Kritik Guru Besar UNJ Soal Ujian Nasional
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang menjadikan Ujian Nasional (UN) hanya sebagai pemetaan dianggap tidak ideal. Sebab penentu kelulusan semestinya tidak hanya dari satu sumber.
Guru Besar Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNJ Prof Djaali mengatakan, sebenarnya kebijakan pemerintah tahun lalu yang mengambil nilai sekolah dari semester awal hingga akhir, lalu digabung dengan ujian sekolah dan ditambah dengan nilai UN menjadi nilai kelulusan sudah ideal.
Namun memang komponen utama kelulusan ialah penilaian guru yang melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
“Sebetulnya untuk menentukan kelulusan itu harus dari semua aspek," kata Djaali di Kampus UNJ, Jakarta, Selasa (6/1/2015).
"Jangan hanya dari satu komponen saja. Siswa harus mengikuti semua proses pembelajaran, kedua nilai ujian sekolah dan UN,” imbuhnya.
Djaali menjelaskan, yang menjadi persoalan UN tahun kemarin adalah hanya di validitas nilai guru, ujian sekolah dan UN saja.
Rektor UNJ ini menjelaskan, nilainya menjadi tidak valid karena ada faktor kepentingan dan kecemasan dari pihak yang terlibat dalam UN.
"Misalnya saja terjadi isu kebocoran dan contek-menyontek karena pemerintah daerah tidak mau tingkat kelulusan di daerahnya rendah atau siswanya yang cemas tidak lulus," ungkapnya.
Menurutnya, jika seluruh stakeholder menjamin bahwa hasil UN ini validitasnya tinggi, dia meyakini UN akan terus menjadi sarana penentu kelulusan siswa secara nasional.
"Jika pemerintah memaksa ujian sekolah berlaku sebagai penentu kelulusan, maka kita tidak akan tahu lagi mana sekolah yang bagus dan tidak," tuturnya.
Sebab, tidak ada standar nasional sebagai penghitung karena ujian sekolah memakai standar disekolah masing-masing. Maka dia beranggapan harus ada standar nasional yang menjadi pemetaan seluruh sekolah.
“Persoalan UN hanya di penyelenggaraanya yang banyak masalah. Itupun terjadi karena murid dan orangtua yang tidak siap. Syahwat mau lulus UN lebih tinggi,” ujarnya.
Djaali berpendapat, jika memang guru sebagai penentu kelulusan maka harus ditumbuhkan ke masyarakat rasa percaya kepada guru.
Pasalnya, buat apa pemerintah membuang uang untuk pola penentuan kelulusan siswa ini jika akhirnya masyarakat tidak percaya penilaian guru.
"Jika memang dibutuhkan, pemerintah bisa membuat standar soal ujian sekolah yang sama namun tetap guru yang menentukan kelulusan," pungkasnya.
Guru Besar Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNJ Prof Djaali mengatakan, sebenarnya kebijakan pemerintah tahun lalu yang mengambil nilai sekolah dari semester awal hingga akhir, lalu digabung dengan ujian sekolah dan ditambah dengan nilai UN menjadi nilai kelulusan sudah ideal.
Namun memang komponen utama kelulusan ialah penilaian guru yang melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
“Sebetulnya untuk menentukan kelulusan itu harus dari semua aspek," kata Djaali di Kampus UNJ, Jakarta, Selasa (6/1/2015).
"Jangan hanya dari satu komponen saja. Siswa harus mengikuti semua proses pembelajaran, kedua nilai ujian sekolah dan UN,” imbuhnya.
Djaali menjelaskan, yang menjadi persoalan UN tahun kemarin adalah hanya di validitas nilai guru, ujian sekolah dan UN saja.
Rektor UNJ ini menjelaskan, nilainya menjadi tidak valid karena ada faktor kepentingan dan kecemasan dari pihak yang terlibat dalam UN.
"Misalnya saja terjadi isu kebocoran dan contek-menyontek karena pemerintah daerah tidak mau tingkat kelulusan di daerahnya rendah atau siswanya yang cemas tidak lulus," ungkapnya.
Menurutnya, jika seluruh stakeholder menjamin bahwa hasil UN ini validitasnya tinggi, dia meyakini UN akan terus menjadi sarana penentu kelulusan siswa secara nasional.
"Jika pemerintah memaksa ujian sekolah berlaku sebagai penentu kelulusan, maka kita tidak akan tahu lagi mana sekolah yang bagus dan tidak," tuturnya.
Sebab, tidak ada standar nasional sebagai penghitung karena ujian sekolah memakai standar disekolah masing-masing. Maka dia beranggapan harus ada standar nasional yang menjadi pemetaan seluruh sekolah.
“Persoalan UN hanya di penyelenggaraanya yang banyak masalah. Itupun terjadi karena murid dan orangtua yang tidak siap. Syahwat mau lulus UN lebih tinggi,” ujarnya.
Djaali berpendapat, jika memang guru sebagai penentu kelulusan maka harus ditumbuhkan ke masyarakat rasa percaya kepada guru.
Pasalnya, buat apa pemerintah membuang uang untuk pola penentuan kelulusan siswa ini jika akhirnya masyarakat tidak percaya penilaian guru.
"Jika memang dibutuhkan, pemerintah bisa membuat standar soal ujian sekolah yang sama namun tetap guru yang menentukan kelulusan," pungkasnya.
(maf)