Pendidikan Karakter Bisa Bikin Anak Tak Kritis
A
A
A
YOGYAKARTA - Pendidikan karakter pada anak sejak dini dinilai penting. Namun terdapat nilai minusnya dari program ini.
Dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta Tabita Kartika Christiani mengungkapkan, pendidikan karakter ini jangan terlalu ekstrem diajarkan ke anak.
Menurutnya, orang tua maupun pengajar di sekolah, harus memberikan porsi pendidikan karakter yang sewajarnya. Dia khawatir, pendidikan karakter mampu mengekang pikiran kritis anak terhadap realita.
"Jangan sampai anak-anak ditanamkan karakter secara kaku sehingga mereka terbelenggu dalam aturan 'boleh atau tidak boleh' dan 'harus begini'," kata Tabita di Yogyakarta, Selasa (26/8/2014).
"Kekakuan seperti ini justru dapat membuat para siswa tidak berpikir kritis tentang pengalaman hidupnya. Semua hal seakan sudah diarahkan oleh orang tua dan guru," imbuhnya.
Pendidikan karakter tidak diciptakan untuk mencetak siswa menjadi 'robot' atau orang yang legalistik dalam menerapkan apa yang boleh dan tidak boleh.
Pendidikan karakter bermaksud menjadikan siswa yang memiliki nilai agama yang baik, sehingga ia bebas mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
"Diharapkan iman anak kepada Tuhan dapat tumbuh, sehingga kehidupan mereka bisa memuliakan Tuhan dan menjadi berkah bagi sesamanya," imbuhnya.
Lebih lanjut Tabita menuturkan, tujuan utama pemberian pendidikan karakter ialah, untuk menolong siswa memiliki sikap dan tindakan yang benar.
"Karakter itu universal. Bisa dimasukkan ke semua lini pendidikan. Karenanya, mata pelajaran untuk melakukan pendidikan karakter tidak hanya pada Pendidikan Agama dan Budi Pekerti saja," ungkapnya.
"Namun bisa terwujud dalam semua mata pelajaran dan seluruh segi kehidupan di sekolah. Dan bukan berarti pula memaksa semua mata pelajaran dipandang dari kacamata agama juga," paparnya.
Dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta Tabita Kartika Christiani mengungkapkan, pendidikan karakter ini jangan terlalu ekstrem diajarkan ke anak.
Menurutnya, orang tua maupun pengajar di sekolah, harus memberikan porsi pendidikan karakter yang sewajarnya. Dia khawatir, pendidikan karakter mampu mengekang pikiran kritis anak terhadap realita.
"Jangan sampai anak-anak ditanamkan karakter secara kaku sehingga mereka terbelenggu dalam aturan 'boleh atau tidak boleh' dan 'harus begini'," kata Tabita di Yogyakarta, Selasa (26/8/2014).
"Kekakuan seperti ini justru dapat membuat para siswa tidak berpikir kritis tentang pengalaman hidupnya. Semua hal seakan sudah diarahkan oleh orang tua dan guru," imbuhnya.
Pendidikan karakter tidak diciptakan untuk mencetak siswa menjadi 'robot' atau orang yang legalistik dalam menerapkan apa yang boleh dan tidak boleh.
Pendidikan karakter bermaksud menjadikan siswa yang memiliki nilai agama yang baik, sehingga ia bebas mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
"Diharapkan iman anak kepada Tuhan dapat tumbuh, sehingga kehidupan mereka bisa memuliakan Tuhan dan menjadi berkah bagi sesamanya," imbuhnya.
Lebih lanjut Tabita menuturkan, tujuan utama pemberian pendidikan karakter ialah, untuk menolong siswa memiliki sikap dan tindakan yang benar.
"Karakter itu universal. Bisa dimasukkan ke semua lini pendidikan. Karenanya, mata pelajaran untuk melakukan pendidikan karakter tidak hanya pada Pendidikan Agama dan Budi Pekerti saja," ungkapnya.
"Namun bisa terwujud dalam semua mata pelajaran dan seluruh segi kehidupan di sekolah. Dan bukan berarti pula memaksa semua mata pelajaran dipandang dari kacamata agama juga," paparnya.
(maf)