Jakarta Selatan, Senin 11 Agustus 2014 siang.
"Kami sangat menyayangkan kenapa pihak kampus tidak bertanggung jawab, tapi malah mengeluarkan dan menahan anak didiknya. Sikap itu terlihat jelas bahwa pihak rektorat sangat arogan," ujar Ponco.
Salah satu isi SK tersebut yakni pengesahan dan pemberlakuan jam malam di universitas tersebut. Efeknya, beberapa mahasiswa di-drop out (DO) dan diskorsing.
Perwakilan Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UNAS Ponco Sulaksono menyatakan, pemberlakuan SK itu sangat tidak mewakili aspirasi dari kebanyakan mahasiswa. Surat itu dituding sebagai upaya penguatan kekuasan pihak rektorat yang dipimpin El Amri Bermawi.
SK yang merupakan perubahan dari SK sebelumnya itu bahkan tidak disosialisasi kepada seluruh elemen mahasiswa. Lewat sejumlah lembaga internal seperti Senat Mahasiswa (Sema), Badan Pengurus Mahasiswa (BPM) dan Unit Kerja Mahasiswa (UKM) sebenarnya sudah berupaya untuk melakukan audiensi. Semua ternyata sia-sia dan hanya menemui jalan buntu.
"Tindakan pihak rektor menandakan bahwa mahasiswa hanya akan dilihat dan dijadikan objek oleh para pimpinan kampus," tegas Ponco kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/8/2014)
Selain melakukan audiensi, gelombang protes turut dilakukan oleh mahasiswa, melalui aksi damai di kampus hingga aspirasi pribadi. Langkah ini pun nihil.
Bukan mendengar suara rakyatnya, rektorat malah melakukan tindakan represif dengan melayangkan teguran kepada mahasiswa yang protes. DO menjadi jalan atas ketidakpedulian rektorat.
“Empat kawan kami bahkan ada yang di-DO. Sedangkan yang diberikan skorsing ada tiga, termasuk saya," tandas Ponco yang juga tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Politik UNAS ini.
Yang membuat situasi semakin parah adalah pihak kampus menggandeng aparat kepolisian melakukan penahanan terhadap salah seorang mahasiswa UNAS, Agam. Dia kini ditahan di Polres Jakarta Selatan dengan alasan pengrusakan terhadap fasilitas kampus setelah dijemput di rumahnya kawasan Jakarta Selatan, Senin 11 Agustus 2014 siang.
"Kami sangat menyayangkan kenapa pihak kampus tidak bertanggung jawab, tapi malah mengeluarkan dan menahan anak didiknya. Sikap itu terlihat jelas bahwa pihak rektorat sangat arogan," ujar Ponco.
(kri)